Wajah Sinetron Indonesia
Oleh Abdul
Haris Booegies
Selama tarikh 2004, masyarakat
dijejali aneka sinetron. Beragam sinetron ditayangkan seperti drama,
laga, mistik, komedi serta percintaan. Semua sinetron itu diudarakan
susul-rnienyusul dari pagi sampai menjelang tengah malam.
Sinetron merupakan singkatan dari
sinema elektronik. Ungkapan tersebut lahir sekitar pertengahan tahun
80-an. Tiada jejak jelas siapa pencetus istilah itu. Sebelum
sinetron, maka yang jamak dipakai ialah sandiwara. Saat ini,
sinetron akrab dengan tiga nama yang ramai dibincangkan. Mereka
adalah Leily Sagita, Tamara Bleszynski dan Marshanda.
Leily merupakan ikon super jahat
dalam sinetron. Matanya yang melotot sampai nyaris keluar bila
marah, banyak ditiru artis pendatang baru. Ia identik dengan akting
yang suka berteriak-teriak. Pemirsa begitu gemas dengan
tingkah-polah Leily.
Lain Leily lain Tamara. Artis
jelita ini termasuk pelakon yang selalu memerankan sosok bergelimang
penganiayaan. Tak terkira sudah berapa drum airmata penonton
terkuras gara-gara kasihan melihatnya disiksa.
Kecantikan istri Teuku Rafly Pasya
tersebut, sesungguhnya kontras dengan peran yang dibawakan.
Penempatan Tamara sebagai figur yang selalu dizalimi, tentu terkait
dengan ending cerita. Di akhir kisah, tokoh yang tak putus
dirundung malang, wajib tampil mempesona sebagai pemenang.
Wajah terakhir yang sering muncul
yaitu Marshanda. Gadis manis itu tergolong idola anak-anak serta
remaja. Parasnya cantik. Ia kelihatan ditakdirkan lahir sebagai
bintang film. Simpati dan iba mengalir pada Marshanda akibat
perannya yang tak lelah berjodoh dengan sosok yang 100 persen
dinistai.
Instrumen Karakter
Dalam seni peran, terdapat unsur
yang menjadi patokan. Artis, misalnya, mesti bermain penuh
konsentrasi, intens, konstan, menguasai naskah serta kaya
improvisasi. Sang bintang mutlak menggunakan segenap elemen raganya
sebagai instrumen dalam menghayati karakter.
Di sisi lain, sutradara menyiapkan
setting yang sarat makna. Lantas sinematografer memperlakukan
kamera laiknya penyair memainkan pena dalam merangkai huruf.
Keandalan dalam mencumbui kamera bakal menghasilkan gambar yang elok
dipandang.
Dewasa ini, yang ada justru
sinetron yang menghadirkan dunia kelam terhadap daya khayal penonton.
Sinetron sekedar visualisasi sebuah plot. Orang-orang di balik
layar tidak mendeskripsikan idiom sinematik yang eksotik dalam
menyulam tiap shot. Mereka lebih mementingkan tata rias
ketimbang tata artistik. Mereka rakus mengutamakan gaya, kecantikan
dan keglamouran.
Insan sinetron masih terjebak
bahwa artis adalah bintang film. Mereka sulit mempopulerkan jika
skenario merupakan bintang film. Akibatnya, sinetron cuma memamerkan
tampang cakep serta rumah mewah dengan perabot antik. Mereka malahan
sarapan dengan roti. Padahal, makan pagi orang Indonesia lazimnya
dengan nasi.
Konstruksi yang digampangkan
akhirnya melahirkan sinetron tandus dan dangkal. Tidak ada
kecermatan dalam mengolah alur. Hingga, arah cerita terhuyung-huyung
laksana pendekar mabuk, membingungkan, semau gue sekaligus
melecehkan intelektualitas.
Plot hikayat sinetron sesak oleh
bermacam problem. Bumbu itu dikehendaki agar dapat mendramatisasi
jalan cerita. Padahal, bumbu tersebut justru meruwetkan. Apalagi,
dialog pemainnya panjang serta monoton. Ketika bercakap-cakap, maka,
terkesan sangat diatur. Pola bertuturnya persis orang berpidato atau
baca sajak. Kamera tak bergairah menyorot adegan per adegan.
Aspek dalam sinetron mirip film
India saat ada adegan dramatis yang memercikkan suspens
(ketegangan). Kamera terasa malas bak kura-kura yang terseok-seok
berjalan. Sejurus berlalu, sontak musik berubah melankolis. Dan
simsalabim, kontan artisnya mendendangkan lagu kabhie kabhie mere
dilme, kuch kuch hota hai atau koi mil gaya.
Aji Pamungkas
Gejala yang teramat memalukan
dalam sinetron yakni unsur kebetulan yang bertubi-tubi. Tiba-tiba
mereka bertemu secara tak terduga atau di waktu yang sama bersepakat
tanpa kompromi. Praktek itu telah menjadi klasik dan klise.
Alhasil, pemirsa ternganga serta tergagap. Kepala pun digaruk-garuk
sekalipun tidak gatal.
Masalah bertambah runyam oleh
perolehan rating (peringkat yang terbanyak ditonton). Rating
sebenarnya tidak menjamin segi kualitas. Pasalnya, validitas rating
dinilai semu. Rating memaksa sinetron menjadi barang
komoditas. Soalnya, nafsu besar meraup laba menjadi ukuran nilai.
Banyak sinetron tak mencerminkan
idealisme. Kecermatan tidak menjadi skala prioritas dalam
menghasilkan sinetron unggul yang menuntun dan menghibur. Unsur
komersial sudah menjadi rumus tunggal. Akibatnya, kandungan media
audio-visual tersebut sukar bersaing dalam sistem global yang
majemuk. Keterampilan pekerja sinetron terasa kelu. Sebab,
diperbudak strategi bisnis, onani maupun gemerlap kemewahan.
Fenomena itu yang membuat sinetron
sulit maju. Maklum, hanya menjual mimpi sekaligus membodohi
masyarakat yang dihimpit kesengsaraan. Di Amerika Serikat,
contohnya, ada tayangan cerdas semacam McGyver atau Sex and
the City.
Di Indonesia, yang ada cuma
sinetron duet jin cebol dan gendut yang selalu hangus terbakar di
akhir episode. Sinetron kian memuakkan dengan serial aksi dari
kerajaan antah-berantah yang punya ilmu ringan badan. Mereka bisa
terbang atau merobohkan pohon. Kemudian menghempaskan para begundal
setelah komat-kamit membaca mantra aji pamungkas. Andai jagoan
berilmu sakti mandraguna tersebut dipinjam demi mendukung program 100
hari pemerintahan SBY, niscaya Nusakambangan tenggelam oleh
bejibunnya koruptor yang ditangkap.
Di Hollywood, kisah main-main
digarap serius. Di sini, tema serius dikerjakan secara main-main.
Pada tahun 60-an, serial Star Trek yang dibintangi William
Shatner banyak digandrungi. Kendati sekedar ilusi, tetapi,
penggarapannya penuh perhitungan.
Kapten James T Kirk divisualkan
berkomunikasi dengan awak Enterprise lewat telepon selular.
Kini, telepon selular bukan lagi imajinasi liar Gene Roddenberry
(bapak Star Trek).
Di Indonesia, sinetron yang
membahas persoalan di sekitar kehidupan riil, digarap ala kadarnya.
Klimaks acapkali sangat konyol. Pistol penjahat umpamanya, macet
atau bidikannya meleset. Arkian, tokoh protagonis tak perlu
mengeluarkan sebutir peluru guna meringkus sosok antagonis. Jika
jagoan itu jadi polisi di dunia nyata, niscaya masyarakat betul-betul
merasakan “to protech and to serve” (melindungi serta
melayani, bukan mencari-cari kesalahan lantas minta disogok lantaran
sudah tanggal tua).
Sinetron sebagai medium dalam
mengeksplorasi berbagai elemen, ternyata bertekuk lutut pada gelora
tanpa batas skenario kaku. Padahal, sinetron bukan sekedar tontonan,
tetapi, peristiwa kehidupan.
Sineas besar Jepang, Akira
Kurosawa berujar kalau film kreasinya menekankan faktor manusia serta
kemanusiaan. Hatta, tiap bangsa maupun negara sanggup berbagi dengan
pengalaman yang sama.
(Tribun Timur,
Sabtu, 26 Februari 2005)
Artikel ini dimuat Tribun
Timur dengan judul Sinetron Indonesia Terlalu
Komersial
Tidak ada komentar:
Posting Komentar