Calon Presiden Amerika
Serikat ke 44
Barack Obama
di Tengah Perangai
Militer Amerika
Oleh Abdul Haris Booegies
Tokoh hak asasi manusia Jesse Louis
Jackson bersama mantan Kepala Staf Angkatan Bersenjata (Joint Chief of Staff) Jenderal Colin Luther Powell, merupakan
Afro-Amerika yang sempat dielus-elus sebagai kandidat presiden Amerika Serikat. Kedua kulit hitam itu, ternyata layu sebelum
berkembang.
Kini, Afro-Amerika kembali memunculkan
sekuntum kembang wangi. Namanya Barack
Hussein Obama. Obama yang tidak memiliki
pertalian darah dengan Osama bin Laden, cenderung dipilih oleh kaum pria dan
anak muda.
Pada 18 Januari 2007, editorial The Washington Post, memaparkan bila
Obama andal mempertimbangkan argumen segenap pihak dalam tiap isu. Ia dianggap punya gagasan untuk mengubah
paradigma politik AS. Kubu Demokrat
maupun Republik memandangnya wakil generasi baru politisi.
Obama lahir di Honolulu, Hawaii, pada 4
Agustus 1961. Barack Hussein Obama Sr,
ayahnya adalah ekonom yang berasal dari Kenya.
Sedangkan ibunya, Stanley Ann Dunham yang berkulit putih lahir di
Kansas. Di usia dua tahun, orangtua
Obama bercerai. Ann Dunham lalu menikah
dengan Lolo Soetoro Mangundikardjo, orang Indonesia.
Selama periode 1967 sampai 1971, Obama
terdaftar dengan nama Barry Soetoro di SD Franciscus Asisia, Jakarta. Ia kemudian pindah ke SD Percobaan di Jalan
Besuki, Menteng (SDN 1 Menteng).
Di AS, Obama yang kidal termasuk anggota United Church of Christ. Pada 1991, ia lulus dari Fakultas Hukum Universitas
Harvard dengan predikat Magna Cum Laude. Di Harvard
Law Review, Obama menjadi pemimpin redaksi pertama dari kalangan
Afro-Amerika. Pada 2004, ia terpilih
sebagai senator dari negara bagian Illinois.
Merchants of Death
Obama menjabarkan bahwa prioritas utama
yang harus dilakukan AS yaitu menghentikan perang di Irak. Sebab, selama menginvasi Irak sejak Maret
2003, AS sudah menghamburkan dana lebih 400 miliar dolar AS. Kucuran anggaran tersebut justru tidak
membuat situasi Irak membaik.
Khaos di Irak memaksa AS memikul aneka
tanggung jawab. Di samping itu, membuat
orang makin percaya jika Paman Sam doyan mengacaukan kondisi suatu negara. Sebagai super
power, AS suka menggebuk negara-negara berdaulat.
Fenomena itu sesungguhnya terjadi
gara-gara AS kebanjiran senjata api.
Warga yang memiliki senjata berjumlah 36,5 persen dari 301.148 juta
penduduk. Sekitar 192 juta senjata
beredar secara bebas. Sementara pabrik
senjata mencapai 33 buah.
Selama ini, karakter militer Uncle Sam terlihat meledak-ledak. AS seolah mau memproklamasikan kalau
posisinya adalah negara adidaya. Arkian,
punya kewajiban sebagai penertib internasional (international police power).
Show
of force militer ke pelbagai negara, merupakan penunjang atas ketegasan
politik luar negeri AS (strategic foreign
policy). Perkara lantas mencuat
akibat penegasan tersebut tidak murni sebagai kepentingan politik. Selain kalkulasi strategi militer dan
perhitungan elite politik, juga mengemuka secara terang-benderang selera rakus
saudagar senjata.
Di Irak, umpamanya, terlihat betapa
dahsyat produksi persenjataan AS. Ada E-Bomb yang guncangannya menimbulkan
getaran elektromagnit. Hingga,
mengacaukan jaringan telekomunikasi, komputer serta lampu-lampu di sekelilingnya. Lalu ada MOAB (massive ordinance air-burst bomb) yang ledakannya menimbulkan awan
cendawan seperti bom nuklir.
Para jenderal, politikus bersama pedagang
senjata yang sebenarnya berada di balik suatu keputusan politik luar
negeri. Keputusan-keputusan AS selalu
buram-temaram lantaran kedudukannya sebagai penjual senjata. Paman Sam tidak sudi menghentikan dominasinya
pasca Perang Dingin sebagai pemasok senjata.
Gejala yang terpampang sekarang yakni AS
mendukung upaya pembatasan penyebarluasan senjata di seluruh dunia. Di sisi lain, Paman Sam ternyata terus
menjual senjata. AS malahan menghibahkan
rupa-rupa persenjataan canggih buat Israel.
Ketiadaan landasan moral dalam bisnis
senjata, akhirnya memicu keberingasan militer AS. Para pasukan Amrik selalu berperangai ala
koboi. Soalnya, mereka memang
dikendalikan oleh merchants of death
alias saudagar maut yang tamak menghitung laba.
Go-It-Alone Policy
Kehadiran Obama di pentas kandidat
presiden AS, bakal membuat suasana bergemuruh dalam kesetaraan. Selama ini, AS sulit berdamai dengan
luka-luka lama. Pasalnya, Paman Sam
merupakan negara yang terbelah oleh ras.
Kulit putih selalu superior dan dominan.
Sedangkan negro berikut Indian cuma minoritas serta inferior.
Diskriminasi berawal dari konsep budaya
total dan homogen AS yang mencakup teori Frontier
(kebudayaan Amerika berbeda dengan Eropa),
White Anglo-Saxon Protestant (WASP) serta The American Empire. Tiga
skema itu merupakan transformasi unsur-unsur Eropa yang mengagungkan kebudayaan
kulit putih.
Kemunculan Obama, jelas mengubah
persepsi. Sebab, kini AS dinilai tidak
lagi mempersoalkan perbedaan warna (colorblind). Sosok Obama pun tidak beringas. Ia seolah pemimpin visioner dengan jampi “power without coercion” (kekuasaan
tanpa pemaksaan). Segi tersebut
tercermin dari tekadnya yang menuntut penarikan mundur seluruh tentara AS di
Irak.
Pada dasarnya, perang yang dikobarkan oleh
George Bush hanya kesia-siaan. Pada 10
Februari 2007, Presiden Rusia Vladimir Putin menganggap jika invasi AS terhadap
Irak termasuk kesalahan besar. Alhasil,
tak seorang pun merasa aman lantaran tidak dapat berlindung di belakang hukum
internasional.
Sebelum Putin, juga Kofi Annan sempat
melancarkan kritik. Pada 12 Desember
2006, Annan mengeritik diplomasi unilateral AS.
Pidato terakhir Sekretaris Jenderal PBB itu menilai Bush berjalan
sendirian (go-it-alone policy). Padahal, AS tidak sepatutnya mengorbankan
idealisme demokrasi dengan cara mengobarkan perang.
Kritik pedas Putin dan Annan, selaras
dengan hasrat Obama yang menginginkan penarikan pasukan. Tantangan krusial bagi masa depan AS ialah
segera membangun ide, visi, cita rasa maupun keyakinan. Bukan mencari kesenangan yang merusak diri
atau menohok bangsa lain dengan persenjataan ultra-mutakhir.
Nafsu serakah AS sudah tidak lagi memiliki
tempat di kolong langit ini. Perang yang
digelar Paman Sam tidak pernah membawa kebaikan. Maklum, selalu melahirkan dendam-kesumat yang
menyala-nyala. Hatta, bumi yang satu ini
tak pernah aman serta nyaman.
Kini, rakyat AS telah mengetahui calon
terbaik bagi negeri mereka. Sosok ideal
presiden yang akan memulangkan militer ke barak adalah Barack Obama
Tidak ada komentar:
Posting Komentar