Selasa, 12 Oktober 2021

Bachtiar Legenda Qismul Amni



Bachtiar
Legenda Qismul Amni

Oleh Abdul Haris Booegies


     Selama sewindu usia Pesantren IMMIM, saya tergolong pelanggan paling setia qismul amni (pengadil santri pelanggar).  Akibatnya, saya diancam pimpinan kampus untuk dipecat.  Di sanubari terbetik.  Jika saya tak bandel, otomatis qismul amni defisit eksistensi.
     Pada 1980, santri baru terusik dengan narasi-narasi pucat.  Mudabbir (pengurus) seksi keamanan dikisahkan ibarat algojo.  Menurut hikayat, begitu pelanggar melewati pintu ruang qismul amni, langsung digebuk.  Santri kemudian didamprat dengan kata-kata pedas bin pedis.  Prinsipnya kibata (kipas baru tanya).  Siapa tidak terkencing-kencing kalau begitu.
     Di zaman saya, kawan yang diadili biasa dipukul, dicambuk dan dibanting.  Bila beruntung, dapat bonus tamparan.  Pokoknya lebih sadis dari WWE SmackDown.  Banyak santri yang knock down.  "Jangan meringis!"  Bentak seksi keamanan sembari menyuruh calm down.  Akhirnya disuruh sit down diiringi gertakan: "Masih mau melanggar!"  Keluar dari bilik qismul amni, rata-rata santri tertatih-tatih, berjalan slow down.  Mental go down, tobat sejenak melakukan pelanggaran.  Betul-betul down and out, sengsara!
     Tatkala saya kelas I, nama Bachtiar (Iapim 7682) teramat mengerikan.  Kami takut sekali.  Sekilas, fisiknya biasa saja, seperti kebanyakan santri.  Wajahnya tak sangar pula.  Anehnya, seluruh rongga tubuh bergetar jika mendengar namanya.  Apalagi mendengar suaranya.  Alamat buruk ini.  Langit serasa runtuh.
     Kalau subuh, Bachtiar cuma berseru: "Bangun!"  Dijamin 100 persen semua santri kelas I, II, III maupun IV, serempak bangun.  Rasa kantuk yang masih minta untuk berdekatan dengan bantal, sontak sirna.  Mata yang masih berharap tidur mendadak terbelalak.  Kantuk pergi bak debu yang ditiup sang bayu.
     Di dalam masjid, suasana langsung hening bila Bachtiar masuk.  Nafas sahabat yang di samping, depan serta belakang, dapat terdengar karena tidak ada gerakan.  Suara tapak kaki semut pun seolah terdengar.  Andai sebutir pasir jatuh di lantai, niscaya terdengar seisi masjid.
     Bachtiar makin ditakuti gara-gara menempeleng lima kali dari belakang santri kelas II.  Suara tamparan tersebut menggema ke empat dinding masjid.  Pekik marah Bachtiar menambah horor.  Mampus betul kita di kampus Islami.  Ini namanya derita tiada bertepi.
     Dalam ingatan saya, inilah awal dari ketakutan Iapim 8086 kepada Bachtiar.  Ia menjelma momok.  Kehadirannya selalu memaksa hati gentar tak terkira.
     Aksi penempelangan itu sempat saya lihat.  Sebagai santri baru, saya menilai perlakuan tersebut sungguh kejam.  Kami jauh dari orangtua.  Tujuan ke pesantren untuk belajar.  Di luar dugaan, ada agresi fisik yang membuat nyali mengerut.
     Rasa takut berlebihan dengan Bachtiar membuat saya berpikir sembilan kali untuk melakukan pelanggaran.  Saya termasuk beruntung lantaran tidak pernah diadili Bachtiar.  Santri langsung pucat sekaligus lemas jika tahu yang mengadili adalah Bachtiar.  Riwayat seolah punah, tinggal kenangan.
     Ketika tamat, Bachtiar menemuiku di kamar I Rayon Datuk Ribandang (Asrama Fadeli Luran).  Ia melongok dari jendela karena saya di ranjang atas.
     "Kau masih punya stensilan Yolanda?", tanya Bachtiar sambil tersenyum sesudah kami berjabat tangan.  Saya tersipu.
     Rupanya selama ini, Bachtiar mafhum saya suka mengoleksi bacaan pembangkit fantasi.  Nakal juga dia.
     Sampai sekarang, Bachtiar dikenang sebagai sosok keamanan yang lugas memobilisasi santri paling malas untuk rajin.  Ia ikon abadi qismul amni Pesantren IMMIM.  Tak ada yang sanggup menggantikan posisinya.  Bachtiar tiada duanya.  Ia legenda.
     Sejak Bachtiar tamat, teman yang bersiap ke masjid sering berseru ke santri yang masih mengaso di kamar.  "Maujud Kak Bachtiar!"  Sampai 2021 ini sejak tamat pada 1986, rekan-rekan sering menyebut nama Bachtiar kalau ada yang bermalas-malasan.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Amazing People