Layar Keras
Oleh Abdul Haris Booegies
Masyarakat Indonesia dan televisi swasta
kini sedang berbulan madu. Bergumpal-gumpal hiburan menawan serta
informasi aktual berlomba ketat mengisi layar kaca. Hadiah-hadiah menggiurkan turut pula
digulirkan. Aneka paket yang ditawarkan
kepada penonton itu, bisa lancar berkat anggaran promosi yang sangat meluap. Pada 1994, misalnya, kue iklan empat TV swasta
mencapai Rp. 800 miliar.
Program televisi yang menonjol dalam
menguras perhatian orang-orang yang mulai kecanduan TV (teve-addict) yakni film-film impor. Arkian, pemirsa mengenal tendangan berantai
Jean Claude van Damme, kegesitan tinju Charles Bronson dan sepak-terjang si
jelita Cindy Rothrock. Masyarakat pun sudah
fasih mengomel dengan istilah “fuck you”,
“bullshit” atau “freeze”. Bahkan, di film Sniper,
didengungkan filosofi “one shot one kill”.
Film-film yang diputar media
pandang-dengar tersebut, memperlihatkan bahwa masyarakat senang dengan tontonan
yang penuh gemuruh bak bik buk maupun desingan dar der dor. Fenomena itu membuat pihak pemasang iklan bersaing
mempromosikan produknya dalam acara-acara yang menampilkan kekerasan. Alhasil, terbentuk suatu mata rantai antara
penonton yang haus hiburan, visi bisnis stasiun televisi dengan produsen yang
berkompetisi merebut pasar. Rangkaian
tersebut kemudian melahirkan kebijaksanaan yang berorientasi iklan. Hingga, tayangan berdosis action berlebihan kian berkibar. Akibatnya, program TV dengan tema
kekerasan betah menduduki peringkat kepopuleran teratas.
Paket “murahan” rakitan Hollywood dengan
muatan kekerasan yang meraih rating
tinggi di Indonesia, rupanya dianggap garbage
film (suguhan sampah) di Amerika. Aspek
itu memperlihatkan bahwa budaya tontonan Amrik sangat berbeda dengan negara-negara
Dunia Ketiga. Sebab, ketika di negeri
ini orang terpukau-kagum dengan film keras (Death
Warrant, Death Hunt maupun Messenger
of Death), maka, tontonan yang memikat hati bangsa Amerika ialah film
keluarga (Mr. Doubtfire), galaksi (Star Trek Generations) atau animasi (The Lion King).
Gejala di Negeri Paman Sam menandaskan
bahwa pola pikir serta tingkat ekonomi suatu bangsa, merupakan landasan yang mempengaruhi
tradisi tontonan. Makin tinggi tahta
dialektika pemikiran dan kemakmuran status sosial, berarti kian jauh masyarakat
dari selera lakon vulgar.
Amerika kini tidak memberi ruang yang
layak bagi sajian kekerasan dengan intensitas tinggi. Pasalnya, lakon kekerasan dinilai menjijikkan
untuk ditampilkan. Amrik yang punya
Pendapatan National Bruto (GNP) per kepala senilai 24.750 dolar AS pads 1993,
makin muak dengan film keras lantaran episode kebuasan akrab dengan perilaku-perilaku
agresif golongan papa di kawasan vandalisme.
Apalagi, suguhan itu gampang menularkan fenomena tindak kriminal yang
menumpulkan daya kritis.
9 Mei 1994, US News bersama UCLA melakukan survei. Mereka melaporkan bahwa 59 persen responden
setuju kalau adegan kekerasan dalam film merupakan problem besar. Lantas 63 persen menilai bila media hiburan
milik mereka justru mendewakan kekerasan. Sementara laporan Komisi Radio Televisi dan
Komunikasi Kanada di akhir April 1992, menegaskan jika terdapat indikasi antara
penyebab serta dampak kekerasan TV dengan kebrutalan di tengah masyarakat.
Nancy Signorely, peneliti dari Universitas
Delaware, Amerika, malahan menjelaskan kalau dalam 25 tahun terakhir, minimal
terjadi lima kecelakaan tiap jam gara-gara pengaruh film televisi. Di sisi lain, Masyarakat Ekonomi Eropa menilai
unsur kekerasan dalam film-film Hollywood menjadi faktor penting dalam memantik
“proses kebinasaan budaya Eropa”. Sedangkan
National Aryan Youth Council di India, memandang bila ada korelasi antara
tingkah laku kekerasan remaja dengan tayangan TV Barat yang dinikmatinya.
Berbagai tontonan yang menjurus ke arah
sadisme, akhirnya menggelorakan ragam ketakutan. Apalagi, film-film beradegan keras mudah
mencederai pola pikir dan perilaku. Bahkan, efeknya sanggup mengacak-acak alam
bawah sadar. Akibatnya, rutinitas
keseharian serta ritme pergaulan terganggu lantaran norma kehidupan disambar
penganiayaan.
Urgensi tontonan sehat dibutuhkan
masyarakat Dunia Ketiga yang masih tertinggal dalam proses daya akal budi dan
pundi-pundi finansial. Dengan demikian
mereka tidak terjerumus dalam dekadensi moral. Kini, yang dibutuhkan tiada lain suatu mata
rantai yang bertanggung-jawab.
Komunitas pemirsa, industri hiburan serta
kaum produsen sebagai suatu kesatuan, dituntut memiliki idealisme luhur untuk
menghargai moralitas, pendidikan dan generasi. Sebab, acara-acara yang ditonton hari ini,
pada prinsipnya akan menjadi cermin tunas harapan bangsa di masa nanti.
Moralitas, pendidikan serta generasi,
mutlak memperoleh prioritas perhatian. Maklum, sinergi ketiganya akan menyeimbangkan
nafsu menonton, laba berlapis miliar dan promosi tanpa batas. Kontrol atas moralitas, pendidikan serta
generasi, merupakan pula ayunan langkah dalam melindungi masa depan. Elemen itu juga berarti menyelamatkan
kehidupan dari penganiayaan.
“Kami tiada menganiaya mereka. Mereka sendiri yang menganiaya dirinya” (az-Zukhruf: 76).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar