Sabtu, 11 Juli 2015

Globalisasi Ekonomi Syariah dalam Sistem Neo-Liberalisme



Globalisasi
Ekonomi Syariah
Dalam Sistem
Neo-Liberalisme
Oleh Abdul Haris Booegies

     Homo homini lupus (manusia sebagai serigala bagi sesamanya), merupakan ciri khas ekonomi modern.  Dalam meraih kapital gigantik, manusia tidak butuh nurani.  Sebab, nafsu selalu menjadi landasan struktur tindakan.  Aksi tipu-tipu, kelicikan dan pemaksaan kehendak menjadi ihwal lumrah.  Hingga, nafas pelaku ekonomi terisi oksigen keserakahan.  Semua karena digerakkan oleh rasionalitas instrumental pencapaian laba serta penghimpunan materi sebanyak buih di samudera.
     Kini, insan global tiba di era neo-liberalisme (sistem pasar bebas).  Frasa gagah ini merupakan episode kedua dari masa kejayaan liberalisme ekonomi di penghujung abad ke 19 dan awal abad ke 20.  Di masa itu, dominasi financial capital dalam proses ekonomi teramat pekat.  Kredo inti neo-liberalisme digagas Adam Smith (1723-1790), David Ricardo (1772-1790) bersama Herbert Spencer (1820-1903).
     Selama 30 tahun terakhir, sukma liberalisme kembali berdengung kencang dengan istilah neo-liberalisme.  Mazhab neo-liberalisme jamak dipertautkan dengan visi ekonomi golongan Chicago semacam Gary Becker, George Stigler serta Milton Friedman.  Bahkan, dikaitkan dengan Mont Pelerin Society.
     Liberalisme dan neo-liberalisme sesungguhnya tidak persis sama.  Liberalisme merupakan ideologi yang mendukung kebebasan sipil.  Dalam persoalan ekonomi, tercantum adanya pencabutan hukum proteksionis.  Alhasil, bergemuruh perekonomian pasar bebas kapitalis.
     Pada hakikatnya, cara pandang Eropa dengan Amerika berbeda tentang liberalisme.  Sebab, masyarakat Eropa sangat memuja nilai-nilai pasar bebas.  Mereka menganggap jika ideologi liberalismenya mirip demokrat sosial.
     Ketika liberalisme wassalam, maka, berderak embedded liberalism.  Model ekonomi tersebut bergemuruh pasca Perang Dunia II sampai akhir 1970-an.  Anatominya mengumandangkan kalau kinerja ekonomi pasar wajib dikawal aneka undang-undang.  Aturan itu menginginkan agar modal serta buruh tidak berakhir dengan subordinasi tenaga kerja pada modal.
     Embedded liberalism lalu mati.  Posisinya dirampas oleh neo-liberalisme.  Perspektif neo-liberalisme menghendaki manusia sebagai pelaku ekonomi total.  Segenap manifestasi strukturalnya berputar guna mengelola seluruh masyarakat.  Hatta, neo-liberalisme menjadi sistem kehidupan ekonomi antar-negara.

Halal Berpahala
     Neo-liberalisme rumit bercerai dari kehidupan.  Maklum, sistem baru ekonomi belum sanggup menentang neo-liberalisme.  Biarpun neo-liberalisme mengakar sekaligus menguat, namun, ikhtiar mutakhir terus dilakukan.  Hingga, meruyak-marak ekonomi syariah. 
     Dewasa ini, idiom-idiom ekonomi syariah sudah familiar dalam percakapan dan pergaulan sehari-hari.  Saat ada segepok uang, maka, bank syariah terlintas di benak.  Ketika butuh duit instan, niscaya pegadaian syariah terbetik di pikiran.
     Ekonomi syariah bak solusi halal.  Sebab, mengatasi masalah tanpa problem.  Apalagi, menenteramkan hati.  Semua berkat ketiadaan bunga yang bersifat to produce something, out of nothing (menangguk untung dengan cara berleha-leha).  Bunga uang sebagai riba, sering menyengsarakan peminjam (nasabah).  Orang tiba-tiba bangkrut tanpa daya gara-gara bunga.  Harta ludes, harga diri pun amblas.
     Dalam ekonomi syariah, ada upaya saling melindungi (at-ta’min) serta tolong-menolong (takaful).  Pihak pemberi pinjaman tidak berperan sebagai si raja tega yang mengambil paksa aset sang peminjam.  Apalagi, di perbankan syariah ada sistem peringatan dini yang built-in.  Alhasil, nasabah leluasa memantau perkembangan dananya.
     Komponen ekonomi syariah sarat dengan sifat halal sekaligus bernilai pahala.  Wadah positif tersebut, kemudian menghamparkan kesejahteraan dan keadilan bagi umat manusia.  Syahdan, esensinya memang zero poverty (memberantas kemiskinan).  Pasalnya, metode sistem ekonomi syariah mengandung voluntary sector dalam bentuk wakaf, amal, zakat, infak serta sedekah.  Dana dari derma itu merupakan potensi luar biasa.  Hingga, dapat menjadi sumber pendanaan pinjaman untuk tujuan konsumtif.  Selain itu, menjadi jaring pengaman sosial.  Arkian, mampu mewujudkan keadilan ekonomi demi mempersempit kesenjangan sosial.
     Gejala tersebut memaparkan bahwa keuntungan dari ekonomi syariah berdampak jangka panjang.  Skema itu terhampar berkat keuntungan yang diraih juga bisa dinikmati di Negeri Akhirat secara berlipat ganda.

Kekosongan Jiwa
     Terjangan neo-liberalisme terkesan sukar dihindari.  Sekalipun susah, tetapi, gugusan neo-liberalisme wajib dihadang.  Sebab, sistem tersebut tidak mengangkat derajat ekonomi secara global.  Neo-liberalisme tidak peduli terhadap segala kasta manusia.  Formula itu hanya bergerak gesit bagi orang-orang tamak.  Apalagi, sistem moneter tidak lepas dari bunga.  Tingkat bunga menjadi penentu bursa uang dan sektor riil.
     Neo-liberalisme memeras tenaga buruh demi kepentingan pengelolanya.  Tuan-tuan besar malahan mengeruk fisik bumi sampai tak menyisakan energi.  Sekarang, neo-liberalisme dituding sebagai biang-kerok kemiskinan global.  Barat yang mendewakan metode tersebut sebagai konfigurasi dalam mencapai kemakmuran, ternyata gagal memusnahkan kemiskinan.
     IMF, Bank Dunia bersama institusi keuangan AS sebagai rentenir internasional, tiada lelah menggelontorkan agenda neo-liberalisme.  Padahal, elemen itu sekedar mengisap sumber daya, melabrak budaya lokal serta menghancurkan kearifan suatu bangsa. 
     Neo-liberalisme yang megah di Barat, sebenarnya berdiri di atas negara-negara berkembang (least developed countries).  Di mandala mereka, melimpah-ruah aneka makanan yang membuat orang busung kenyang sampai pusarnya mengkilat.  Sementara di negara fakir yang dihuni penduduk buta huruf, terhampar rakyat jelata yang menderita busung lapar.  Perut mereka meradang gara-gara seharian tak mengunyah makanan.  Padahal, di planet ini, makanan sesungguhnya cukup bagi segenap manusia yang memerlukan 3.500 kalori tiap hari per orang.
     Pada intinya, neo-liberalisme berada di balik pupusnya kesejahteraan.  Orang tak sanggup mengakses pasar akibat hamparan duit terkonsentrasi pada korporasi-korporasi swasta raksasa lintas negara.
     Aspek tanpa nilai moral dan masa depan yang berada dalam genggaman neo-liberalisme tersebut, secara perlahan membuat ekonomi berbasis syariah islamiyah, menjadi harapan.  Alhasil, lembaga keuangan global seperti Goldman Sach, Bank ANZ, Citibank, ABN-AMRO, Chase (Chemical Bank) atau Jardine Fleming, akhirnya masuk ke industri keuangan syariah.  Bahkan, pasar modal dunia Dow Jones menerbitkan Islamic Dow Jones Index.  Lloyds TSB, ikut pula membuka unit syariah.  Pada Februari 2005, layanan perbankan terkemuka Inggris itu menyediakan Islamic Current Account.  Formula tersebut sebagai wujud partisipasi terhadap dua juta kaum Muslim Inggris yang ingin bertransaksi secara lancar.
     Antusiasme yang bergemuruh itu, jelas membuat ekonomi syariah makin diperhitungkan.  Apalagi, layanan-layanan berbasis ekonomi syariah kian ramai dengan banyaknya pembukaan kantor-kantor baru.  Di samping itu, ditopang layanan online, phonebanking serta cashpoint.
     Pencapaian yang memukau tersebut, merupakan alamat buruk bagi neo-liberalisme.  Apalagi, mekanisme itu cuma mengukur nilai lewat pasar.  Seluruh gagasan di luar kekuasaan pasar dituding keliru.  Hingga, banyak negara berkembang kolaps oleh sistem neo-liberalisme.  Pasalnya, tak mampu melindungi diri dari arus deras perdagangan dan modal.  Aspek tersebut terjadi lantaran filosofi neo-liberalisme yang memfokuskan diri pada pasar bebas, aturan minim terhadap pelaku serta hak-hak milik pribadi.
     Ketiadaan campur tangan pemerintah akhirnya membuat neo-liberalisme sebagai paham yang berpijak pada kebebasan.  Padahal, hakikat manusia selalu bertumpu pada keseharian yang diatur hukum.  Tanpa undang-undang, niscaya semua jerih-payah bakal mengarah pada kekosongan jiwa di tengah lembaran-lembaran duit yang tak muat ditampung deretan brankas.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Amazing People