Karakter Kuat Santri
Oleh Abdul Haris Booegies
Santri Pesantren Modern Pendidikan al-Qur'an IMMIM era 80-an dan 90-an, identik dengan perjuangan lantaran keterbatasan. Sebagai umpama, jatah nasi cuma satu piring tiap makan. Santri juga piket untuk membantu mobilitas pimpinan kampus. Bahkan, ada piket malam yang meronda sampai subuh. Kini, semua berubah. Santri boleh menambah nasi sampai kenyang. Santri pun tak perlu repot menjaga kampus. Ada satpam yang bertugas 24 jam sehari-semalam.
Saya terkenang film Rocky IV pada 1985. Bokser Amerika Serikat Rocky Balboa (Sylvester Stallone) berlatih dikelilingi alat-alat supermutakhir yang komplet di tengah metropolis. Ini membuat Rocky merasa dimanjakan. Apa hasilnya? Rocky kalah KO dari Ivan Drago (Dolph Lundgren), petinju Uni Soviet. Demi merebut kembali sabuk juara, Rocky akhirnya berlatih di sasana terpencil yang jauh dari modernitas.
Saya ingat sebuah video pendek. Generasi pertama berjalan kaki ke tempat kerja yang berjarak 10 km. Generasi kedua mengendarai motor ke kantor. Generasi ketiga naik mobil. Generasi keempat menunggang motor. Generasi kelima berjalan kaki mencari sesuap nasi.
Mengapa siklus ini berputar kembali ke titik awal? Sebab, generasi ketiga hidup serba cukup. Mereka tidak perlu bersusah-payah dalam kesulitan. Generasi ketiga tak mewariskan watak kokoh kepada keturunannya. Akibatnya, mereka gampang jatuh tergelincir dalam mengarungi hidup. Rintangan sepele saja sanggup menggoyahkan semangat. Mereka bukan petarung sejati seperti generasi pertama yang karakternya kuat berkat banyak dibelenggu kesusahan hidup.
Sebagai pengelana ilmu, saya tidak anti dengan kebijakan yang dijalankan di pesantren. Tentu kemudahan yang ditawarkan ke santri untuk memaksimalkan transfer pengetahuan. Di satu sisi, tiada pula elok ditampik bahwa kemudahan justru mematikan karakter pantang menyerah. Ini membuat jiwa tanpa kobar api. Hingga, spirit tak dapat berkecamuk menyala dalam persaingan. Ikhwal inilah yang mengusik sanubari. Mungkinkah santri milenial sesudah tamat 30 tahun, bisa sesakti alumni 80-an serta 90-an yang prestasinya juga diukur setelah 30 tahun finis di Pesantren IMMIM. Waktu yang bakal membuktikan di masa depan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar