Kisah
Derita
Oleh Abdul
Haris Booegies
Bulan
Januari 1990 ini, pers Indonesia hangat dengan kisah dramatis Basri
Masse. Seorang warga negara Indonesia yang dituduh memiliki dadah
atau ganja oleh Pemerintah Malaysia. Pemberitaan Basri Masse,
perantau Bugis itu, bermula diekspose oleh sebuah koran lokal.
Getarannya sangat kuat, setegar nama pelaut Bugis tersebut. Masse
dalam bahasa Bugis bermakna “kokoh-erat”.
Dua
hari menjelang kematiannya di tali gantung, Basri Masse bersama Ny.
Tutiana, istrinya, memenuhi halaman-halaman depan surat kabar Ibukota
dan koran daerah. Banjarmasin Post, 18 Januari 1990, malahan
menampilkan karikatur yang manusiawi, menggugat, menawan serta
menyesalkan keputusan yang tidak manusiawi itu.
Penggantungan Basri Masse yang pasrah dan teguh, di
suatu subuh Jumat silam, banyak mengingatkan orang dengan kebesaran
Omar Mochtar menghadapi penguasa Italia. Basri Masse menuju ke
tempat eksekusi di subuh yang dingin dengan berteman kesunyian.
Sementara Omar Mochtar penuh keanggunan berjalan diiringi derap
langkah serdadu Italia. Pembela berjuluk Lion of the Desert
tersebut tak berkutik serta pasrah.
Dunia
terkesima. Elegi sedih merayap di tiap rakyat Libya oleh kesombongan
Benito Amilcare Andrea Mussolini. Pasalnya, sang diktator
menghancurkan hidup “Pahlawan Abadi” itu. Begitulah hukum Italia
di awal abad ini. Begitu pula keangkeran Mussolini.
Selang
beberapa tahun, Mussolini harus juga menerima kenyataan serupa. Pil
pahit mesti ia telan, harus ia lumat. Mati oleh rakyatnya sendiri.
Mati dengan cara tidak terhormat. Mati bersama kemabukan dan sang
kekasih, Claretta.
Sang
diktator digantung dengan segenap kemarahan rakyat. Bahkan, mayatnya
dipamer di jalan lantas diludahi dengan sumpah serapah; “terkutuk”.
Ucapannya pun terbukti; “Inilah takdirku, dari debu, berkuasa
serta kembali ke debu”.
Kematian
adalah hukum Allah. Demikian pula cara mati. Semua tertulis dalam
Kitab Keabadian Tuhan. Tercatat pada Nirwana semerbak. Allah telah
menggariskan kematian. “Sesuatu yang bernyawa. Tiada mati kecuali
dengan izin Allah. Ketetapan yang tertentu waktunya” (Ali
Imran: 145).
Seseorang
bisa saja meninggal dalam tugas. Soedjatmoko rnenerima takdir saat
ia berceramah di depan tunas bangsa. Di lain detik, seorang juga
dapat mati dalam kemaksiatan. Variasi kematian sudah digariskan pada
rahasia sang Mahakuasa.
Kejadian
demi kejadian termaktub pada coretan nyata di sisi Allah, namun,
tersembunyi di lubuk hati dan pelupuk mata manusia. Peristiwa apa
saja selalu ternukil pada Kitab yang Nyata, Lauh Mahfuz.
“Tiada sesuatu pun yang gaib di langit serta di bumi, melainkan
tertoreh dalam Kitab yang Nyata” (an-Naml: 75).
”Fitratallahi allati fathar annasa alaihi laa
tabdila likhalqi lahi” (Fitrah yang diciptakan Allah pada
seluruh manusia. Tiada perubahan terhadap apa yang diciptakan Allah.
Begitulah agama yang lurus).
Kasus
Basri Masse menarik. Soalnya, hukuman mati pelaut Bugis tersebut
masih tanda tanya. Bahkan, menjadi penyesalan bagi masyarakat
Indonesia. Maklum, Abdul Patta berikut Driun yang dibebaskan dengan
jaminan dari Mansor bin Asmar dan Saleh bin Sion, kabur entah ke
mana. Padahal, dua orang ini bisa dijadikan saksi a de charge.
Alhasil, nasib Basri Masse dapat dijernihkan.
Terasuknya
nurani membela Basri Masse lantaran hasrat kehidupan ingin melihat
satu proses peradilan yang betul-betul menjamin kebenaran,
obyektivitas serta kemanusiaan. Bagaimanapun, sisi humanis masih
punya nilai di abad informasi dan zaman konglomerat ini. Semoga
arwah Basri Masse diberi ampunan di sisi Allah.
(Banjarmasin
Post, 26 Januari 1990)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar