Dialog Karadzic
Oleh Abdul Haris Booegies
Gulita
menyelimuti malam. Hawa dingin menerpa
pori-pori. Lelap, tiba-tiba menjadi obat
penyegar bagi orang-orang yang sudah bekerja seharian. Sekalipun penat menyergap, namun, di suatu
sudut dunia di wilayah Bosnia-Herzegovina, Dr Radovan Karadzic tak goyah
menembus malam berkabut. Ia berdiri di
jembatan Visegrad yang dibangun empat abad silam oleh Turki di bawah pimpinan
Dinasti Usmaniyah. Jembatan Visegrad
yang melambangkan Bosnia, dipancangkan oleh Mehmet Pasha Sokolovic, vezir Usmaniyah pada 1571.
Karadzic,
Presiden Serbia-Bosnia berhaluan garis keras itu, menerawang. Ia ingat kalau di tempatnya sekarang berdiri,
terjadi bombardemen milisi Serbia di awal agresi terhadap Muslim Bosnia. Visegrad bukan sekedar jembatan sebelas
lengkung yang kokoh di atas sungai Drina.
Alat penyeberangan yang dirancang buat warga Muslim Bosnia tersebut,
telah menjadi sebuah monumen abadi.
Benda sepanjang 180 meter itu, juga merupakan saksi atas keganasan
tentara Serbia dalam mencabut nyawa Muslim Bosnia.
Langkah Karadzic
kemudian terayun. Pemimpin Chetnik yang
ahli psikiater dengan spesialisasi ilmu perihal depresi tersebut, ingin
bergegas pulang ke markas besarnya di Pale, dekat Sarajevo. Ketika hendak meninggalkan jembatan, mendadak
Silhouette
(bayangan dirinya), muncul. “Hari-hari
yang melelahkan belum kunjung usai”, sapa sang bayangan.
Karadzic
tersenyum. Giginya terlihat mengkilap
diterpa seberkas cahaya. Mulutnya lantas
lancar berkisah tentang posisinya yang kini aman. Maklum, Jimmy Carter pun mampu diperalatnya sesudah
sukses mengantongi tiga Panglima UNPROFOR (Lars-Eric Wahlgren, Sir Michael Rose
dan Rupert Smith).
Karadzid pun
leluasa mempermainkan utusan khusus PBB Yasushi Akashi maupun penengah idiot
Thorvald Stoltenberg, Cyrus Vance serta Lord David Owen. Carter sebagai mediator internasional dalam
krisis-krisis global, justru menyelamatkan Karadzic dari pengucilan dunia. Mantan Presiden Amerika itu memberikan begitu
banyak simpati kepada pemberontak Serbia.
“Orang menuduh
bila saya telah berjuang demi suatu cita-cita gagal. Mereka lupa jika rasisme serta nasionalisme
adalah haluan untuk menciptakan the
Greater of Serbia”, tegas Karadzic yang dalam darahnya menetes sukma Gavrilo Princip, pemicu Perang Dunia I.
“Langkahmu betul-betul
tidak dirintangi moralitas.
Tangan-tangan setan sudah membuat kehidupanmu serba tersudut.
Bergumpal-gumpal dendam merecoki lubuk hatimu.
Hatta, tiada sepetak pun teritorial kebenaran dalam sanubarimu. Karadzic!
Sesungguhnya rasisme dan nasionalisme sekedar kumpulan adegan horor”.
Karadzic tergelak-gelak. “Bosnia ditakdirkan menjalani hidup penuh
intrik dan teror”, ujar Karadzic.
“Takdirmu pun kematian. Kau fokus
pada kebanggaan ras. Kau tak mendengar
suara hatimu”, tandas Silhouette.
“Doktrin komunis
ortodoks telah musnah. Walau hancur
berkeping-keping, tetapi, sistem komunis totaliter masih sanggup menelan mangsa. Memburu demi balas dendam atau untuk
kesenangan merupakan permainan guna mengisi hari-hari yang tanpa ampun,
sebagaimana di masa Hitler”, papar Karadzic yang bakal diadili di Mahkamah
Internasional sebagai penjahat perang bersama Ratko Mladic (panglima militer),
Mico Stanisic (bekas kepala polisi) serta Zeljko Meakoc (komandan kamp
Omerska).
“Di era dosa ini,
politik bukan an art to serve the people. Dalam bertahan di kancah politik, orang
mutlak berprinsip love crime fight
humanity”, sambung Karadzic yang punya affair
dengan politisi-politisi militan di Serbia.
“Intensitas kezalimanmu patut diacungi
jempol berkali-kali. Apalagi, penempatan
aspek kunci persetujuan gencatan senjata yang impoten makin mempertegas kejahatanmu. 40 ribu pasukan PBB dari 39 bangsa di eks
Yugoslavia malahan tidak konsekuen menjalankan tugas. Arkian, Muslim Bosnia tetap mencium bau darah
kematian tiap detik”, cetus Silhouette.
“Garis nasib
menghendaki pertumpahan darah. Apalagi,
Rusia, Inggris, Perancis, Jerman, Spanyol bersama Portugal mendukung
Serbia. Selain itu, penempatan (inter-positioning) prajurit PBB membuat
Serbia kian kokoh di 70 persen wilayah Bosnia yang dicaplok”, imbuh Karadzic
bangga.
“Muslim Bosnia
sekarang makin terpuruk dalam siksa serta derita. Sejak 5 April 1992 sampai memasuki tahun
keempat pada 1995, tercatat 200 ribu warga Bosnia wafat. Gairah hidupnya rontok oleh desing peluru”,
desah Silhoutette
pedih.
Karadzic menatap
bayangannya. Kepalanya lalu dijulurkan
ke dekat telinga Silhouette. “Hidup adalah tantangan yang berselimut tragedi
bengis atau tradisi luhur. Di sisi lain,
sejarah dibentuk oleh kekacauan dan pembunuhan.
Belajarlah memahami rahasia setan yang menggaungkan kekerasan yang
dilembagakan (institutionalized violence)”,
bisik Karadzic sambil meninggalkan sang bayangan, jembatan Visegrad serta
keheningan malam.
Di sudut lain, di
tengah kesunyian malam pekat, melantun doa dari jamaah Bosnia ke hadirat Ilahi. Negeri mereka yang elok, musnah dilumat oleh
algojo-algojo Karadzic. Tiada tersisa,
kecuali penyesalan atas kehancuran toleransi antarmanusia.
Muslim Bosnia kini terpencar dari sanak-saudara
dengan luka hati perih. Kejahatan serta
kezaliman telah membinasakan pemikiran maupun kebudayaan mereka.
“Ganjaran
bagi suatu kejahatan adalah hukuman setimpal.
Siapa memaafkan serta berbuat bajik, niscaya pahalanya berada di sisi
Allah. Tuhan tidak suka begundal pelakon
kezaliman” (asy-Syuura: 40).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar