Sabtu, 11 Maret 2023

Balas Dendam Buku Harian


Balas Dendam Buku Harian
Cerpen Abdul Haris Booegies


     Di sore nan sejuk ini, kami delapan mantan santriwan-santriwati Pesantren IMMIM, berjalan beriringan.  Saya, Hapip Berru, Ahmad Tirta, Andi Rian, Siti Susan, Sukmawati, Siskawati Rahma dan Andi Dian melangkah ke kafetaria di area Klinik Bella.  Wajah kami tergores pilu.  Kami baru saja menjenguk Muammar Dinar, alumnus Pesantren IMMIM.  Tadi pagi ia dilarikan ke Klinik Bella.  Kondisinya belum menentu kendati bukan fase kritis.
     "Siapa pelaku penganiayaan itu", tanya Dian saat kami duduk di sofa kafetaria.
     "Dalam sepekan, lima alumni dihajar sampai bonyok", ujar Rian.
     "Ada yang janggal di kasus penganiayaan ini", gumam Tirta.
     "Apa yang janggal?"  Susan buka suara sembari menatap tajam Tirta.
     "Kelima korban merupakan satu angkatan", jawab Tirta.
     "Semua 5.000 alumni Pesantren IMMIM sudah tahu itu", tukas Hapip secepat kilat.
     "Jangan dulu menyela.  Ini intinya.  Kelima korban ketika kelas V di pesantren merupakan anggota qismul amni yang doyan mengadili secara keras".
     "Saya dulu sering ditempeleng algojo qismul amni.  Seksi keamanan ini tiada lain mimpi buruk di siang bolong", aku Rian dengan mimik sedih.
     "Apalah makna menjadi qismul amni, tetapi, membiarkan tinju menghantam santri", tukas Sukma.
     "Rasanya ini aneh.  Di TKP tidak ada saksi atas penganiayaan yang menimpa Muammar", gumam Siska.
     "Lebih aneh lagi, pelaku bertindak di tempat yang jauh dari pantauan CCTV", kata Susan.
     "Pelaku pasti cerdik sekaligus kuat", ujarku.
     "Jadi motif penganiayaan ini, apa!  Balas dendam?"  Sukma bersoal diiringi gerak tubuh yang gundah.
     Dari delapan anggota geng kami yang anak IMMIM era 80-an, Sukma yang pertama kali menikah.  Sekarang ia hidup dengan suami kedua.
     "Saya tak menyimpulkan ini balas dendam, namun, ini bukan kebetulan.  Mereka satu angkatan di pesantren.  Kelimanya juga anggota qismul amni yang terkenal keji di masanya", ungkap Tirta sambil memandang Sukma.
     "Orang yang menganiaya kelima bekas anggota qismul amni ini pasti kuat secara fisik.  Ia tangguh, terlatih memukul.  Akibatnya, lima eks qismul amni tersebut kini tergolek lunglai di rumah sakit", cibir Rian.
     "Ini namanya, di atas langit masih ada langit.  35 tahun silam mereka petantang-petenteng sebagai gerombolan qismul amni.  Seenaknya mengadili menggunakan kekerasan.  Sekarang di usia lebih 50 tahun, mereka keok dihajar sesosok bayangan misterius", ujar Hapip tanpa mampu menyembunyikan seringai sinis di wajahnya.
     "Saya kira ini balas dendam.  Eksekutornya menanti selama 35 tahun untuk melampiaskan dendam kesumat", tutur Rian.
     "Pertanyaannya, mengapa harus menunggu 35 tahun", cetus Siska dengan paras takjub.  Kerling matanya yang sekilas ke Rian menambah pesona roman mukanya.
     "Di Pesantren IMMIM diajarkan agar jangan terlalu membenci orang.  Sebab, mungkin besok ia menjadi mitra yang menyenangkan.  Hadis bernasehat pula supaya tidak membenci orang lebih tiga hari", urai Dian.
     "Ini 35 tahun dendamnya terpendam.  Begitu turun gunung dari pedepokan, ia langsung menghajar musuh-musuhnya", ujar Rian seraya menggeleng-gelengkan kepala.
     Tatkala saya menyesap minuman Lawoi choco hazelnut, ponselku berdering.
     "Assalamu alaikum warahmatullahi wabarakatuh", terdengar salam.
     "Wa alaikum salam warahmatullahi wabarakatuh".
     "Ini Ogi?"
     "Ya".
     "Ada sesuatu yang ingin saya utarakan".
     Gelagatnya ini penting.  Saya pun bangkit sembari berjalan ke koridor yang menghubungkan kafetaria dengan apotek.  Sengaja menjauh agar tak ada yang menguping.
     "Saya dulu karateka Black Panther saat di Pesantren IMMIM.  Saya pemegang sabuk biru.  Saya juga punya buku harian sewaktu berguru di pesantren".
     Saya bersemangat mendengar pengakuan ini.  Ia anggota Black Panther.  Ia memiliki pula diari.
     "Tahun berapa tamat di pesantren", saya bertanya.
     "Saya tidak selesai".
     "Oh...".
     "Di sinilah masalahnya.  Saya tak finis gara-gara sering dihukum oleh qismul amni.  Saya cuma sampai kelas II.  Tidak tahan lantaran dipukuli saban malam oleh qismul amni".
     "Saya mulai mafhum arah pembicaraan ini.  Tiap malam kamu pasti mencatat atraksi pemukulan itu di buku harianmu", paparku.
     "Tepat sekali.  Saya menulis berapa kali saya dihardik, ditampar, dipukul, disepak maupun dibanting.  Saya catat nama-nama algojo qismul amni yang menistaiku bak binatang buruan yang mesti ditombak.  Saya mengenal tampang mereka sebagaimana mengenal garis-garis di telapak tanganku!"
     Tiba-tiba saya merasa ada bahaya.  Nada suara orang ini seolah menyimpan amarah besar.  Mulutku langsung terkatup.  Merinding.
     "Ketika keluar dari pesantren, diariku tercecer entah di mana.  Sebulan lalu setelah 35 tahun, saya menemukan buku harian tersebut di tumpukan berkas di loteng".
     "Sebulan sesudah penemuan diari itu, hasilnya lima alumni tergeletak lemas di rumah sakit", celetukku.
     "Saya melukai lima bajingan tengik yang pernah menerorku secara fisik.  Saya cinta Pesantren IMMIM, tetapi, lima santri berbadan besar serupa kerbau bunting tersebut yang memupus impianku untuk tamat di pesantren.  Mereka menyakitiku saban malam.  Mereka wajar dihukum secara setimpal".
     "Kenapa menghubungi saya.  Bukan pengacara supaya kau tak dipenjarakan atau menyerahkan diri ke polisi sebagai bentuk tanggung jawab".
     "Kau punya buku harian.  Kau bisa mengerti mengapa balas dendam ini terjadi".  Ia terdengar menghela napas sebelum menutup telepon.
     Saya paham jalan pikiran orang ini.  Kala ia membaca diari yang dicatatnya 35 tahun lampau, sontak nostalgia pahit menyelubungi pikiran serta hatinya.
     Rangkaian kalimat di buku harian yang ditulisnya 35 tahun lalu, terasa baru terjadi tadi malam.  Dadanya masih sesak oleh penghinaan awak qismul amni.  Ia masih merasakan nyeri di raganya akibat bogem mentah.  Ia serasa dicabik-cabik secuil demi secuil sebagaimana kijang malang yang dikerubuti hyena lapar.  Rasa marah pun bergolak kencang di kalbunya.  Menumbuk-numbuk sanubari.
     Perlahan namun pasti, dendamnya terkumpul.  Menggumpal kemudian berkobar bagai semburan lahar panas gunung berapi.
     Ia tidak dapat menerima perlakuan staf qismul amni yang keterlaluan sekali.  Ini harus dibalas.  Utang tempeleng dibayar tempeleng.  Tendangan dibalas tendangan.  Diari itu seolah menuntun untuk membalas orang-orang yang pernah menzaliminya.  Mereka mutlak dieksekusi karena menghancurkan masa depannya di pesantren.  Qismul amni menghanguskan cita-citanya untuk khatam di Pesantren IMMIM.
     Saya sedih merenungkan kisah insan misterius ini.  Sebuah tunas layu sebelum berkembang lantaran keganasan qismul amni.
     Santri dan qismul amni sesungguhnya wajib menjelma sebagai harmoni apik sebagaimana langit serta bumi yang bersenyawa.  Bukan dua elemen yang saling bertentangan dalam meniti kehidupan di pondok.

Glosarium
Qismul amni merupakan seksi keamanan di OSIS pesantren.  Anggota qismul amni biasanya berbadan besar, kampungan dan buruk rupa.  Mereka terdiri dari kelas IV serta V yang sederajat kelas I dan II SMA.  Remaja dengan mental labil inilah yang mengadili santri kelas I, II, III serta IV.  Anehnya, kekerasan qismul amni terkesan didiamkan oleh pimpinan kampus.  Ada semacam pembiaran.  Bahkan, seolah direstui.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Amazing People