Minggu, 06 Januari 2013

Wajah Sinetron Indonesia

Wajah Sinetron Indonesia
Oleh Abdul Haris Booegies

      Selama tarikh 2004, masyarakat dijejali aneka sinetron. Beragam sinetron ditayangkan seperti drama, laga, mistik, komedi serta percintaan. Semua sinetron itu diudarakan susul-rnienyusul dari pagi sampai menjelang tengah malam.
      Sinetron merupakan singkatan dari sinema elektronik. Ungkapan tersebut lahir sekitar pertengahan tahun 80-an. Tiada jejak jelas siapa pencetus istilah itu. Sebelum sinetron, maka yang jamak dipakai ialah sandiwara. Saat ini, sinetron akrab dengan tiga nama yang ramai dibincangkan. Mereka adalah Leily Sagita, Tamara Bleszynski dan Marshanda.
      Leily merupakan ikon super jahat dalam sinetron. Matanya yang melotot sampai nyaris keluar bila marah, banyak ditiru artis pendatang baru. Ia identik dengan akting yang suka berteriak-teriak. Pemirsa begitu gemas dengan tingkah-polah Leily.
      Lain Leily lain Tamara. Artis jelita ini termasuk pelakon yang selalu memerankan sosok bergelimang penganiayaan. Tak terkira sudah berapa drum airmata penonton terkuras gara-gara kasihan melihatnya disiksa.
      Kecantikan istri Teuku Rafly Pasya tersebut, sesungguhnya kontras dengan peran yang dibawakan. Penempatan Tamara sebagai figur yang selalu dizalimi, tentu terkait dengan ending cerita. Di akhir kisah, tokoh yang tak putus dirundung malang, wajib tampil mempesona sebagai pemenang.
      Wajah terakhir yang sering muncul yaitu Marshanda. Gadis manis itu tergolong idola anak-anak serta remaja. Parasnya cantik. Ia kelihatan ditakdirkan lahir sebagai bintang film. Simpati dan iba mengalir pada Marshanda akibat perannya yang tak lelah berjodoh dengan sosok yang 100 persen dinistai.

Instrumen Karakter
      Dalam seni peran, terdapat unsur yang menjadi patokan. Artis, misalnya, mesti bermain penuh konsentrasi, intens, konstan, menguasai naskah serta kaya improvisasi. Sang bintang mutlak menggunakan segenap elemen raganya sebagai instrumen dalam menghayati karakter.
      Di sisi lain, sutradara menyiapkan setting yang sarat makna. Lantas sinematografer memperlakukan kamera laiknya penyair memainkan pena dalam merangkai huruf. Keandalan dalam mencumbui kamera bakal menghasilkan gambar yang elok dipandang.
      Dewasa ini, yang ada justru sinetron yang menghadirkan dunia kelam terhadap daya khayal penonton. Sinetron sekedar visualisasi sebuah plot. Orang-orang di balik layar tidak mendeskripsikan idiom sinematik yang eksotik dalam menyulam tiap shot. Mereka lebih mementingkan tata rias ketimbang tata artistik. Mereka rakus mengutamakan gaya, kecantikan dan keglamouran.
      Insan sinetron masih terjebak bahwa artis adalah bintang film. Mereka sulit mempopulerkan jika skenario merupakan bintang film. Akibatnya, sinetron cuma memamerkan tampang cakep serta rumah mewah dengan perabot antik. Mereka malahan sarapan dengan roti. Padahal, makan pagi orang Indonesia lazimnya dengan nasi.
      Konstruksi yang digampangkan akhirnya melahirkan sinetron tandus dan dangkal. Tidak ada kecermatan dalam mengolah alur. Hingga, arah cerita terhuyung-huyung laksana pendekar mabuk, membingungkan, semau gue sekaligus melecehkan intelektualitas.
      Plot hikayat sinetron sesak oleh bermacam problem. Bumbu itu dikehendaki agar dapat mendramatisasi jalan cerita. Padahal, bumbu tersebut justru meruwetkan. Apalagi, dialog pemainnya panjang serta monoton. Ketika bercakap-cakap, maka, terkesan sangat diatur. Pola bertuturnya persis orang berpidato atau baca sajak. Kamera tak bergairah menyorot adegan per adegan.
      Aspek dalam sinetron mirip film India saat ada adegan dramatis yang memercikkan suspens (ketegangan). Kamera terasa malas bak kura-kura yang terseok-seok berjalan. Sejurus berlalu, sontak musik berubah melankolis. Dan simsalabim, kontan artisnya mendendangkan lagu kabhie kabhie mere dilme, kuch kuch hota hai atau koi mil gaya.

Aji Pamungkas
      Gejala yang teramat memalukan dalam sinetron yakni unsur kebetulan yang bertubi-tubi. Tiba-tiba mereka bertemu secara tak terduga atau di waktu yang sama bersepakat tanpa kompromi. Praktek itu telah menjadi klasik dan klise. Alhasil, pemirsa ternganga serta tergagap. Kepala pun digaruk-garuk sekalipun tidak gatal.
      Masalah bertambah runyam oleh perolehan rating (peringkat yang terbanyak ditonton). Rating sebenarnya tidak menjamin segi kualitas. Pasalnya, validitas rating dinilai semu. Rating memaksa sinetron menjadi barang komoditas. Soalnya, nafsu besar meraup laba menjadi ukuran nilai.
      Banyak sinetron tak mencerminkan idealisme. Kecermatan tidak menjadi skala prioritas dalam menghasilkan sinetron unggul yang menuntun dan menghibur. Unsur komersial sudah menjadi rumus tunggal. Akibatnya, kandungan media audio-visual tersebut sukar bersaing dalam sistem global yang majemuk. Keterampilan pekerja sinetron terasa kelu. Sebab, diperbudak strategi bisnis, onani maupun gemerlap kemewahan.
      Fenomena itu yang membuat sinetron sulit maju. Maklum, hanya menjual mimpi sekaligus membodohi masyarakat yang dihimpit kesengsaraan. Di Amerika Serikat, contohnya, ada tayangan cerdas semacam McGyver atau Sex and the City.
      Di Indonesia, yang ada cuma sinetron duet jin cebol dan gendut yang selalu hangus terbakar di akhir episode. Sinetron kian memuakkan dengan serial aksi dari kerajaan antah-berantah yang punya ilmu ringan badan. Mereka bisa terbang atau merobohkan pohon. Kemudian menghempaskan para begundal setelah komat-kamit membaca mantra aji pamungkas. Andai jagoan berilmu sakti mandraguna tersebut dipinjam demi mendukung program 100 hari pemerintahan SBY, niscaya Nusakambangan tenggelam oleh bejibunnya koruptor yang ditangkap.
      Di Hollywood, kisah main-main digarap serius. Di sini, tema serius dikerjakan secara main-main. Pada tahun 60-an, serial Star Trek yang dibintangi William Shatner banyak digandrungi. Kendati sekedar ilusi, tetapi, penggarapannya penuh perhitungan.
      Kapten James T Kirk divisualkan berkomunikasi dengan awak Enterprise lewat telepon selular. Kini, telepon selular bukan lagi imajinasi liar Gene Roddenberry (bapak Star Trek).
      Di Indonesia, sinetron yang membahas persoalan di sekitar kehidupan riil, digarap ala kadarnya. Klimaks acapkali sangat konyol. Pistol penjahat umpamanya, macet atau bidikannya meleset. Arkian, tokoh protagonis tak perlu mengeluarkan sebutir peluru guna meringkus sosok antagonis. Jika jagoan itu jadi polisi di dunia nyata, niscaya masyarakat betul-betul merasakan “to protech and to serve” (melindungi serta melayani, bukan mencari-cari kesalahan lantas minta disogok lantaran sudah tanggal tua).
      Sinetron sebagai medium dalam mengeksplorasi berbagai elemen, ternyata bertekuk lutut pada gelora tanpa batas skenario kaku. Padahal, sinetron bukan sekedar tontonan, tetapi, peristiwa kehidupan.
      Sineas besar Jepang, Akira Kurosawa berujar kalau film kreasinya menekankan faktor manusia serta kemanusiaan. Hatta, tiap bangsa maupun negara sanggup berbagi dengan pengalaman yang sama.

(Tribun Timur, Sabtu, 26 Februari 2005)

Artikel ini dimuat Tribun Timur dengan judul Sinetron Indonesia Terlalu Komersial





















Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Amazing People