Kafan Petir
Cerpen Abdul Haris Booegies
Satu per satu santri yang menonton televisi di teras masjid ath-Thalabah, berlari menerobos hujan. Sekarang sudah lewat tengah malam. Program di TVRI telah tandas.
Saya, Hapip Berru, Ahmad Tirta dan Andi Rian, tetap bertahan di beranda masjid. Saya berbaring bersama Rian. Hapip bermain gitar. Sementara Tirta duduk melamun. Arah matanya sekali-sekala menengok ke lapangan yang rumputnya dipatuk percik hujan.
Kami malas ke kamar untuk beristirahat. Apalagi, besok kami vakansi selama sepekan. Jadi, menggunakan momen ini untuk bergadang sambil menanti hujan surut.
Angkasa tiba-tiba melontarkan halilintar. Diiringi guruh yang terdengar bagai benturan dua kaca raksasa. Sinar terang pun berkedip dari langit. Menerangi Bumi sekitar tiga detik. Kami berlarian masuk ke masjid. Takut disambar geledek susulan.
"Cemeti dewa itu menyambar tanah lapang", ujar Tirta seraya menunjuk ke tengah lapangan Pesantren IMMIM.
Saya mengintip ke lapangan. Tiada apa pun kecuali hujan berderai-derai makin deras.
"Mestinya tadi kita ke kamar untuk tidur", terdengar suara lirih Rian.
Kami kemudian membisu di dalam masjid. Hapip melongok dari jendela memandang gitarnya di emper. Ia tak sempat membawa gitar tersebut ketika tadi kami berhamburan masuk ke masjid.
Mendekati pukul 02.00, hujan pun reda. Mendung yang kehabisan air berarak meninggalkan Tamalanrea.
"Di mana posisi persis terjangan halilintar tadi, Tirta", tanya Hapip.
Saya langsung menduga jika Hapip punya ide gila untuk memeriksa bekas paparan petir.
"Kau mau ke sana melihatnya?" Tirta bertanya rada-rada ragu.
"Hujan sudah berhenti. Langit tampak bertabur bintang. Muskil ada kilat. Awan Comonolimbous yang tadi menaungi kampus, sesungguhnya pabrik petir. Pasalnya, mengandung partikel bermuatan listrik positif serta negatif. Kalau medan listrik positif dan negatif saling bergesek, niscaya menghasilkan petir sekaligus guntur", urai Hapip.
Kami berempat akhirnya ke tengah alun-alun dituntun Tirta.
"Jangan khawatir, induksi gelombang elektromagnetik kilat ini yang mungkin mencapai dua kilometer dari sumber petir, telah aman", sambung Hapip saat kami beriringan.
"Ini ceruk yang tadi dirajam sambaran halilintar", ujar Tirta.
Tekstur tanah di lapangan yang ditunjuk Tirta, terlihat berubah. Ada lubang berdiameter 20 sentimeter dengan kedalaman 10 sentimeter.
"Energi sambaran petir ini kira-kira mencapai 55 kilowatt per jam. Pengaruh intensitas paparan halilintar dapat memberikan efek pada peningkatan kandungan nitrogen dalam tanah", gumam Hapip.
Saya mengerling Tirta serta Rian. Tidak habis pikir, dari mana ilmu petir ini diperoleh Hapip. Bukan apa-apa, Hapip ini anak IPS, bukan IPA!
"Ada sesuatu di dalam celah itu?" Rian bersoal sembari memperhatikan lubang sambaran kilat.
Hapip jongkok sambil mengais.
"Barangkali kayu lapuk yang sudah puluhan tahun mengendap", ujarku.
Jemari Hapip lantas merogoh ke dalam tanah. Perlahan, tangan kanannya menarik sesuatu.
"Apa itu?" Tirta terkesiap mengamati benda yang dipegang Hapip.
"Sarung", cetus Rian.
"Ayo memeriksanya di selasar rayon Panglima Polem. Ini pasti peta harta karun. Besok pagi kita menjelma sebagai santri miliuner, bertabur duit", bisik Tirta penuh semangat dengan mata berbinar.
Kami lalu melepas simpul artefak tersebut yang berbahan rotan. Pelan-pelan kami membentangkan kain lusuh itu. Harus berhati-hati. Soalnya, benda antik ini gampang koyak. Warna kain tampak coklat.
"Mengamati komposisinya, kain ini dulu putih. Berubah coklat akibat terkubur bertahun-tahun", ungkap Tirta.
"Panjang sekali", seru Rian.
"Tak ada tulisan atau gambar. Motifnya nihil. Kain apa ini!" Hapip terlihat gusar campur kecewa.
Saya spontan lemas. Sebab, mengira ini petunjuk menuju ke harta karun yang tertimbun di pinggir danau Unhas atau di bawah jembatan Tello. Ini namanya batal jadi santri tajir. Batal pula mempersunting Brooke Shields dan Emma Samms, dua selebritas Hollywood.
"Ini di ujung ada aksara Hijaiah", desis Rian. Kami langsung bergairah. Impian menjadi crazy rich Tamalanrea sontak berpijar lagi.
"Saya segera meminangmu, Honey", batinku bergemuruh membayangkan tubuh molek Brooke Shileds serta Emma Samms.
"Tertera alfabet mim dan sin, cuma dua huruf", imbuh Tirta.
"Apa maksudnya", tanya Hapip penasaran.
"Bagaimana membaca mim serta sin ini? Mas, mis atau mus", timpal Tirta.
"Bila "mus", mungkin singkatan dari mustajab. Maksudnya, kain ini mujarab", tukas Rian.
"Mustari", celetuk Hapip.
"Mustahil", ketus Tirta.
"Tunggu dulu, hieroglif ini masih ada sambungannya", kataku.
"Tidak bisa terbaca lagi, Ogi. Tintanya terkelupas, tergerus zaman", sahut Rian.
"Ini tentu manuskrip dengan sistem abjad Pegon (ابجد ڤيڮون atau أبجاْد ڤَيڬْو). Dulu Arab Pegon mengakar di kerajaan-kerajaan Jawa, Madura dan Sunda. Arab Pegon merupakan akulturasi dengan budaya lokal kala Islam menyebar ke Nusantara pada abad kesebelas. Bahkan, Babad Diponegoro dalam Keraton Jogja dicatat dengan Arab Pegon. Soekarno kemudian melarang pemakaian Arab Pegon pada 1960", ucap Hapip dengan suara bergelora.
"Berapa panjang kain ini", imbuhku dengan suara serak.
Tirta serta Rian pun mengukurnya.
"Lebar 150 sentimeter. Panjang delapan meter", ujar Tirta.
Saya terhenyak. Ini ukuran standar kafan. Laki-laki butuh delapan meter. Sedangkan wanita sembilan meter.
"Ini pasti kafan pria!" Suaraku terdengar tinggi.
Hapip, Tirta dan Rian saling bertatap. Sinar mata mereka berangsur redup laksana senja yang ditinggal Mentari.
"Kita dikibuli geledek. Ternyata bukan peta harta karun", sergah Hapip dengan roman muka cemberut.
Tirta serta Rian melengos. Keduanya pun meninggalkan koridor Panglima Polem menuju ke bilik masing-masing. Hapip juga beringsut pergi ke asrama Pangeran Diponegoro. Saya lantas memungut kafan kumal tersebut sebelum beranjak ke bilikku di rayon Imam Bonjol.
*****
Bakda shalat Shubuh, saya, Hapip dan Tirta ke bangsal Rian. Beberapa santri tampak mengemas tas. Pukul 07.00 nanti, pimpinan kampus akan membagikan surat izin libur.
Begitu kami memasuki asrama Sultan Hasanuddin, terdengar suara radio milik Rian. Di ranjang, Rian berselonjor seraya mendengar ceramah subuh Dr AJ Muslim. Intelektual muda ini punya sertifikat interdisipliner dalam studi Islam dari Universitas Yale di New Haven, Amerika Serikat.
Saya, Hapip serta Tirta lalu duduk di sisi ranjang. Rian melirik sekilas tatkala mengetahui keberadaan kami. Ia kemudian ikut duduk di tepi ranjang. Kami mendengar dengan takzim kalimat demi kalimat yang dituturkan oleh ustaz AJ Muslim.
"Dalam ilustrasi sejarah, dideskripsikan bahwa mahkota para sultan dinasti Ottoman, agak aneh. Mereka tak mengenakan mahkota yang terbuat dari emas, tetapi, gulungan kain yang disebut tughra (طغراء). Ini bukan kain biasa. Ini kafan. Tughra yang menjadi lambang negara ini ditaruh di kepala untuk mengingatkan para sultan bahwa mereka bakal mati. Jasadnya akan dibungkus dengan kafan yang menempel di kepalanya. Sultan wajib berjiwa mujahid, rela mati di jalan Allah. Dalam perang, sultan mutlak berada di garis terdepan menyongsong musuh. Dengan mahkota kafan, maka, sultan Ustmaniyah tidak boleh sewenang-wenang menerapkan kewenangannya sebagai penguasa. Ingat yang melilit di kepalamu! Ingat bahwa itu pula yang bakal membungkus jasadmu jika mati. Tughra yang melekat di kepala selama memerintah, menjadi simbol kematian yang datang kapan saja. 200 tahun silam, di Nusantara ada panglima perang maupun martir-martir Islam yang berjiwa mujahid menggunakan serban besar. Kita menyakini bahwa serban tersebut tiada lain kafan. Sebagai contoh, Bendara Raden Mas Mustahar yang masyhur sebagai Pangeran Diponegoro".
Ulasan cendekiawan AJ Muslim sekonyong-konyong mengguncang jiwa kami.
"Astaga...!" Hapip berseru dengan mata membelalak. Saya, Tirta dan Rian juga hampir terpekik. Mulut kami melongo bersamaan tanpa dikomando. Rupanya nama asli Pangeran Diponegoro adalah Mustahar. Kami langsung merinding mengenang mim serta sin, dua aksara Hijaiah yang tertoreh di kafan petir dini hari tadi.