Rabu, 12 Juni 2013

Dialog Radovan Karadzic


Dialog Karadzic
Oleh Abdul Haris Booegies
     Gulita menyelimuti malam.  Hawa dingin menerpa pori-pori.  Lelap, tiba-tiba menjadi obat penyegar bagi orang-orang yang sudah bekerja seharian.  Sekalipun penat menyergap, namun, di suatu sudut dunia di wilayah Bosnia-Herzegovina, Dr Radovan Karadzic tak goyah menembus malam berkabut.  Ia berdiri di jembatan Visegrad yang dibangun empat abad silam oleh Turki di bawah pimpinan Dinasti Usmaniyah.  Jembatan Visegrad yang melambangkan Bosnia, dipancangkan oleh Mehmet Pasha Sokolovic, vezir Usmaniyah pada 1571.
     Karadzic, Presiden Serbia-Bosnia berhaluan garis keras itu, menerawang.  Ia ingat kalau di tempatnya sekarang berdiri, terjadi bombardemen milisi Serbia di awal agresi terhadap Muslim Bosnia.  Visegrad bukan sekedar jembatan sebelas lengkung yang kokoh di atas sungai Drina.  Alat penyeberangan yang dirancang buat warga Muslim Bosnia tersebut, telah menjadi sebuah monumen abadi.  Benda sepanjang 180 meter itu, juga merupakan saksi atas keganasan tentara Serbia dalam mencabut nyawa Muslim Bosnia.
     Langkah Karadzic kemudian terayun.  Pemimpin Chetnik yang ahli psikiater dengan spesialisasi ilmu perihal depresi tersebut, ingin bergegas pulang ke markas besarnya di Pale, dekat Sarajevo.  Ketika hendak meninggalkan jembatan, mendadak Silhouette (bayangan dirinya), muncul.  “Hari-hari yang melelahkan belum kunjung usai”, sapa sang bayangan.
     Karadzic tersenyum.  Giginya terlihat mengkilap diterpa seberkas cahaya.  Mulutnya lantas lancar berkisah tentang posisinya yang kini aman.  Maklum, Jimmy Carter pun mampu diperalatnya sesudah sukses mengantongi tiga Panglima UNPROFOR (Lars-Eric Wahlgren, Sir Michael Rose dan Rupert Smith).
     Karadzid pun leluasa mempermainkan utusan khusus PBB Yasushi Akashi maupun penengah idiot Thorvald Stoltenberg, Cyrus Vance serta Lord David Owen.  Carter sebagai mediator internasional dalam krisis-krisis global, justru menyelamatkan Karadzic dari pengucilan dunia.  Mantan Presiden Amerika itu memberikan begitu banyak simpati kepada pemberontak Serbia.
     “Orang menuduh bila saya telah berjuang demi suatu cita-cita gagal.  Mereka lupa jika rasisme serta nasionalisme adalah haluan untuk menciptakan the Greater of Serbia”, tegas Karadzic yang dalam darahnya menetes sukma Gavrilo Princip, pemicu Perang Dunia I.
     “Langkahmu betul-betul tidak dirintangi moralitas.  Tangan-tangan setan sudah membuat kehidupanmu serba tersudut. Bergumpal-gumpal dendam merecoki lubuk hatimu.  Hatta, tiada sepetak pun teritorial kebenaran dalam sanubarimu.  Karadzic!  Sesungguhnya rasisme dan nasionalisme sekedar kumpulan adegan horor”.
     Karadzic tergelak-gelak.  “Bosnia ditakdirkan menjalani hidup penuh intrik dan teror”, ujar Karadzic.  “Takdirmu pun kematian.  Kau fokus pada kebanggaan ras.  Kau tak mendengar suara hatimu”, tandas Silhouette.
     “Doktrin komunis ortodoks telah musnah.  Walau hancur berkeping-keping, tetapi, sistem komunis totaliter masih sanggup menelan mangsa.  Memburu demi balas dendam atau untuk kesenangan merupakan permainan guna mengisi hari-hari yang tanpa ampun, sebagaimana di masa Hitler”, papar Karadzic yang bakal diadili di Mahkamah Internasional sebagai penjahat perang bersama Ratko Mladic (panglima militer), Mico Stanisic (bekas kepala polisi) serta Zeljko Meakoc (komandan kamp Omerska).
     “Di era dosa ini, politik bukan an art to serve the people.  Dalam bertahan di kancah politik, orang mutlak berprinsip love crime fight humanity”, sambung Karadzic yang punya affair dengan politisi-politisi militan di Serbia.
     “Intensitas kezalimanmu patut diacungi jempol berkali-kali.  Apalagi, penempatan aspek kunci persetujuan gencatan senjata yang impoten makin mempertegas kejahatanmu.  40 ribu pasukan PBB dari 39 bangsa di eks Yugoslavia malahan tidak konsekuen menjalankan tugas.  Arkian, Muslim Bosnia tetap mencium bau darah kematian tiap detik”, cetus Silhouette.
     “Garis nasib menghendaki pertumpahan darah.  Apalagi, Rusia, Inggris, Perancis, Jerman, Spanyol bersama Portugal mendukung Serbia.  Selain itu, penempatan (inter-positioning) prajurit PBB membuat Serbia kian kokoh di 70 persen wilayah Bosnia yang dicaplok”, imbuh Karadzic bangga.
     “Muslim Bosnia sekarang makin terpuruk dalam siksa serta derita.  Sejak 5 April 1992 sampai memasuki tahun keempat pada 1995, tercatat 200 ribu warga Bosnia wafat.  Gairah hidupnya rontok oleh desing peluru”, desah Silhoutette pedih.
     Karadzic menatap bayangannya.  Kepalanya lalu dijulurkan ke dekat telinga Silhouette.  “Hidup adalah tantangan yang berselimut tragedi bengis atau tradisi luhur.  Di sisi lain, sejarah dibentuk oleh kekacauan dan pembunuhan.  Belajarlah memahami rahasia setan yang menggaungkan kekerasan yang dilembagakan (institutionalized violence)”, bisik Karadzic sambil meninggalkan sang bayangan, jembatan Visegrad serta keheningan malam.
     Di sudut lain, di tengah kesunyian malam pekat, melantun doa dari jamaah Bosnia ke hadirat Ilahi.  Negeri mereka yang elok, musnah dilumat oleh algojo-algojo Karadzic.  Tiada tersisa, kecuali penyesalan atas kehancuran toleransi antarmanusia.
     Muslim Bosnia kini terpencar dari sanak-saudara dengan luka hati perih.  Kejahatan serta kezaliman telah membinasakan pemikiran maupun kebudayaan mereka.
     “Ganjaran bagi suatu kejahatan adalah hukuman setimpal.  Siapa memaafkan serta berbuat bajik, niscaya pahalanya berada di sisi Allah.  Tuhan tidak suka begundal pelakon kezaliman” (asy-Syuura: 40).

















































































































Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Amazing People