Tionghoa Juga Manusia
Oleh Abdul Haris Booegies
Nila setitik rusak susu sebelanga. Pepatah itu kembali dirasakan oleh
saudara-saudara kita warga keturunan sejak 9 Mei 2006.
Mereka dilempar tanpa perasaan
manusiawi. Rumpun tersebut dicegat meski
tak mengerti pelanggaran apa yang sudah diperbuatnya. “I
don’t know anything”, rintihnya dalam hati yang remuk-redam.
Nalar sulit menerima perlakuan terhadap
mereka. Sebab, orang-orang China yang
tidak tahu-menahu perkara, ikut disiksa secara psikologis. Mahasiswa yang tidak punya otoritas di jalan
raya, malahan leluasa melakukan sweeping
terhadap puak Tionghoa.
Ketenangan etnis China diusik. Padahal, pelaku pembunuhan terhadap Hasniati
tengah diproses. Dampak yang lebih
mengenaskan jelas terbentang pahit.
Maklum, aktivitas ekonomi ikut lumpuh.
Raja Perancis Charlemagne pernah
gundah-gulana. Sebab, di beberapa
kampung yang diinvasinya berkobar kerusuhan.
Massa beringas itu mengklaim diri sebagai suara rakyat.
Seorang penasehat yang bijak-bestari lalu
bersabda: “nec audiendi qui solent
dicere, vox populi vox dei. Quum
tumultuositas vulgi semper insaniae proxima sit” (Jangan dengar suara
mereka yang berceloteh jika suara rakyat adalah suara Tuhan. Sebab, keberingasan massa selalu dekat dengan
kegilaan).
Kegundahan hati dan kepala puyeng yang
dialami Raja Charlemagne, kini hinggap di benak pemimpin kota ini. Maklum, kerusuhan yang menjalar telah merusak
sukma Bhinneka Tunggal Ika.
Perilaku kekerasan kolektif tidak berdiri
sendiri. Beberapa faktor ikut
mempengaruhi. Contohnya, kesenjangan di
bidang sosial-ekonomi. Konflik tersebut
membuncah akibat distribusi hasil pembangunan yang tidak merata. Kerusuhan juga terjadi lantaran kehilangan
kendali atas nasib sendiri.
Gejolak terkadang pula timbul sebagai reaksi
terhadap sesuatu yang asing. Orang lokal
yang tertindas serta tak mampu mengendalikannya, lantas bertindak. Insiden yang dilakukan secara beramai-ramai,
juga sering terkait dengan suku, agama, ras dan antar-golongan (SARA).
Kekerasan paling berbahaya yakni yang berhubungan
dengan agama. Pasalnya, segenap tindakan
destruktif sudah susah dinalar secara logika.
Mereka rela mati demi kebenaran yang dianut. Agama berfungsi sebagai landasan ideologis. Alhasil, menjadi alat pembenar yang sah dan
halal.
Berbuah Manis
Agresivitas massa dalam kasus Jalan
Latimojong, dapat digolongkan dalam kerangka kesenjangan ekonomi. Apalagi, nilai rupiah terseok-seok di tengah
himpitan kehidupan. Hingga, emosi gampang
meledak.
Provokasi dalam skala minimal bisa
langsung menyulut kobaran api kekisruhan.
Perasaan negatif yang timbul sebagai akumulasi dari ekonomi yang runyam,
segera menyala tatkala stimulus situasional datang mencolek. Ketika terjadi konsentrasi massa, otomatis
tindakan anarkis bergelora.
Pengganyangan yang menimpa masyarakat
Tionghoa, mengusung lanskap solidaritas.
Massa tampak beringas meluap-luapkan emosinya gara-gara Hasniati
dibunuh. Solidaritas menjadi empati
serta bermetamorfosis dalam bentuk amuk massa.
Padahal, ada konsep proses hukum yang adil (due process of law).
Kalau Wandi Tandiawan yang membunuh,
berarti hukuman wajib ditimpakan terhadap dia.
Bukan kepada etnis China lain yang tidak ada sangkut-pautnya dengan
Wandi.
Bila
ada yang menganggap gemuruh benturan itu pekat dengan kecemburuan sosial, maka,
aspek tersebut menjadi pekerjaan rumah besar bagi bangsa ini. Sesungguhnya, warga keturunan yang tiba di
kota ini beberapa dekade silam, bukan kelompok konglomerat. Bahkan, pada tahun 60-an, orang-orang
Tionghoa masih ramai mengayuh sepeda menjual kue di sekitar Jalan
Sulawesi. Mereka menjalani perihnya
kehidupan dengan cara yang terfokus dan fleksibel. Jerih-payah dari tradisi ulet itu, kemudian
berbuah manis. Generasi tersebut
akhirnya sukses mewariskan etos kerja tinggi.
China lalu menguasai perekonomian.
Mereka menjejakkan kaki di area kapitalisme serta industrialisme dalam
skala lokal.
Sering terdengar jika ada pribumi yang
mencak-mencak akibat tak diberi kredit di suatu bank. Sementara Tionghoa leluasa memperoleh kredit.
Saat ditelusuri, warga non-pri ternyata
rajin memenuhi kewajibannya. Alhasil,
banyak bank yang tulus membantunya.
Sedangkan pribumi sarat kredit macet.
Tidak bisa dipungkiri bahwa ada kalangan
China yang jahat. Umpamanya, Eddy Tansil
yang membobol uang negara di Bapindo sebesar Rp 1,3 triliun. Eddy Tansil sampai sekarang malahan raib
entah ke mana. Pada hakikatnya, buronnya
Eddy Tansil tidak lepas dari kolusi, bobroknya citra hukum sekaligus merosotnya
mental petugas lembaga pemasyarakatan.
Saling Mendukung
Masyarakat bersama mahasiswa seyogianya
bahu-membahu memberi perlindungan kepada komunitas yang teraniaya. Bukan melihat sinis atau ikut mengeroyok
suatu rumpun yang diterpa petaka.
Kalau dinamika psikologis dibekap instrumen
negatif, berarti manusia terjebak dalam proses dehumanisasi. Akibatnya, membahana tindakan zalim. Khaos meruyak pula sebagai pemandangan
mengerikan yang mengiris sanubari.
Dewasa ini, planet tempat berpijak tidak
lagi dibatasi oleh tribalisme. Siapa
yang ogah berhubungan dengan masyarakat luas, niscaya bakal terkucil. Soalnya, tiap etnis memiliki keistimewaan
khusus yang bisa saling menunjang.
Sebatang lidi tak mungkin membersihkan
suatu ruangan. Indonesia yang dihuni
aneka suku dan kelompok masyarakat, mutlak bersatu-padu menggemakan keadilan
serta kemanusiaan. Apalagi, sinergi
selalu membuahkan wahana yang meringankan beban. Sebab, terjalin pengertian lewat hak-hak
istimewa berupa kewajiban-kewajiban.
Hingga, kearifan selalu duduk penuh takzim tanpa terombang-ambing oleh
gosip, rumor atau obrolan dusta.
Tionghoa juga manusia. Mereka makan dengan tangan dan berjalan
menggunakan kaki. Tidak ada perbedaan
antara orang China dengan puak Bugis, Makassar, Mandar, Sunda, Batak, Dayak,
Madura atau suku Quraisy di Arab.
Seluruh insan di dunia ini sama
posisinya. Perbedaan tidak terletak pada
kesukuan, tetapi, individu. Pribadi
manusia yang sebenarnya mewarnai sepak-terjang kehidupan.
Ketika Susilo Bambang Yudhoyono
mencalonkan diri sebagai presiden, maka, ia dinilai lebih sipil dari orang
sipil. Sebab, sosoknya yang santun
terkesan memikat hati. Sementara
Presiden George Bush yang sipil dipandang lebih militeristik daripada
militer. Maklum, ia bergaya persis
preman pasar.
Tionghoa merupakan saudara kita. Mereka adalah hamba Tuhan sebagaimana makhluk
lainnya. Di bumi ini, tidak ada philosophy of life yang memperkenankan
suatu rumpun bisa seenaknya diganyang.
Tidak ada traktat universal yang memaklumkan bila suatu etnis boleh
dimusnahkan hartanya secara sewenang-wenang.
Hanya spesies sungsang seperti Jenghis Khan serta George Bush yang
menyelesaikan problem dengan cara mencederai nilai-nilai kemanusiaan.
Di masa kini, kerja sama antar-kelompok,
suku, bangsa dan peradaban, lebih menguntungkan dalam membangun esensi sejati
warga global yang meliputi hampir segala literatur kehidupan. Dengan kerja sama yang mengusung transfer of knowledge, niscaya perbedaan
menjadi bagian yang ekspresif serta fenomenal dalam kehidupan. Sebab, terjadi proses interaksi sosial secara
harmonis. Alhasil, terwujud civil society (masyarakat berkeadaban)
yang menjunjung keadilan (justice)
dan kasih (love). Dalam bahasa Sulawesi Selatan dikenal istilah
sipakatau (mengagungkan sikap
hormat), siammasei
(sayang-menyayangi) serta sipakalebbi
(saling menghargai).
Pepatah Amerika berbunyi: “Variety is the spice of life”
(perbedaan menciptakan keindahan).
“Semua orang bersaudara”, pekik kaum humanis dan ulama pelbagai
agama. “Katong basudara”, tutur penduduk
Ambon manise. Tionghoa juga manusia yang
layak hidup di persada Indonesia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar