Variabel Bahasa
dalam Sang
Kala
Oleh Abdul
Haris Booegi
Beberapa bulan ini, banyak suara yang
memprihatinkan bahasa Indonesia. Sebab,
bahasa Indonesia dilanda amuk kosakata asing.
Menjelang robohnya Orde Baru (Orba) yang
militeristik sekaligus otoriter, bahasa Indonesia telah dilanda secara
membabi-buta perkara seputar peristilahan.
Bershaf-shaf leksikon bahasa Inggris merasuk ke dalam anatomi bahasa
Indonesia.
Dalam kehidupan sehari-hari, bahasa
dipengaruhi oleh budaya, politik serta ekonomi.
Intonasi, malahan ikut pula menentukan makna suatu kata.
Ketika Orba menjajah rakyat dan mahasiswa
selama 32 tahun, maka, bahasa ikut terombang-ambing. Masyarakat serta pers akhirnya akrab dengan
kata “konon”. Soalnya, tak berani
menuding kesalahan penyelenggara negara.
Kalau ada yang lantang menunjuk hidung pejabat, niscaya hidupnya
sengsara lagi nelangsa.
Kini, Orba sudah tamat riwayatnya. Kata “konon” pun mulai ditinggalkan. Bahkan, dalam bahasa pers modern, “konon”
diusulkan agar tidak digunakan.
Saat ini, sudah tak terhitung istilah dari
bahasa Inggris yang mewarnai bahasa Indonesia.
Selama 20 tahun, umpamanya, masyarakat akrab dengan kata follow up (menindaklanjuti) atau blow up (melebih-lebihkan).
Pada pertengahan 80-an, diamanatkan supaya
kata efektif diganti dengan mangkus.
Sedangkan efisien diubah menjadi sangkil. Keberadaan mangkus dan sangkil ternyata
suram. Kedua kata itu tidak pernah
populer lantaran tak ada kegairahan memakainya.
Nasib serupa dialami “tatalaksana” atau “pengelolaan”. Kata tersebut tak pernah kuasa menggeser
idiom “manajemen” yang lebih sip.
Nilai Demokratis
Di alam raya ini, tak ada bahasa yang bisa
menutup diri dari pengaruh bahasa lain.
Orang Perancis sangat bangga dengan bahasanya yang romantis. Kendati memuji setinggi langit alat
komunikasinya, tetapi, mereka tak sanggup membendung istilah Kentucky Fried Chicken atau hamburger. Kedua gerai makanan populer asal Amerika
Serikat itu, tetap ramai walau penamaannya tak diperanciskan.
Al-Qur’an yang memuat theory of everything dengan bahasa Arab kelas wahid, diperkaya pula
kosakata non-Arab. Di antara 77.439 kata
dalam al-Qur’an, terdapat vokabuler dari
bahasa Habasyah, Ibrani, Nibthi, Parsi, Qibti, Romawi, Suryani serta Zanji.
Bahasa dari etnis Arab, malahan ada yang
meramaikan al-Qur’an. Bahasa kabilah
yang masuk dalam susunan firman-firman Allah yakni Ammaan, Anmaar, Aus,
Ghassaan, Hadramaut, Hamaman, Hudzail, Jurhum, Khats’am, Khazraj, Kinanah,
Kindah, Mudhhij, Quraisy, Tamim dan Thay.
Sifat terbuka al-Quran menunjukkan bila
Kitab Suci tersebut punya nilai demokratis serta dinamika. Apalagi, al-Qur’an ibarat puisi. Sebab, interpretasinya cocok untuk segala
zaman serta suasana hati. Siapa saja
boleh memahami al-Qur’an dengan spesifikasi masing-masing.
Parameter demokratis pun membuat bahasa
Melayu dinobatkan sebagai bahasa Indonesia pada 28 Oktober 1928. Kala itu, bahasa Melayu terbuka bagi semua
orang yang hendak ikut berpartisipasi aktif tentang era mutakhir suatu
bangsa. Keberadaan bahasa Melayu
dianggap bisa menampung paradigma masyarakat.
Pasalnya, dinilai erat terkait dengan masa depan Indonesia yang
modern. Selain itu, bahasa Melayu telah
lazim digunakan. Apalagi, dipakai dalam
bisnis antarpulau di Nusantara. Di
samping menjadi alat komunikasi dalam pergaulan, juga bahasa Melayu digunakan
dalam pelbagai bentuk tulisan, termasuk surat kabar.
Sesungguhnya, bahasa Jawa lebih
mendominasi kehidupan sebelum kongres pemuda yang menghasilkan Soempah Pemoeda. Masalah timbul akibat bahasa Jawa memiliki
tiga tingkatan tutur (unggah-ungguh
atau undha usuk). Ketiganya ialah ngoko (ragam biasa), kromo
(ragam halus) dan kromo inggil (ragam
yang teramat halus). Tiga tingkatan
tersebut menyulitkan lantaran punya kosakata berbeda dengan satu makna.
Wujud Dinamis
Bahasa Indonesia yang seolah terperangkap
dalam istilah asing, sebenarnya menegaskan sifat keterbukaan. Bahasa yang terbuka adalah bahasa yang
elastis terhadap masukan-masukan di sekitarnya.
Sebab, cuma bahasa mati yang tidak menerima perbendaharaan kata dari
luar.
Pada kasus yang menimpa bahasa Indonesia,
maka, terdapat dua skema pokok. Pertama, selera yang dipengaruhi
pengetahuan. Makin tinggi ilmu, berarti,
kian luas wacana yang dimiliki. Alhasil,
masyarakat akhirnya akrab dengan istilah yang susah dicari padanannya dalam
bahasa Indonesia. Contohnya, idiom
komputer serta internet semacam chip,
quad core, server, domain, blog atau spam.
Mereka tak mungkin menafikan leksikon itu akibat tiap hari menjadi
bagian dari rutinitas kerja.
Pada hakikatnya, perkembangan bahasa sukar
diarahkan. Sebab, siapa yang sanggup
melarang media jika dalam beritanya tertera idiom illegal logging, mark up, cash transfer, recall maupun reshuffle. Tak ada kekuatan untuk menghentikan remaja ABG
yang menyumpah-nyumpah dengan kata-kata jorok seperti you son of a bitch, asshole, bullshit atau fuck you.
Kedua.
kasus yang menerpa bahasa Indonesia yaitu anatominya sendiri. Maklum, struktur bahasa Indonesia tak punya
aturan main jelas. Tak ada koordinasi
dan standardisasi yang menjadi wasit.
Hingga, bahasa Indonesia seolah tak siap menjalankan peran kecendekiaan.
Dalam menyampaikan penalaran, terlihat
kalau bahasa Indonesia kalah bersaing dengan bahasa modern lain. Bahkan, ada kesan bila bahasa Indonesia
tersendat-sendat dari segi keilmuan.
Apalagi, ahli-ahli nonbahasa malas menciptakan kosakata keilmuan dalam
bahasa Indonesia. Mereka justru lebih
senang memungut istilah asing yang lebih familiar serta populer.
Dua problem tersebut yang menyuburkan
munculnya vokabuler asing dalam bahasa Indonesia. Alhasil, bahasa Indonesia terlihat
keinggris-inggrisan. Akibatnya, kaum
linguis dan pencinta bahasa Indonesia merasa gusar. Padahal, keterbukaan bahasa Indonesia
terhadap leksikon asing merupakan wujud dari dinamika.
Aurat Keledai
Tak ada kata dalam tiap bahasa bisa selalu
sesuai selera zaman. Tanpa disadari,
sebuah kata tiba-tiba tenggelam dalam peredaran. Misalnya, kereta angin. Sekarang, idiom itu sudah ditinggalkan. Padahal, wujudnya masih ramai dipakai. Pasalnya, kereta angin tiada lain adalah
sepeda. Istilah “kakus” tak lagi cocok
digunakan gara-gara dianggap menjijikkan.
Padahal, di tempo doeloe, kata
kakus yang berasal dari kakkerlak huis
(rumah kecoak) dipandang sopan.
Pengaruh sosial serta budaya ikut menentukan
timbul tenggelamnya kosa kata. Ketika
Orba berkuasa, maka, media massa dan masyarakat risih menyebut alat kelamin
wanita dengan vagina. Setelah Orba dilibas
mahasiswa pada 1998, sontak kata vagina lumrah disuarakan dalam pergaulan. Apalagi, sesudah Vagina Monolog dipentaskan dari kota ke kota oleh beberapa seniman.
Sebelum istilah vagina hiruk-pikuk seperti
sekarang, maka, yang akrab dipakai ialah “alat kelamin”. Alkitab justru menggunakan istilah dari
bahasa Arab yaitu aurat (organ tubuh yang hanya boleh dilihat oleh muhrim
perempuan bersangkutan). Dalam Bibel
tertera kalimat: “Auratnya seperti aurat keledai” (Yehezkiel 23:20).
Saat ini, kosakata yang tengah meregang
menanti ajal antara lain pedati (gerobak) atau bung (sapaan akrab bagi
orang-orang sebaya).
Selain perbendaharaan kata banyak yang
berganti, juga faktor huruf dalam bahasa Indonesia berubah. Hingga, pada 16 Agustus 1972, lahir Ejaan yang Disempurnakan (EYD). Fonem semacam dj, tj, j atau oe diganti
menjadi j, c, y serta u.
Vokabuler asing akan terus menapak dalam
leksikon pemakaian sehari-hari sebagai variabel. Maklum, bahasa selalu hidup sesuai
perkembangan zaman dalam sang kala yang terus bergulir tanpa henti.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar