Minggu, 12 Juli 2015

Variabel Bahasa dalam Sang Kala



Variabel Bahasa
dalam Sang Kala
Oleh Abdul Haris Booegi

     Beberapa bulan ini, banyak suara yang memprihatinkan bahasa Indonesia.  Sebab, bahasa Indonesia dilanda amuk kosakata asing. 
     Menjelang robohnya Orde Baru (Orba) yang militeristik sekaligus otoriter, bahasa Indonesia telah dilanda secara membabi-buta perkara seputar peristilahan.  Bershaf-shaf leksikon bahasa Inggris merasuk ke dalam anatomi bahasa Indonesia. 
     Dalam kehidupan sehari-hari, bahasa dipengaruhi oleh budaya, politik serta ekonomi.  Intonasi, malahan ikut pula menentukan makna suatu kata.
     Ketika Orba menjajah rakyat dan mahasiswa selama 32 tahun, maka, bahasa ikut terombang-ambing.  Masyarakat serta pers akhirnya akrab dengan kata “konon”.  Soalnya, tak berani menuding kesalahan penyelenggara negara.  Kalau ada yang lantang menunjuk hidung pejabat, niscaya hidupnya sengsara lagi nelangsa.
     Kini, Orba sudah tamat riwayatnya.  Kata “konon” pun mulai ditinggalkan.  Bahkan, dalam bahasa pers modern, “konon” diusulkan agar tidak digunakan.
     Saat ini, sudah tak terhitung istilah dari bahasa Inggris yang mewarnai bahasa Indonesia.  Selama 20 tahun, umpamanya, masyarakat akrab dengan kata follow up (menindaklanjuti) atau blow up (melebih-lebihkan).
     Pada pertengahan 80-an, diamanatkan supaya kata efektif diganti dengan mangkus.  Sedangkan efisien diubah menjadi sangkil.  Keberadaan mangkus dan sangkil ternyata suram.  Kedua kata itu tidak pernah populer lantaran tak ada kegairahan memakainya.  Nasib serupa dialami “tatalaksana” atau “pengelolaan”.  Kata tersebut tak pernah kuasa menggeser idiom “manajemen” yang lebih sip.

Nilai Demokratis
     Di alam raya ini, tak ada bahasa yang bisa menutup diri dari pengaruh bahasa lain.  Orang Perancis sangat bangga dengan bahasanya yang romantis.  Kendati memuji setinggi langit alat komunikasinya, tetapi, mereka tak sanggup membendung istilah Kentucky Fried Chicken atau hamburger.  Kedua gerai makanan populer asal Amerika Serikat itu, tetap ramai walau penamaannya tak diperanciskan.
     Al-Qur’an yang memuat theory of everything dengan bahasa Arab kelas wahid, diperkaya pula kosakata non-Arab.  Di antara 77.439 kata dalam al-Qur’an,  terdapat vokabuler dari bahasa Habasyah, Ibrani, Nibthi, Parsi, Qibti, Romawi, Suryani serta Zanji. 
     Bahasa dari etnis Arab, malahan ada yang meramaikan al-Qur’an.  Bahasa kabilah yang masuk dalam susunan firman-firman Allah yakni Ammaan, Anmaar, Aus, Ghassaan, Hadramaut, Hamaman, Hudzail, Jurhum, Khats’am, Khazraj, Kinanah, Kindah, Mudhhij, Quraisy, Tamim dan Thay.  
     Sifat terbuka al-Quran menunjukkan bila Kitab Suci tersebut punya nilai demokratis serta dinamika.  Apalagi, al-Qur’an ibarat puisi.  Sebab, interpretasinya cocok untuk segala zaman serta suasana hati.  Siapa saja boleh memahami al-Qur’an dengan spesifikasi masing-masing.
     Parameter demokratis pun membuat bahasa Melayu dinobatkan sebagai bahasa Indonesia pada 28 Oktober 1928.  Kala itu, bahasa Melayu terbuka bagi semua orang yang hendak ikut berpartisipasi aktif tentang era mutakhir suatu bangsa.  Keberadaan bahasa Melayu dianggap bisa menampung paradigma masyarakat.  Pasalnya, dinilai erat terkait dengan masa depan Indonesia yang modern.  Selain itu, bahasa Melayu telah lazim digunakan.  Apalagi, dipakai dalam bisnis antarpulau di Nusantara.  Di samping menjadi alat komunikasi dalam pergaulan, juga bahasa Melayu digunakan dalam pelbagai bentuk tulisan, termasuk surat kabar.
     Sesungguhnya, bahasa Jawa lebih mendominasi kehidupan sebelum kongres pemuda yang menghasilkan Soempah Pemoeda.  Masalah timbul akibat bahasa Jawa memiliki tiga tingkatan tutur (unggah-ungguh atau undha usuk).  Ketiganya ialah ngoko (ragam biasa), kromo (ragam halus) dan kromo inggil (ragam yang teramat halus).  Tiga tingkatan tersebut menyulitkan lantaran punya kosakata berbeda dengan satu makna.

Wujud Dinamis
     Bahasa Indonesia yang seolah terperangkap dalam istilah asing, sebenarnya menegaskan sifat keterbukaan.  Bahasa yang terbuka adalah bahasa yang elastis terhadap masukan-masukan di sekitarnya.  Sebab, cuma bahasa mati yang tidak menerima perbendaharaan kata dari luar.
     Pada kasus yang menimpa bahasa Indonesia, maka, terdapat dua skema pokok.  Pertama, selera yang dipengaruhi pengetahuan.  Makin tinggi ilmu, berarti, kian luas wacana yang dimiliki.  Alhasil, masyarakat akhirnya akrab dengan istilah yang susah dicari padanannya dalam bahasa Indonesia.  Contohnya, idiom komputer serta internet semacam chip, quad core, server, domain, blog atau spam.  Mereka tak mungkin menafikan leksikon itu akibat tiap hari menjadi bagian dari rutinitas kerja.
     Pada hakikatnya, perkembangan bahasa sukar diarahkan.  Sebab, siapa yang sanggup melarang media jika dalam beritanya tertera idiom illegal logging, mark up, cash transfer, recall maupun reshuffle.  Tak ada kekuatan untuk menghentikan remaja ABG yang menyumpah-nyumpah dengan kata-kata jorok seperti you son of a bitch, asshole, bullshit atau fuck you. 
     Kedua. kasus yang menerpa bahasa Indonesia yaitu anatominya sendiri.  Maklum, struktur bahasa Indonesia tak punya aturan main jelas.  Tak ada koordinasi dan standardisasi yang menjadi wasit.  Hingga, bahasa Indonesia seolah tak siap menjalankan peran kecendekiaan. 
     Dalam menyampaikan penalaran, terlihat kalau bahasa Indonesia kalah bersaing dengan bahasa modern lain.  Bahkan, ada kesan bila bahasa Indonesia tersendat-sendat dari segi keilmuan.  Apalagi, ahli-ahli nonbahasa malas menciptakan kosakata keilmuan dalam bahasa Indonesia.  Mereka justru lebih senang memungut istilah asing yang lebih familiar serta populer.
     Dua problem tersebut yang menyuburkan munculnya vokabuler asing dalam bahasa Indonesia.  Alhasil, bahasa Indonesia terlihat keinggris-inggrisan.  Akibatnya, kaum linguis dan pencinta bahasa Indonesia merasa gusar.  Padahal, keterbukaan bahasa Indonesia terhadap leksikon asing merupakan wujud dari dinamika.

Aurat Keledai
     Tak ada kata dalam tiap bahasa bisa selalu sesuai selera zaman.  Tanpa disadari, sebuah kata tiba-tiba tenggelam dalam peredaran.  Misalnya, kereta angin.  Sekarang, idiom itu sudah ditinggalkan.  Padahal, wujudnya masih ramai dipakai.  Pasalnya, kereta angin tiada lain adalah sepeda.  Istilah “kakus” tak lagi cocok digunakan gara-gara dianggap menjijikkan.  Padahal, di tempo doeloe, kata kakus yang berasal dari kakkerlak huis (rumah kecoak) dipandang sopan.
   Pengaruh sosial serta budaya ikut menentukan timbul tenggelamnya kosa kata.  Ketika Orba berkuasa, maka, media massa dan masyarakat risih menyebut alat kelamin wanita dengan vagina.  Setelah Orba dilibas mahasiswa pada 1998, sontak kata vagina lumrah disuarakan dalam pergaulan.  Apalagi, sesudah Vagina Monolog dipentaskan dari kota ke kota oleh beberapa seniman.
     Sebelum istilah vagina hiruk-pikuk seperti sekarang, maka, yang akrab dipakai ialah “alat kelamin”.  Alkitab justru menggunakan istilah dari bahasa Arab yaitu aurat (organ tubuh yang hanya boleh dilihat oleh muhrim perempuan bersangkutan).  Dalam Bibel tertera kalimat: “Auratnya seperti aurat keledai” (Yehezkiel 23:20).
     Saat ini, kosakata yang tengah meregang menanti ajal antara lain pedati (gerobak) atau bung (sapaan akrab bagi orang-orang sebaya).
     Selain perbendaharaan kata banyak yang berganti, juga faktor huruf dalam bahasa Indonesia berubah.  Hingga, pada 16 Agustus 1972, lahir Ejaan yang Disempurnakan (EYD).  Fonem semacam dj, tj, j atau oe diganti menjadi j, c, y serta u.
     Vokabuler asing akan terus menapak dalam leksikon pemakaian sehari-hari sebagai variabel.  Maklum, bahasa selalu hidup sesuai perkembangan zaman dalam sang kala yang terus bergulir tanpa henti.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Amazing People