Minal Aidin wal Faizin
(Selamat Hari Raya Idul Fitri 1 Syawal 1436)
Oleh Abdul Haris Booegies
Allahu
akbar. Allahu akbar. Allahu akbar.
La ilaha illallahu wallahu
akbar. Allahu akbar
walillahilhamdu. (Allah Maha Besar. Tiada Tuhan kecuali Allah yang Mahabesar. Allah
Mahaagung. Segala puja-puji kepada Allah
semata).
Tanpa terasa, puasa terakhir segera tuntas
dilaksanakan. Sebulan berlalu dalam
suasana meriah di tengah kondisi tubuh yang menahan lapar, haus serta
nafsu. Individu dengan tingkat ketakwaan
tinggi, niscaya tak mau berpisah dengan Ramadan. Maklum, Ramadan sarat hikmah, ampunan dan
berkah.
Idul Fitri (‘Id al-Fithr)
yang bakal dirayakan merupakan hari raya kemanusiaan. Pasalnya, menghimpun orang menuju ke muasal
kejadiannya yang suci. Secara etimologi
atau harfiah, ‘id yang berarti
“kembali” berasal dari kata ‘aud
(berulang). Belum ada memorandum of understanding antar-ulama,
mengapa salat sunat tersebut diidentikkan berulang. Ada secuil asumsi bahwa maksud berulang ialah
takbir yang berkali-kali digemakan.
Soalnya, rakaat pertama sesudah takbiratul
ihram disusul takbir tujuh kali.
Kemudian rakaat kedua diiringi takbir lima kali.
Makna semantik ‘id adalah hari raya.
Sedangkan fitri berasal dari kata fa-tha-ra. Di
hari kudus fitri, tidak dianjurkan ada hamba yang masih berpuasa. Nabi Muhammad bertitah: “al-fitru yauma
yafthurunnaas” (Hari Raya Fitri merupakan momen berbuka bagi manusia). Fitri
tiada lain “kesucian asali insan”.
Dengan demikian, Idul Fitri berarti “kembali ke elemen inti kesucian”.
Di sisi lain, Lebaran dideklarasikan hari
kemenangan. Suatu perayaan kala hamba
Allah kembali meraih kesucian. Di Mesir,
Lebaran pasca-puasa dinamakan Eid as-Saghir (Hari Raya kecil). Di Negeri Seribu Menara itu, meruyak tradisi
membeli pakaian baru buat anak-anak.
Lantas menyiapkan kue untuk tamu yang datang bersilaturrahmi. Berwisata dengan famili maupun ziarah kubur,
juga menjadi kebiasaan sebagaimana di Indonesia.
Pasca-Kiamat pun ada perayaan kemenangan. Setelah semua amal ibadah ditimbang pada
mizan hakiki, maka, Rasulullah memimpin kirab kemenangan bagi penduduk Hazhirat
al-Qudsi. Pawai akbar tersebut diawali
kumandang azan yang dilantunkan Bilal bin Rabah.
Para Nabi bersama Rasul berderet di depan
diiringi Abu Bakar ash-Shiddiq, Umar bin Khattab al-Faruk, Usman bin Affan
ad-Dur an-Nurain berikut Ali bin Abi Thalib al-Murtadha. Hasan beserta Hussein sebagai pemimpin front
pemuda Muslim mengomandani iring-iringan.
Di
sampingnya berdiri Ratu Surga Siti Fatimah az-Zahra al-Batul. Sementara di sisinya berdiri pemuka komunitas
perempuan seperti Siti Khadijah al-Kubra (istri Mahanabi Muhammad), Maryam
Aulia al-Bijzah (ibunda Nabi Isa al-Masih), Maharani Bulqis as-Sughra (Ratu
Saba), Asiyah (nyonya Fir‘aun) dan Siti Masyitah (juru rias putri Fir’aun).
Karnaval itu akan berhenti di
Arasy Rahman. Beberapa hamba lalu
memperoleh nikmat berupa kesempatan memandang wajah Allah. Bahkan,
ada jemaah Islam yang istana kencana-mustikanya berdampingan dengan Arasy. Sebab, di planet biru ini ia figur saleh yang menjadi
keluarga Allah (ahlullah fi al-ard).
Kini, di Taman Firdaus ia bertetangga dengan Allah.
Doa Puitis
Di Indonesia, usai salat Id lazim
terdengar minal aidin wal faizin. Diktum tersebut sebetulnya merupakan petikan
doa. Pengenalan doa itu ditengarai
bermula dari warga Indonesia keturunan Arab asal Hadramaut (Yaman selatan).
Dari segi bahasa, minal aidin bermakna “semoga kita termasuk orang yang
kembali”. Maksud “kembali” yaitu menuju ke fitrah. Sedangkan fitrah menunjuk pada kesucian asal
manusia atau agama yang diridai oleh Allah yakni Islam.
Al-Faizin
berasal dari fawz yang berarti
keberuntungan. Secara elementer, wal faizin diinterpretasikan sebagai
permohonan memperoleh ampunan Allah.
Hingga, terdaftar menjadi kandidat penghuni Surga.
Minal
aidin wal faizin merupakan alunan secarik doa puitis dari seorang
ulama. Bunyinya ialah “ja’allamallahu min al-a’idin wa l-fa’izin
wal maqbulin”. Tujuan spiritual doa
tersebut adalah “mudah-mudahan Allah menjadikan kita orang yang kembali ke
kesucian asal. Kemudian menang dalam
perjuangan melawan diri kita yang berdosa lewat puasa. Semoga seluruh usaha kita diterima Allah”.
Ibadah puasa merupakan tempat menempa kekokohan
iman. Tekad membaja bergemuruh di dada
demi menghalau kesesatan. Dengan
kegemilangan yang digapai, otomatis pribadi bakal bersepuh kesucian. Maksum dari mulut yang tanpa sensor
mengeluarkan caci-maki, insting negatif atau perbuatan biadab.
Sang Maharasul Muhammad bersabda: “Siapa
berpuasa pada Ramadan karena iman sekaligus mengharap keridaan Allah, niscaya
diampuni segenap dosanya”.
Kemuliaan yang diperoleh dari Ramadan akan
berbuah kemenangan pada Idul Fitri.
Lebaran merupakan tradisi yang diperkenalkan oleh Mahanabi Muhammad pada
tahun kedua Hijriah.
Sebelum berangkat menunaikan salat Id,
para sahabat di era awal Islam terlebih dulu mandi. Ketika hendak ke tempat salat Id, maka,
Rasulullah menyempatkan diri mengunyah tiga butir kurma.
Mahanabi Muhammad menganjurkan jika ke
tempat salat Id supaya jangan menempuh jalan yang sama kalau pulang. Hikmahnya, agar saudara seiman yang dijumpai
lebih banyak. Alhasil, proses
silaturrahim makin erat. Melewati jalan
yang berbeda ditafsirkan oleh ulama sebagai bentuk syiar Islam.
Para sahabat lantas bersalaman. Mereka menuturkan tahniah (ucapan selamat): “Taqabbalallahu minna wa minkum”
(semoga Allah menerima amal kita).
Puncak Pencerahan
Di hari Lebaran, terhampar roman muka
bahagia berhias senyum kemenangan.
Pasalnya, tiap individu yang lolos dari tempaan Ramadan bakal
bermetamorfosis sebagai insan yang minus dosa sebagaimana bayi. Rasulullah berkomentar: “Kullu mauluudan
yuuladual fitrah” (tiap bayi yang dilahirkan berada dalam keadaan
suci). “Allah mengeluarkan kamu dari
perut ibumu. Kamu tiada tahu apa pun” (an-Nahl: 78).
Di hari Idul Fitri, kaum Muslim diperintahkan menyemarakkan suasana
dengan mengumandangkan takbir (Allahu
akbar), tahmid (alhamdulillah), tahlil (la ilaha illallah) maupun taqdis (kalimat kudus) lainnya. “Agungkan Allah karena Ia memberikan petunjuk
kepadamu. Semoga kamu bersyukur” (al-Baqarah: 185).
Hamba yang sudah menggelorakan fighting spirit melawan hawa nafsu di
arena Ramadan, niscaya merebut kemenangan.
Mereka telah mengasah kesabaran serta ketekunan dengan mengorbankan
kesenangan pribadi.
Sekarang mereka sudah menjangkau puncak
pencerahan yang muskil dituturkan dengan aksara dan mustahil dilukiskan dengan
aksi visual. Way of life manusia berupa ibtigha’a
mardhatillah (mengabdi sembari mencari keridaan Allah), kian cemerlang.
Hari Raya yang identik makanan berlimpah,
tak lepas pula dari silaturrahmi.
Berkunjung ke tetangga, menemui handai-tolan serta sanak-keluarga di daerah
terpencil atau berkhidmat kepada orangtua merupakan bagian dari Lebaran.
Idul Fitri tiada lain tonggak pencapaian
kesempurnaan. Di momen itu riuh
terdengar di persada bumi”taqabbalallaahu minna wa minkum” (semoga Allah
menerima amal kita). Selamat Hari Raya Idul Fitri 1 Syawal 1436.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar