Jumat, 21 Juni 2013

Paparazzi Indonesia


Selamat Datang
Paparazzi
Indonesia
Oleh Abdul Haris Booegies

     Di Indonesia, istilah paparazzi belum sepopuler di Amerika Serikat atau Eropa. Foto-foto pejabat publik serta selebriti masih terkesan resmi. Tak ada potret liar yang dapat membuat jantung berdegup keras atau merangsang imajinasi.
     Foto Sukma Ayu, memang sempat menghebohkan.  Hanya saja, potret panas itu bukan hasil kerja paparazzi.  Rangkaian gambar sensasional tersebut merupakan koleksi pribadi yang disalahgunakan oleh oknum tertentu.  Akibatnya, jagat artis Indonesia geger.
     Indonesia bukan lahan subur bagi paparazzi yang suka menonjolkan perilaku tak senonoh lantaran dua hal. Pertama, selama Orde Baru, timbul ketakutan mendalam soal hidup mati media.  Memberitakan fenomena yang menyinggung penyelenggara negara bisa dituduh subversi.  Akibatnya, media bersangkutan bakal dibreidel.
     Tuduhan penguasa yang sering membuat orang mengelus dada, memaksa pers Indonesia seragam dalam pemberitaan.  Kalau ada informasi yang berpeluang membahayakan, maka, media lebih suka mengutip kantor berita Antara.
     Situasi mencekam demikian, yang memaksa media tiarap terus. Mereka harus selalu terbit sesuai petunjuk bapak presiden.  Mencuarkan hal-hal yang tidak sejalan dengan semangat kepentingan penguasa akan berujung maut.  Akibatnya, paparazzi yang senang mengintai dengan lensa jarak jauh, tak sanggup hidup dalam pers Indonesia yang tandus, gersang dan sarat rambu-rambu mematikan.
     Kedua, ihwal yang membuat media Indonesia susah dihuni paparazzi yakni sumber daya manusia yang malas menyimak makna hakiki materi di media massa.  Masyarakat memang baca koran, tetapi, yang mereka reka kata demi kata cuma berita olahraga.
     Isu-isu bernuansa sosial serta politik tak menarik hati. Sebab, perkara hidup sehari-hari telah teramat melelahkan. Problem kemiskinan sekaligus rupa-rupa keterbelakangan, diakali terus oleh abdi negara.  Arkian, masyarakat menjadi apatis, tidak intelek dan hidup dalam kehampaan.
     Media yang kurang bernas tersebut, mengakibatkan paparazzi kesulitan mencengkeramkan kehadirannya di Indonesia. Apalagi, foto-foto voyeurism technique (pemberitaan dengan cara mengintip gerak-gerik sasaran) yang bernilai tinggi rupiah itu, repot dipasarkan.  Media emoh membayar mahal sebuah foto yang bisa membuatnya dituding tak bermoral.  Bahkan, boleh jadi mereka diserbu preman-preman bayaran dari orang-orang tertentu.  Di samping itu, hantu pencabutan surat izin usaha nyaring berdengung menciutkan nyali.

Tak Jenuh Menguntit
     Paparazzi merupakan bentuk jamak paparazzo (fotografer liar).  Pada 1959, sutradara Federico Fellini memperkenalkan ungkapan tersebut dalam film La Dolce Vita (The Sweet Life).  La Dolce Vita dibintangi Marcello Mastroianni, Anita Ekberg, Anouk Aime, Yvonne Furneaux dan Walter Santesso yang didapuk sebagai paparazzo.  Film yang liar dengan deskripsi amoral tersebut, banyak dipuji sebagai terobosan baru di dunia sinema pada kurun
waktu itu.
     Sejak film tersebut beredar, maka, gerombolan paparazzi pun ikut bergentayangan ke mana-mana mencari mangsa empuk yang bernilai jual tinggi.  Kehidupan dalam istana tiba-tiba leluasa dilihat umum.  Perilaku abnormal kalangan ningrat langsung bertebaran di media massa.  Konsep mereka tiada lain; bad news is good news.
     Masyarakat mondial, misalnya, bisa melihat foto mesum Duchess of York Sarah Ferguson kala diisap ibu jari kakinya oleh penasehat keuangannya yang botak.  Hasil jepretan paparazzo Daniel Angeli di lokasi St. Tropez tersebut, sontak menggegerkan seisi Istana Buckingham.  Ratu Elizabeth II, jelas sangat malu melihat tingkah menantunya yang bermesraan dengan pria idaman lain.
     Puncak perlakuan paparazzi terhadap keluarga Kerajaan Inggris ialah tewasnya Lady Diana.  Kematian tragis Diana bersama Dodi al-Fayed, memang bukan sekedar ulah paparazzi.  Pasalnya, dinas intelijen Inggris bersama CIA turut berpartisipasi dalam menghilangkan nyawa sepasang insan yang diamuk asmara itu.  Pembunuhan tersebut direstui dengan alasan tidak sepatutnya Pangeran William sebagai calon pewaris tahta Kerajaan Inggris berayah tiri Dodi, yang beragama Islam.
     Kepergian Diana membuat dunia menangis.  Sisi manusiawi paparazzi pun ikut tersentuh.  Mereka akhirnya bersumpah tidak lagi akan mengusik keluarga kerajaan.  Hanya saja, orang bijak bertutur bahwa lidah tak bertulang.  Akibatnya, tukang potret pemburu berita ilegal itu kembali membidik Pangeran Harry yang badung.  Putra Pangeran Charles tersebut, tertangkap lensa kamera memakai ban lengan bersimbol swastika sembari memegang gelas berisi minuman keras serta sebatang rokok.  Pangeran Harry kala itu tengah ikut pesta kostum di London pada 13 Januari 2005.
     Di ranah Hollywood, Leonardo DiCaprio menganggap paparazzi cuma merepotkan keseharian aktivitasnya.  Sebab, bintang The Aviator tersebut tak bebas menikmati kehidupan pribadinya lantaran fotografer liar itu tak jenuh menguntitnya.  Sedangkan Nicole Kidman takut meninggalkan rumah akibat tertekan oleh ulah paparazzi.  Di kediaman bekas istri Tom Cruise tersebut, malahan ditemukan alat penyadap.  Bahkan, pada 1998, paparazzo Eric Ford sempat merekam percakapan telepon Kidman dengan Cruise. Pembicaraan itu lalu dijual ke koran Amerika, The Globe.
     Artis Hollywood yang pernah bermasalah dengan paparazzi antara lain Marlon Brando, George Clooney, Alec Baldwin, Justin Timberlake maupun Cameron Diaz.  Arnold Schwarzenegger yang sekarang menjabat gubernur California, juga pernah mengalami kecelakaan mobil bersama dua anaknya gara-gara dikejar-kejar paparazzi.  Sikap ugal-ugalan tukang foto tanpa etika yang berambisi dan antusias dalam memperoleh foto-foto eksklusif tersebut, memperlihatkan ketidakpedulian mereka terhadap keselamatan selebriti.  Kelompok itu bertindak di luar kontrol seraya melakukan segala cara.
     Serangan lensa nakal paparazzi, menjengkelkan pula Britney Spears.  Hingga, diva pop Amerika tersebut tak segan melemparkan minuman ringan ke arah paparazzi yang hendak mengusik ketenangannya.

Wadah Kemitraan
     Kultur Indonesia berbeda jauh dengan negara-negara Eropa serta Amerika.  Walau berlainan, namun, Indonesia sudah mulai disusupi sukma paparazzi.  Sejak menjamurnya televisi swasta, maka, tayangan-tayangan yang menyerempet wilayah pribadi mulai bergema. Alhasil, lahir istilah infotainment (informasi campur entertainment).
     Acara infotainment sering membeber privasi seseorang tanpa batas.  Program itu bertutur perihal gosip yang berkembang di masyarakat.  Liputannya kerap tidak mengindahkan kaidah jurnalistik.  Mereka seolah tak hirau dengan privasi narasumber.  Kini, laju infotainment makin sakti berkat mampu menyiarkan langsung peristiwa pilihan dari tempat kejadian (live reports on locations).  Pemberitaan infotainment yang tidak etis, memaksa para selebriti merasa ngeri tiap hari.  Soalnya, jurnalis infotainment ibarat bermetamorfosis menjadi paparazzi.
     Selama ini, insan global tahu bila paparazzi tak memiliki belas kasihan terhadap obyek yang diincar.  Mereka tega menghalalkan aneka kesempatan demi memperoleh sesuatu yang eksklusif.  Wartawan foto bajingan itu selalu berusaha sekuat tenaga menggapai impiannya tanpa mengindahkan etika.
     Biarpun penguntit liar tersebut dihujat habis-habisan, tetapi,
mereka punya alasan bahwa pekerjaan itu adalah profesi.  Mereka melakukannya sebagaimana orang lain juga menjalankan profesinya.  Selain itu, popularitas tinggi yang disandang seorang bintang merupakan apresiasi masyarakat berkat diekspos media.  Alhasil, artis menjadi bagian dari umum. 
Struktur tersebut menunjukkan bahwa isu yang telah menjadi milik publik memungkinkan adanya pemaksaan secara tegas terhadap narasumber.  Para pelaku berita wajib membeberkan informasi sesungguhnya.  Jika ada kasus yang terdaftar di pengadilan, umpamanya, maka, publik berhak tahu.  Sementara wartawan berdosa kalau tidak mengabarkannya.
     Harus diakui bila public figure dibesarkan oleh media.  Tanpa media, niscaya kadar ketenaran selebriti berada pada titik nol.  Kendati media berjasa besar, namun, tidak berarti semua sisi kehidupan layak dikorek.  Beberapa aspek mesti tetap ditutup rapat sebagai rahasia seumur hidup.  Masyarakat tidak berhak tahu sekalipun menarik dalam kemasan gosip.
     Seorang public figure tetap punya kehidupan pribadi yang mutlak dihormati.  Sedangkan paparazzi atau reporter infotainment tidak selayaknya gelap mata.  Mereka seyogianya punya tuntutan standar kewartawanan yang menghargai wilayah personal sebagai suatu wadah kemitraan.  Hatta, tidak muncul perkara baru yang menistakan kepribadian seseorang.

(Pedoman Rakyat, Kamis, 12 Mei 2005)



























































Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Amazing People