Globalisasi
Ekonomi Syariah
Dalam Sistem
Neo-Liberalisme
Oleh Abdul Haris Booegies
Homo homini lupus (manusia sebagai
serigala bagi sesamanya), merupakan ciri khas ekonomi modern. Dalam meraih kapital gigantik, manusia tidak
butuh nurani. Sebab, nafsu selalu
menjadi landasan struktur tindakan. Aksi
tipu-tipu, kelicikan dan pemaksaan kehendak menjadi ihwal lumrah. Hingga, nafas pelaku ekonomi terisi oksigen
keserakahan. Semua karena digerakkan
oleh rasionalitas instrumental pencapaian laba serta penghimpunan materi
sebanyak buih di samudera.
Kini, insan
global tiba di era neo-liberalisme (sistem pasar bebas). Frasa gagah ini merupakan episode kedua dari
masa kejayaan liberalisme ekonomi di penghujung abad ke 19 dan awal abad ke
20. Di masa itu, dominasi financial capital dalam proses ekonomi
teramat pekat. Kredo inti
neo-liberalisme digagas Adam Smith (1723-1790), David Ricardo (1772-1790)
bersama Herbert Spencer (1820-1903).
Selama 30 tahun
terakhir, sukma liberalisme kembali berdengung kencang dengan istilah
neo-liberalisme. Mazhab neo-liberalisme
jamak dipertautkan dengan visi ekonomi golongan Chicago semacam Gary Becker,
George Stigler serta Milton Friedman.
Bahkan, dikaitkan dengan Mont
Pelerin Society.
Liberalisme dan
neo-liberalisme sesungguhnya tidak persis sama.
Liberalisme merupakan ideologi yang mendukung kebebasan sipil. Dalam persoalan ekonomi, tercantum adanya
pencabutan hukum proteksionis. Alhasil,
bergemuruh perekonomian pasar bebas kapitalis.
Pada hakikatnya,
cara pandang Eropa dengan Amerika berbeda tentang liberalisme. Sebab, masyarakat Eropa sangat memuja
nilai-nilai pasar bebas. Mereka
menganggap jika ideologi liberalismenya mirip demokrat sosial.
Ketika
liberalisme wassalam, maka, berderak embedded liberalism. Model ekonomi tersebut bergemuruh pasca
Perang Dunia II sampai akhir 1970-an.
Anatominya mengumandangkan kalau kinerja ekonomi pasar wajib dikawal
aneka undang-undang. Aturan itu
menginginkan agar modal serta buruh tidak berakhir dengan subordinasi tenaga
kerja pada modal.
Embedded liberalism lalu mati. Posisinya dirampas oleh neo-liberalisme. Perspektif neo-liberalisme menghendaki
manusia sebagai pelaku ekonomi total.
Segenap manifestasi strukturalnya berputar guna mengelola seluruh
masyarakat. Hatta, neo-liberalisme
menjadi sistem kehidupan ekonomi antar-negara.
Halal Berpahala
Neo-liberalisme rumit bercerai dari
kehidupan. Maklum, sistem baru ekonomi
belum sanggup menentang neo-liberalisme.
Biarpun neo-liberalisme mengakar sekaligus menguat, namun, ikhtiar
mutakhir terus dilakukan. Hingga,
meruyak-marak ekonomi syariah.
Dewasa ini,
idiom-idiom ekonomi syariah sudah familiar dalam percakapan dan pergaulan
sehari-hari. Saat ada segepok uang,
maka, bank syariah terlintas di benak.
Ketika butuh duit instan, niscaya pegadaian syariah terbetik di pikiran.
Ekonomi syariah
bak solusi halal. Sebab, mengatasi
masalah tanpa problem. Apalagi,
menenteramkan hati. Semua berkat
ketiadaan bunga yang bersifat to produce
something, out of nothing (menangguk untung dengan cara berleha-leha). Bunga uang sebagai riba, sering
menyengsarakan peminjam (nasabah). Orang
tiba-tiba bangkrut tanpa daya gara-gara bunga.
Harta ludes, harga diri pun amblas.
Dalam ekonomi
syariah, ada upaya saling melindungi (at-ta’min)
serta tolong-menolong (takaful). Pihak pemberi pinjaman tidak berperan sebagai
si raja tega yang mengambil paksa aset sang peminjam. Apalagi, di perbankan syariah ada sistem
peringatan dini yang built-in. Alhasil, nasabah leluasa memantau
perkembangan dananya.
Komponen ekonomi
syariah sarat dengan sifat halal sekaligus bernilai pahala. Wadah positif tersebut, kemudian
menghamparkan kesejahteraan dan keadilan bagi umat manusia. Syahdan, esensinya memang zero poverty (memberantas
kemiskinan). Pasalnya, metode sistem
ekonomi syariah mengandung voluntary
sector dalam bentuk wakaf, amal, zakat, infak serta sedekah. Dana dari derma itu merupakan potensi luar
biasa. Hingga, dapat menjadi sumber
pendanaan pinjaman untuk tujuan konsumtif.
Selain itu, menjadi jaring pengaman sosial. Arkian, mampu mewujudkan keadilan ekonomi
demi mempersempit kesenjangan sosial.
Gejala tersebut
memaparkan bahwa keuntungan dari ekonomi syariah berdampak jangka panjang. Skema itu terhampar berkat keuntungan yang
diraih juga bisa dinikmati di Negeri Akhirat secara berlipat ganda.
Kekosongan Jiwa
Terjangan
neo-liberalisme terkesan sukar dihindari.
Sekalipun susah, tetapi, gugusan neo-liberalisme wajib dihadang. Sebab, sistem tersebut tidak mengangkat
derajat ekonomi secara global.
Neo-liberalisme tidak peduli terhadap segala kasta manusia. Formula itu hanya bergerak gesit bagi
orang-orang tamak. Apalagi, sistem
moneter tidak lepas dari bunga. Tingkat
bunga menjadi penentu bursa uang dan sektor riil.
Neo-liberalisme
memeras tenaga buruh demi kepentingan pengelolanya. Tuan-tuan besar malahan mengeruk fisik bumi
sampai tak menyisakan energi. Sekarang,
neo-liberalisme dituding sebagai biang-kerok kemiskinan global. Barat yang mendewakan metode tersebut sebagai
konfigurasi dalam mencapai kemakmuran, ternyata gagal memusnahkan kemiskinan.
IMF, Bank Dunia
bersama institusi keuangan AS sebagai rentenir internasional, tiada lelah
menggelontorkan agenda neo-liberalisme.
Padahal, elemen itu sekedar mengisap sumber daya, melabrak budaya lokal
serta menghancurkan kearifan suatu bangsa.
Neo-liberalisme
yang megah di Barat, sebenarnya berdiri di atas negara-negara berkembang (least developed countries). Di mandala mereka, melimpah-ruah aneka
makanan yang membuat orang busung kenyang sampai pusarnya mengkilat. Sementara di negara fakir yang dihuni
penduduk buta huruf, terhampar rakyat jelata yang menderita busung lapar. Perut mereka meradang gara-gara seharian tak
mengunyah makanan. Padahal, di planet
ini, makanan sesungguhnya cukup bagi segenap manusia yang memerlukan 3.500
kalori tiap hari per orang.
Pada intinya,
neo-liberalisme berada di balik pupusnya kesejahteraan. Orang tak sanggup mengakses pasar akibat
hamparan duit terkonsentrasi pada korporasi-korporasi swasta raksasa lintas
negara.
Aspek tanpa nilai
moral dan masa depan yang berada dalam genggaman neo-liberalisme tersebut,
secara perlahan membuat ekonomi berbasis syariah
islamiyah, menjadi harapan. Alhasil,
lembaga keuangan global seperti Goldman Sach, Bank ANZ, Citibank, ABN-AMRO,
Chase (Chemical Bank) atau Jardine Fleming, akhirnya masuk ke industri keuangan
syariah. Bahkan, pasar modal dunia Dow
Jones menerbitkan Islamic Dow Jones
Index. Lloyds TSB, ikut pula membuka
unit syariah. Pada Februari 2005,
layanan perbankan terkemuka Inggris itu menyediakan Islamic Current Account.
Formula tersebut sebagai wujud partisipasi terhadap dua juta kaum Muslim
Inggris yang ingin bertransaksi secara lancar.
Antusiasme yang
bergemuruh itu, jelas membuat ekonomi syariah makin diperhitungkan. Apalagi, layanan-layanan berbasis ekonomi
syariah kian ramai dengan banyaknya pembukaan kantor-kantor baru. Di samping itu, ditopang layanan online, phonebanking serta cashpoint.
Pencapaian yang
memukau tersebut, merupakan alamat buruk bagi neo-liberalisme. Apalagi, mekanisme itu cuma mengukur nilai
lewat pasar. Seluruh gagasan di luar
kekuasaan pasar dituding keliru. Hingga,
banyak negara berkembang kolaps oleh sistem neo-liberalisme. Pasalnya, tak mampu melindungi diri dari arus
deras perdagangan dan modal. Aspek
tersebut terjadi lantaran filosofi neo-liberalisme yang memfokuskan diri pada
pasar bebas, aturan minim terhadap pelaku serta hak-hak milik pribadi.
Ketiadaan campur
tangan pemerintah akhirnya membuat neo-liberalisme sebagai paham yang berpijak
pada kebebasan. Padahal, hakikat manusia
selalu bertumpu pada keseharian yang diatur hukum. Tanpa undang-undang, niscaya semua
jerih-payah bakal mengarah pada kekosongan jiwa di tengah lembaran-lembaran
duit yang tak muat ditampung deretan brankas.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar