Jumat, 10 Juli 2015

Barack Obama di Tengah Perangai Militer Amerika



Calon Presiden Amerika Serikat ke 44
Barack Obama
di Tengah Perangai
Militer Amerika
Oleh Abdul Haris Booegies
     Tokoh hak asasi manusia Jesse Louis Jackson bersama mantan Kepala Staf Angkatan Bersenjata (Joint Chief of Staff) Jenderal Colin Luther Powell, merupakan Afro-Amerika yang sempat dielus-elus sebagai kandidat presiden Amerika Serikat.  Kedua kulit hitam itu, ternyata layu sebelum berkembang.
     Kini, Afro-Amerika kembali memunculkan sekuntum kembang wangi.  Namanya Barack Hussein Obama.  Obama yang tidak memiliki pertalian darah dengan Osama bin Laden, cenderung dipilih oleh kaum pria dan anak muda.
     Pada 18 Januari 2007, editorial The Washington Post, memaparkan bila Obama andal mempertimbangkan argumen segenap pihak dalam tiap isu.  Ia dianggap punya gagasan untuk mengubah paradigma politik AS.  Kubu Demokrat maupun Republik memandangnya wakil generasi baru politisi.
     Obama lahir di Honolulu, Hawaii, pada 4 Agustus 1961.  Barack Hussein Obama Sr, ayahnya adalah ekonom yang berasal dari Kenya.  Sedangkan ibunya, Stanley Ann Dunham yang berkulit putih lahir di Kansas.  Di usia dua tahun, orangtua Obama bercerai.  Ann Dunham lalu menikah dengan Lolo Soetoro Mangundikardjo, orang Indonesia.
     Selama periode 1967 sampai 1971, Obama terdaftar dengan nama Barry Soetoro di SD Franciscus Asisia, Jakarta.  Ia kemudian pindah ke SD Percobaan di Jalan Besuki, Menteng (SDN 1 Menteng).
     Di AS, Obama yang kidal termasuk anggota United Church of Christ.  Pada 1991, ia lulus dari Fakultas Hukum Universitas Harvard dengan predikat Magna Cum Laude.  Di Harvard Law Review, Obama menjadi pemimpin redaksi pertama dari kalangan Afro-Amerika.  Pada 2004, ia terpilih sebagai senator dari negara bagian Illinois.

Merchants of Death
     Obama menjabarkan bahwa prioritas utama yang harus dilakukan AS yaitu menghentikan perang di Irak.  Sebab, selama menginvasi Irak sejak Maret 2003, AS sudah menghamburkan dana lebih 400 miliar dolar AS.  Kucuran anggaran tersebut justru tidak membuat situasi Irak membaik.
     Khaos di Irak memaksa AS memikul aneka tanggung jawab.  Di samping itu, membuat orang makin percaya jika Paman Sam doyan mengacaukan kondisi suatu negara.  Sebagai super power, AS suka menggebuk negara-negara berdaulat.
     Fenomena itu sesungguhnya terjadi gara-gara AS kebanjiran senjata api.  Warga yang memiliki senjata berjumlah 36,5 persen dari 301.148 juta penduduk.  Sekitar 192 juta senjata beredar secara bebas.  Sementara pabrik senjata mencapai 33 buah.
     Selama ini, karakter militer Uncle Sam terlihat meledak-ledak.  AS seolah mau memproklamasikan kalau posisinya adalah negara adidaya.  Arkian, punya kewajiban sebagai penertib internasional (international police power).
     Show of force militer ke pelbagai negara, merupakan penunjang atas ketegasan politik luar negeri AS (strategic foreign policy).  Perkara lantas mencuat akibat penegasan tersebut tidak murni sebagai kepentingan politik.  Selain kalkulasi strategi militer dan perhitungan elite politik, juga mengemuka secara terang-benderang selera rakus saudagar senjata.
     Di Irak, umpamanya, terlihat betapa dahsyat produksi persenjataan AS.  Ada E-Bomb yang guncangannya menimbulkan getaran elektromagnit.  Hingga, mengacaukan jaringan telekomunikasi, komputer serta lampu-lampu di sekelilingnya.  Lalu ada MOAB (massive ordinance air-burst bomb) yang ledakannya menimbulkan awan cendawan seperti bom nuklir.
     Para jenderal, politikus bersama pedagang senjata yang sebenarnya berada di balik suatu keputusan politik luar negeri.  Keputusan-keputusan AS selalu buram-temaram lantaran kedudukannya sebagai penjual senjata.  Paman Sam tidak sudi menghentikan dominasinya pasca Perang Dingin sebagai pemasok senjata.
     Gejala yang terpampang sekarang yakni AS mendukung upaya pembatasan penyebarluasan senjata di seluruh dunia.  Di sisi lain, Paman Sam ternyata terus menjual senjata.  AS malahan menghibahkan rupa-rupa persenjataan canggih buat Israel.
     Ketiadaan landasan moral dalam bisnis senjata, akhirnya memicu keberingasan militer AS.  Para pasukan Amrik selalu berperangai ala koboi.  Soalnya, mereka memang dikendalikan oleh merchants of death alias saudagar maut yang tamak menghitung laba.

Go-It-Alone Policy
     Kehadiran Obama di pentas kandidat presiden AS, bakal membuat suasana bergemuruh dalam kesetaraan.  Selama ini, AS sulit berdamai dengan luka-luka lama.  Pasalnya, Paman Sam merupakan negara yang terbelah oleh ras.  Kulit putih selalu superior dan dominan.  Sedangkan negro berikut Indian cuma minoritas serta inferior.
     Diskriminasi berawal dari konsep budaya total dan homogen AS yang mencakup teori Frontier (kebudayaan Amerika berbeda dengan Eropa), White Anglo-Saxon Protestant (WASP) serta The American Empire.  Tiga skema itu merupakan transformasi unsur-unsur Eropa yang mengagungkan kebudayaan kulit putih.
     Kemunculan Obama, jelas mengubah persepsi.  Sebab, kini AS dinilai tidak lagi mempersoalkan perbedaan warna (colorblind).  Sosok Obama pun tidak beringas.  Ia seolah pemimpin visioner dengan jampi “power without coercion” (kekuasaan tanpa pemaksaan).  Segi tersebut tercermin dari tekadnya yang menuntut penarikan mundur seluruh tentara AS di Irak.
     Pada dasarnya, perang yang dikobarkan oleh George Bush hanya kesia-siaan.  Pada 10 Februari 2007, Presiden Rusia Vladimir Putin menganggap jika invasi AS terhadap Irak termasuk kesalahan besar.  Alhasil, tak seorang pun merasa aman lantaran tidak dapat berlindung di belakang hukum internasional.
     Sebelum Putin, juga Kofi Annan sempat melancarkan kritik.  Pada 12 Desember 2006, Annan mengeritik diplomasi unilateral AS.  Pidato terakhir Sekretaris Jenderal PBB itu menilai Bush berjalan sendirian (go-it-alone policy).  Padahal, AS tidak sepatutnya mengorbankan idealisme demokrasi dengan cara mengobarkan perang.
     Kritik pedas Putin dan Annan, selaras dengan hasrat Obama yang menginginkan penarikan pasukan.  Tantangan krusial bagi masa depan AS ialah segera membangun ide, visi, cita rasa maupun keyakinan.  Bukan mencari kesenangan yang merusak diri atau menohok bangsa lain dengan persenjataan ultra-mutakhir.
     Nafsu serakah AS sudah tidak lagi memiliki tempat di kolong langit ini.  Perang yang digelar Paman Sam tidak pernah membawa kebaikan.  Maklum, selalu melahirkan dendam-kesumat yang menyala-nyala.  Hatta, bumi yang satu ini tak pernah aman serta nyaman.
     Kini, rakyat AS telah mengetahui calon terbaik bagi negeri mereka.  Sosok ideal presiden yang akan memulangkan militer ke barak adalah Barack Obama


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Amazing People