Ekonomi yang Mahakuasa
Oleh Abdul Haris Booegies
Anda punya uang? Jika tidak berarti Anda tereliminasi dari
hiruk-pikuk dunia ultramutakhir. Ini
zaman ketika uang menjadi sesembahan baru.
Ini masa saat kesejahteraan menjadi panglima dalam kehidupan. Inilah zaman Ekonomi yang Mahakuasa.
Dewasa ini, perekonomian Indonesia tengah
bergerak maju. Walau tak mau menepi dari
keterpurukan sejak 1997, tetapi, gairah gejolak terus dikumandangkan. Prediksi yang bagai buluh perindu terus
dihembuskan agar rakyat terpesona di tengah perut yang minta terus diisi
makanan.
Wacana indah dijejalkan walau tidak
seheboh di zaman Orde Baru. Ketika
Soeharto berkuasa, ada mitos elok bahwa kita akan lepas landas. Di kemudian hari, Indonesia bukannya lepas landas. Sebab, negeri ini justru kandas
berkeping-keping digulung ombak krisis multidimensi.
Soeharto yang ingin lengser (meninggalkan tahta secara ksatria), ternyata longsor oleh
kekuatan mahasiswa. Suatu tragedi
politik paling ironis di dunia modern.
Apalagi, kala itu, kekuatan bersenjata di sekeliling Soeharto sangat kuat. Soeharto akhirnya terpelanting seiring
tumbangnya Orde Baru yang meninggalkan jejak darah rakyat dan mahasiswa selama
32 tahun.
Kini, ekonomi Indonesia yang megap-megap
sebagai warisan Orde Baru, terus diinfus.
Doa dipanjatkan agar ekonomi tidak la
yamutu wala yahya (hidup segan mati tak mau). Pergantian menteri dilakukan agar ekonomi
berbinar seperti kilau mutiara.
Upaya yang dilakukan pemerintah ternyata
tidak menggembirakan rakyat.
Perkembangan indeks saham di bursa memang meningkat. Sebab, aliran modal portofolio ke dalam
sistem keuangan Indonesia. Fase itu
kemudian digembar-gemborkan dengan wacana indah bahwa bursa saham Indonesia
tergolong yang terbaik di dunia.
Pasar saham boleh disanjung dengan
predikat the best, tetapi, fakta
menunjukkan gejala yang tidak mengenakkan hati.
Sebab, selama akhir Mei 2006, muncul kecenderungan kalau bursa saham dan
rupiah ditimpa petaka. Indeks Harga
Saham Gabungan (IHSG) dan nilai tukar rupiah terjerembab ke level
terendah. Rupiah yang sempat gagah
perkasa di level tertinggi Rp. 8.735 per dollar, akhirnya lunglai di kisaran
Rp, 9300
Nasib buruk yang menimpa IHSG terjadi
akibat tindakan ambil untung dari investor asing dan spekulan. Selama dua bulan, harga-harga saham
naik. Spekulan langsung meraupnya
kemudian lari terbirit-birit dengan keuntungan yang diperoleh. Mereka betul-betul menggunakan pasar yang
rentan, sensitif dan fluktuatif itu sebagai ajang merebut laba besar.
Selama ini, pasar finansial Indonesia
memang kebanjiran dana-dana jangka pendek.
Hingga, rawan terjadi suddenly
reversal outflow (pembalikan modal keluar).
Selain investor asing dan spekulan, juga
pengaruh pelemahan bursa regional semacam Nikkei dan Hangseng. Bursa regional anjlok akibat menguatnya
dollar AS sebagai ekspektasi kenaikan suku bunga The Fed.
Rupiah yang makin jauh dari stabilitas,
juga terkena imbas dari ketidakseimbangan Amerika Serikat dengan China. AS yang doyan perang dibekap defisit anggaran
yang besar. Sementara Tiongkok justru
surplus anggaran yang sangat banyak.
Ketimpangan ekonomi global itu memaksa Indonesia ikut terjerat arus
pusaran yang pesat. Apalagi, AS
merupakan kepala suku bagi Indonesia dalam memetakan ekonomi.
Selama ini, ekonomi Indonesia sesungguhnya
terkesan bersifat gelembung melompong (bubble
economy). Terlihat besar, tetapi,
gampang pecah seperti busa sabun. Dari
luar terlihat positif. Padahal,
sesungguhnya masih kritis dan penuh intrik.
Bubble
economy mencuat akibat akumulasi perkara dalam ekonomi. Sektor korporasi masih sakit. Investor asing belum terpesona akibat
tersumbat kendala perizinan yang berbelit-belit.
Pada hakikatnya, ketika Indonesia
tergenang hot money, maka, di kala
itu sebenarnya pemerintah sangat tepat mendatangkan investasi asing secara
langsung alias foreign direct investment
(FDI). Hingga, tercipta keharmonisan
antara hot money dengan FDI.
Pemegang kuasa ekonomi di Indonesia
ternyata tak bisa merayu investor asing.
Sebab, kaisar-kaisar pemilik modal global tak sudi singgah akibat iklim
investasi tidak memadai. Masalah
perpajakan dan perburuhan membuat nyali para investor raksasa ketar-kletir dan
menciut tanpa selera.
Para investor berpandangan kalau return dalam bentuk dividen dan tingkat
kepemilikan, wajib bebas pajak dan inflasi.
Bahkan, pemerintah Inggris ikut andil kalau ada perusahaan Inggris yang
dihadang hambatan politik atau birokrasi di negara-negara tujuan investasi.
Kegagalan pemerintah dalam mengontrol
pasar bursa, akhirnya berbuah pahit.
Sebab, masyarakat yang justru menanggung resiko ekonomi secara langsung
dari ketidakstabilan pasar.
Kalau masalah ekonomi terus runyam,
niscaya tsunami sosial politik bisa melanda Indonesia. Khaos bisa terjadi di mana-mana. Apalagi, bahan bakar minyak (BBM) naik
sekaligus terkadang sulit ditemukan.
Ketergantungan Indonesia dengan luar negeri pun terasa pekat. Asing banyak menguasai aset Indonesia. Hingga, mereka akhirnya mudah menekan dan
mendiktekan kemauannya. Selain itu,
utang yang bertumpuk-menggunung, menyiksa secara psikologis. Di tengah hiruk-pikuk negatif itu, ternyata
perut tak jua mau berkompromi. Hingga,
semua orang berusaha menggunakan segala cara agar tidak mati kelaparan.
Begitulah posisi ekonomi yang wujudnya maha
berkuasa di arena kehidupan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar