Menyambut Idul Adha 17 November 2010 (10
Zulhijjah 1431)
Sabar Sebagai Kurban
Oleh Abdul Haris Booegies
Pada 1895 sebelum Masehi, Nabi Ibrahim
galau nian. Selama tujuh malam
berturut-turut, ia bermimpi mendapat perintah agar menyembelih Nabi Ismail as,
putranya. Mimpi tersebut seolah hukum
yang diwahyukan Tuhan.
Nabi Ismail yang berusia 16 tahun, bukan
anak biasa. Ketika bayi, ia sudah menunjukkan
keajaiban. Kala tergolek di dataran
antara bukit Shafa dengan Marwa, hentakan kakinya menyemburatkan air. Cairan dari lembah Bakkah itu lantas
dinamakan zamzam oleh Siti Hajar, ibundanya
Nabi Ismail, putra tersayang tersebut kini
harus dikorbankan. Apa kata dunia jika
Nabi Ismail disembelih. Ibrahim Alaihissalam pun tak tega menyampaikan
amanah itu kepada istrinya.
Kepedihan hati Nabi Ibrahim akhirnya
terkalahkan oleh ketakwaannya kepada Allah.
Apalah arti seorang putra dibandingkan kecintaan kepada Allah.
Di suatu pagi, Nabi Ibrahim yang berumur
102 tahun, pergi mengasah pisau. Ia
percaya bila ketajaman pisau akan mengurangi rasa sakit pada korban.
Asy-Syaikh
ash-Shalih (orang tua saleh) tersebut lalu menyuruh Nabi Ismail
mengikutinya ke Mina untuk berkurban.
Nabi Ibrahim berjalan lebih dulu.
Sedangkan Nabi Ismail menyusul di belakang.
Di tengah perjalanan, Nabi Ismail dicegat
oleh iblis yang berwujud seorang kakek renta.
“Hendak ke mana engkau?”
“Saya menemani ayahku pergi berkurban”,
tegas Nabi Ismail. “Tahukah kamu? Sesungguhnya engkau yang bakal disembelih bapakmu”,
bisik iblis.
“Andai itu benar, maka, mengapa saya mesti
membangkang!” tegas Nabi Ismail.
Bujuk-rayu iblis supaya Nabi Ismail tidak
ke lembah Mina, tak digubris. Nabi
Ismail malahan melempar iblis dengan kerikil.
Maklum, tekadnya telah bulat mengemban mission sacree (misi suci) sebagai kurban. Iblis tidak menyerah demi mengganggu
stabilitas mental lawannya. Ia memburu
Nabi Ismail agar mengurungkan niatnya.
Nabi Ismail kembali melontarkan bebatuan. Tujuh kali iblis mengejarnya, tujuh kali pula
Nabi Ismail menyambitnya.
Di sisi sebuah gunung cadas, Nabi Ibrahim menunggu
Nabi Ismail. Saat putranya sampai, ia
berterus-terang kalau Nabi Ismail sebenarnya yang hendak digorok.
“Duhai ayahku! Kerjakan apa yang diperintahkan
kepadamu. Insya Allah engkau akan mendapatiku
tergolong pribadi yang sabar” (ash-Shaaffat:
102).
Gold Digger
Nabi
Ismail yang masih remaja secara sukarela mendukung sang ayah untuk
menyembelihnya. Soalnya, ia mengharap
dirinya termasuk insan sabar.
Di masa sekarang, sifat sabar makin sulit menempati
relung hati. Perilaku instan serta
tergesa-gesa repot dihindari di era ekonomi global yang dipengaruhi
kompleksitas geopolitik secara komprehensif ini. Apalagi, kecepatan dinilai pilar
kehidupan. Siapa yang cuma menanti
kesempatan, niscaya terdepak dari kompetisi kehidupan. Tiap warga sudah terbelenggu oleh kecepatan
guna menata diri. Semua berlomba
mencetak prestasi prestise. Persaingan telah
melibatkan tiap individu yang berasal dari segala penjuru dunia (competing with everyone from everywhere for
everything). Terlebih pada
persilangan sejarah berakhirnya zaman Pax
Americana menuju Pax Consortis
G-20 (forum kerja sama multipolar antara negara maju dengan negara kaya).
Menata diri di zaman kompetisi devaluasi
mata uang ini identik dengan kesuksesan, kekayaan dan kemashuran. Tiga fondasi tersebut memaksa manusia bekerja
keras. Bahkan, menghalalkan segenap
upaya dengan metode homo homini lupus
(manusia menjadi serigala bagi yang lain).
Hingga, kesuksesan enteng direnggut di atas derita makhluk lain.
Seluruh kerja keras yang dilakukan
mengerucut pada harta benda. Sebab,
kekayaan dianggap kunci buat meraih kehormatan.
Pepatah Jerman berbunyi: “geld
regiert die welt” (emas memerintah dunia).
Di masa kini, manusia seolah berjiwa gold
digger (pemburu harta).
Dalam Islam, tiap hamba diperintahkan berusaha
secara positif. Semua ikhtiar pada
akhirnya ditentukan oleh Allah. Ada
orang yang puluhan tahun bekerja keras kemudian memperoleh hasil maksimal. Tak jarang pula terlihat ada yang mendulang
sukses dalam hitungan hari.
Fisikal-Inderawi
Sifat
sabar penting dikedepankan lantaran ada individu yang beringas tatkala daya upayanya
ia pandang sia-sia. Contohnya yakni
pemimpin Perguruan Ilmu Kalam Santriloka.
Pada 29 Oktober 2009 dalam wawancara langsung dengan sebuah stasiun
televisi swasta, ia mengungkap kekecewaannya.
Ia lantas didesak apa yang membuatnya empat tahun silam berubah sampai
mendirikan Santriloka. Ia menjawab jika
doanya tidak terkabul. Menurutnya, ada
orang shalat khusyu, namun, tetap ditimpa petaka. Ia menyalahkan Tuhan yang hanya memberi
janji. “Katanya! Katanya!
Katanya! Katanya!” semburnya
berapi-api dengan suara lantang.
Pada intinya, apa yang dialami oleh ketua
Santriloka itu, juga mendera mayoritas manusia lain. Pemimpin Santriloka tersebut bersama segelintir
lainnya rupanya tampil beda. Ketika
mereka kecewa terhadap Allah, maka, jalan yang berseberangan ditempuhnya. Mereka tak berserah diri kepada Allah, tetapi,
mengolok-olok Tuhan.
Kerja keras serta doa acap belum memadai
untuk menggapai kesuksesan. Pasalnya,
perangkat yang tidak kalah penting ialah sabar.
Sifat sabar ini yang sering diabaikan.
Akibatnya, banyak orang yang kecewa sesudah berbilang tahun bekerja
keras dan berdoa. Jerih-payahnya tak
berbuah hasil. Ia justru dibelit aneka problem.
Arkian, menjadi pecundang yang membenci
dirinya sendiri.
Dewasa ini, kita butuh pribadi Nabi
Ismail. Sebab, ia sosok yang mengharap
kasih sayang Allah. Ia menunjukkan
kesabaran terhadap perintah Allah.
Padahal, nyawa taruhannya. Ia tidak
mencak-mencak saat tahu bila sang bapak berniat menyembelihnya. Maklum, Nabi Ismail menginginkan dirinya
tertoreh sebagai insan sabar. Orientasi
hidupnya tak didominasi impuls fisikal-inderawi.
Figur Nabi Ismail merupakan teladan di zaman
sarat gejolak ini. Tiap tahun di hari
raya Idul Adha, keagungan pribadi Nabi Ismail diperingati. Kaum Muslim yang mapan secara ekonomi lalu
berbondong-bondong berkurban. Bukan
hewan kurban (unta, sapi atau kambing) yang dinilai Allah. Sang
Khalik cuma melihat ketakwaan para hambanya dalam berkurban.
Spirit Idul Adha pun harus mempengaruhi
kehidupan hari demi hari selama setahun berikutnya. Di tiap detak detik jam kita seyogianya
berkurban dengan cara mengedepankan kesabaran.
Aspek demikian tercermin pada sosok Nabi Ismail. Ia siap mengorbankan jiwanya lantaran
mendambakan dirinya tergolong individu sabar di sisi Allah. Walhasil, Ismail Alaihissalam tertera
sebagai tokoh terkemuka insan beriman yang namanya lestari sampai kiamat.
Siapa saja layak mencamkan bahwa kerja
keras, doa serta sabar adalah kunci meraih kesuksesan. Tanpa ketiga fondasi itu, berarti kekecewaan
menjadi hasil akhir.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar