Selamat Datang
Paparazzi
Indonesia
Oleh Abdul Haris Booegies
Di Indonesia,
istilah paparazzi belum sepopuler di
Amerika Serikat atau Eropa. Foto-foto pejabat publik serta selebriti masih
terkesan resmi. Tak ada potret liar yang dapat membuat jantung berdegup keras
atau merangsang imajinasi.
Foto Sukma Ayu,
memang sempat menghebohkan. Hanya saja,
potret panas itu bukan hasil kerja paparazzi.
Rangkaian gambar sensasional tersebut
merupakan koleksi pribadi yang disalahgunakan oleh oknum tertentu. Akibatnya, jagat artis Indonesia geger.
Indonesia bukan
lahan subur bagi paparazzi yang suka
menonjolkan perilaku tak senonoh lantaran dua hal. Pertama, selama Orde Baru, timbul ketakutan mendalam soal hidup
mati media. Memberitakan fenomena yang
menyinggung penyelenggara negara bisa dituduh subversi. Akibatnya, media bersangkutan bakal dibreidel.
Tuduhan penguasa
yang sering membuat orang mengelus dada, memaksa pers Indonesia seragam dalam
pemberitaan. Kalau ada informasi yang
berpeluang membahayakan, maka, media lebih suka mengutip kantor berita Antara.
Situasi mencekam
demikian, yang memaksa media tiarap terus. Mereka harus selalu terbit sesuai
petunjuk bapak presiden. Mencuarkan
hal-hal yang tidak sejalan dengan semangat kepentingan penguasa akan berujung
maut. Akibatnya, paparazzi yang senang mengintai dengan lensa jarak jauh, tak
sanggup hidup dalam pers Indonesia yang tandus, gersang dan sarat rambu-rambu
mematikan.
Kedua, ihwal yang membuat media
Indonesia susah dihuni paparazzi
yakni sumber daya manusia yang malas menyimak makna hakiki materi di media
massa. Masyarakat memang baca koran, tetapi,
yang mereka reka kata demi kata cuma berita olahraga.
Isu-isu bernuansa
sosial serta politik tak menarik hati. Sebab, perkara hidup sehari-hari telah
teramat melelahkan. Problem kemiskinan sekaligus rupa-rupa keterbelakangan, diakali
terus oleh abdi negara. Arkian, masyarakat
menjadi apatis, tidak intelek dan hidup dalam kehampaan.
Media yang kurang
bernas tersebut, mengakibatkan paparazzi
kesulitan mencengkeramkan kehadirannya di Indonesia. Apalagi, foto-foto voyeurism technique (pemberitaan dengan
cara mengintip gerak-gerik sasaran) yang bernilai tinggi rupiah itu, repot
dipasarkan. Media emoh membayar mahal sebuah
foto yang bisa membuatnya dituding tak bermoral. Bahkan, boleh jadi mereka diserbu preman-preman
bayaran dari orang-orang tertentu. Di
samping itu, hantu pencabutan surat izin usaha nyaring berdengung menciutkan
nyali.
Tak Jenuh Menguntit
Paparazzi merupakan bentuk jamak paparazzo (fotografer liar). Pada 1959, sutradara Federico Fellini
memperkenalkan ungkapan tersebut dalam film La
Dolce Vita (The Sweet Life). La Dolce
Vita dibintangi Marcello Mastroianni, Anita Ekberg, Anouk Aime, Yvonne
Furneaux dan Walter Santesso yang didapuk sebagai paparazzo. Film yang liar
dengan deskripsi amoral tersebut, banyak dipuji sebagai terobosan baru di dunia
sinema pada kurun
waktu itu.
Sejak film
tersebut beredar, maka, gerombolan paparazzi
pun ikut bergentayangan ke mana-mana mencari mangsa empuk yang bernilai jual
tinggi. Kehidupan dalam istana tiba-tiba
leluasa dilihat umum. Perilaku abnormal
kalangan ningrat langsung bertebaran di media massa. Konsep mereka tiada lain; bad news is good news.
Masyarakat
mondial, misalnya, bisa melihat foto mesum Duchess
of York Sarah Ferguson kala diisap ibu jari kakinya oleh penasehat
keuangannya yang botak. Hasil jepretan paparazzo Daniel Angeli di lokasi St.
Tropez tersebut, sontak menggegerkan seisi Istana Buckingham. Ratu Elizabeth II, jelas sangat malu melihat
tingkah menantunya yang bermesraan dengan pria idaman lain.
Puncak perlakuan paparazzi terhadap keluarga Kerajaan
Inggris ialah tewasnya Lady Diana. Kematian
tragis Diana bersama Dodi al-Fayed, memang bukan sekedar ulah paparazzi. Pasalnya, dinas intelijen Inggris bersama CIA turut
berpartisipasi dalam menghilangkan nyawa sepasang insan yang diamuk asmara
itu. Pembunuhan tersebut direstui dengan
alasan tidak sepatutnya Pangeran William sebagai calon pewaris tahta Kerajaan
Inggris berayah tiri Dodi, yang beragama Islam.
Kepergian Diana
membuat dunia menangis. Sisi manusiawi paparazzi pun ikut tersentuh. Mereka akhirnya bersumpah tidak lagi akan
mengusik keluarga kerajaan. Hanya saja,
orang bijak bertutur bahwa lidah tak bertulang. Akibatnya, tukang potret pemburu berita ilegal
itu kembali membidik Pangeran Harry yang badung. Putra Pangeran Charles tersebut, tertangkap
lensa kamera memakai ban lengan bersimbol swastika sembari memegang gelas
berisi minuman keras serta sebatang rokok. Pangeran Harry kala itu tengah ikut pesta
kostum di London pada 13 Januari 2005.
Di ranah
Hollywood, Leonardo DiCaprio menganggap paparazzi
cuma merepotkan keseharian aktivitasnya. Sebab, bintang The Aviator tersebut tak bebas menikmati kehidupan pribadinya
lantaran fotografer liar itu tak jenuh menguntitnya. Sedangkan Nicole Kidman takut meninggalkan rumah
akibat tertekan oleh ulah paparazzi. Di kediaman bekas istri Tom Cruise tersebut,
malahan ditemukan alat penyadap. Bahkan,
pada 1998, paparazzo Eric Ford sempat
merekam percakapan telepon Kidman dengan Cruise. Pembicaraan itu lalu dijual ke
koran Amerika, The Globe.
Artis Hollywood
yang pernah bermasalah dengan paparazzi
antara lain Marlon Brando, George Clooney, Alec Baldwin, Justin Timberlake
maupun Cameron Diaz. Arnold Schwarzenegger
yang sekarang menjabat gubernur California, juga pernah mengalami kecelakaan
mobil bersama dua anaknya gara-gara dikejar-kejar paparazzi. Sikap ugal-ugalan
tukang foto tanpa etika yang berambisi dan antusias dalam memperoleh foto-foto
eksklusif tersebut, memperlihatkan ketidakpedulian mereka terhadap keselamatan
selebriti. Kelompok itu bertindak di luar
kontrol seraya melakukan segala cara.
Serangan lensa
nakal paparazzi, menjengkelkan pula
Britney Spears. Hingga, diva pop Amerika
tersebut tak segan melemparkan minuman ringan ke arah paparazzi yang hendak mengusik ketenangannya.
Wadah Kemitraan
Kultur Indonesia
berbeda jauh dengan negara-negara Eropa serta Amerika. Walau berlainan, namun, Indonesia sudah mulai
disusupi sukma paparazzi. Sejak menjamurnya televisi swasta, maka,
tayangan-tayangan yang menyerempet wilayah pribadi mulai bergema. Alhasil,
lahir istilah infotainment (informasi campur entertainment).
Acara
infotainment sering membeber privasi seseorang tanpa batas. Program itu bertutur perihal gosip yang
berkembang di masyarakat. Liputannya
kerap tidak mengindahkan kaidah jurnalistik. Mereka seolah tak hirau dengan privasi
narasumber. Kini, laju infotainment
makin sakti berkat mampu menyiarkan langsung peristiwa pilihan dari tempat kejadian
(live reports on locations). Pemberitaan infotainment yang tidak etis,
memaksa para selebriti merasa ngeri tiap hari.
Soalnya, jurnalis infotainment ibarat bermetamorfosis menjadi paparazzi.
Selama ini, insan
global tahu bila paparazzi tak memiliki
belas kasihan terhadap obyek yang diincar. Mereka tega menghalalkan aneka kesempatan demi
memperoleh sesuatu yang eksklusif. Wartawan
foto bajingan itu selalu berusaha sekuat tenaga menggapai impiannya tanpa
mengindahkan etika.
Biarpun penguntit
liar tersebut dihujat habis-habisan, tetapi,
mereka punya alasan bahwa pekerjaan itu adalah profesi. Mereka melakukannya sebagaimana orang lain
juga menjalankan profesinya. Selain itu,
popularitas tinggi yang disandang seorang bintang merupakan apresiasi
masyarakat berkat diekspos media. Alhasil,
artis menjadi bagian dari umum.
Struktur tersebut menunjukkan bahwa isu yang telah menjadi
milik publik memungkinkan adanya pemaksaan secara tegas terhadap narasumber. Para pelaku berita wajib membeberkan informasi
sesungguhnya. Jika ada kasus yang
terdaftar di pengadilan, umpamanya, maka, publik berhak tahu. Sementara wartawan berdosa kalau tidak mengabarkannya.
Harus diakui bila
public figure dibesarkan oleh media. Tanpa media, niscaya kadar ketenaran selebriti
berada pada titik nol. Kendati media
berjasa besar, namun, tidak berarti semua sisi kehidupan layak dikorek. Beberapa aspek mesti tetap ditutup rapat sebagai
rahasia seumur hidup. Masyarakat tidak
berhak tahu sekalipun menarik dalam kemasan gosip.
Seorang public figure tetap punya kehidupan
pribadi yang mutlak dihormati. Sedangkan
paparazzi atau reporter infotainment
tidak selayaknya gelap mata. Mereka
seyogianya punya tuntutan standar kewartawanan yang menghargai wilayah personal
sebagai suatu wadah kemitraan. Hatta,
tidak muncul perkara baru yang menistakan kepribadian seseorang.