Selasa, 19 Oktober 2021

Belahan Jiwa LEKTURA

 

Belahan Jiwa LEKTURA
Oleh Abdul Haris Booegies


     Pada 1992, saya ke Pesantren IMMIM untuk mencari santri yang dapat menjadi model sampul majalah LEKTURA.  Senpai Indra Jaya kemudian merekomendasikan empat santri dengan postur bagus.  Cocok sebagai cover boy LEKTURA.
     Di percetakan, LEKTURA menjadi masalah.  Belum dicetak sesuai jadwal.  Ini akibat laporan utama (laput) mengangkat tema golongan putih (golput).  Isu golput sangat sensitif di masa Orde Baru.  Kami bisa ditangkap.  Waktu itu, kami pengasuh LEKTURA ugal-ugalan, nekat.
     Keterlambatan LEKTURA dicetak, membuat wakil pemimpin redaksi nyaris berkelahi dengan pemilik percetakan.  Soalnya, percetakan mengulur-ukur waktu.
     Ketika LEKTURA terbit, persoalan baru muncul.  Pertama, saya mengomersialkan LEKTURA di kios depan kantor pos besar.  Padahal, sesuai kesepakatan redaktur dengan Kakanwil Departemen Penerangan (Deppen), LEKTURA merupakan media intern.  Kedua, ada berita LEKTURA yang menyerang kebijakan rektor sebuah perguruan tinggi.
     Dua perkara ini plus laput golput, membuat LEKTURA ditegur tanpa ampun.  Pertama, Deppen memberedel LEKTURA.  Kedua, rektor Universitas Hasanuddin melarang penerbitan LEKTURA.  Ketiga, dekan Fakultas Sastra tidak mengizinkan lagi LEKTURA terbit.
     Sebagai pemimpin redaksi, tentu saya kecewa atas pemberangusan LEKTURA.  Sebab, LEKTURA adalah sambungan sukmaku.  LEKTURA merupakan pionir pers mahasiswa di Unhas di awal 90-an.
     Kecewa bergemuruh di dada atas nasib nahas LEKTURA.  Kendati demikian, saya bangga dengan kepala tegap.  LEKTURA satu-satunya media mahasiswa di Indonesia yang diberedel Orde Baru.  Sampai hari ini, saya diliputi kebanggaan menakhodai LEKTURA dengan cara menggasak kebijakan kampus maupun Pemerintah.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Amazing People