Kamis, 17 Januari 2013

Kisah Derita




Kisah Derita
Oleh Abdul Haris Booegies
      Bulan Januari 1990 ini, pers Indonesia hangat dengan kisah dramatis Basri Masse. Seorang warga negara Indonesia yang dituduh memiliki dadah atau ganja oleh Pemerintah Malaysia. Pemberitaan Basri Masse, perantau Bugis itu, bermula diekspose oleh sebuah koran lokal. Getarannya sangat kuat, setegar nama pelaut Bugis tersebut. Masse dalam bahasa Bugis bermakna “kokoh-erat”.
      Dua hari menjelang kematiannya di tali gantung, Basri Masse bersama Ny. Tutiana, istrinya, memenuhi halaman-halaman depan surat kabar Ibukota dan koran daerah. Banjarmasin Post, 18 Januari 1990, malahan menampilkan karikatur yang manusiawi, menggugat, menawan serta menyesalkan keputusan yang tidak manusiawi itu.
      Penggantungan Basri Masse yang pasrah dan teguh, di suatu subuh Jumat silam, banyak mengingatkan orang dengan kebesaran Omar Mochtar menghadapi penguasa Italia. Basri Masse menuju ke tempat eksekusi di subuh yang dingin dengan berteman kesunyian. Sementara Omar Mochtar penuh keanggunan berjalan diiringi derap langkah serdadu Italia. Pembela berjuluk Lion of the Desert tersebut tak berkutik serta pasrah.
      Dunia terkesima. Elegi sedih merayap di tiap rakyat Libya oleh kesombongan Benito Amilcare Andrea Mussolini. Pasalnya, sang diktator menghancurkan hidup “Pahlawan Abadi” itu. Begitulah hukum Italia di awal abad ini. Begitu pula keangkeran Mussolini.
      Selang beberapa tahun, Mussolini harus juga menerima kenyataan serupa. Pil pahit mesti ia telan, harus ia lumat. Mati oleh rakyatnya sendiri. Mati dengan cara tidak terhormat. Mati bersama kemabukan dan sang kekasih, Claretta.
      Sang diktator digantung dengan segenap kemarahan rakyat. Bahkan, mayatnya dipamer di jalan lantas diludahi dengan sumpah serapah; “terkutuk”. Ucapannya pun terbukti; “Inilah takdirku, dari debu, berkuasa serta kembali ke debu”.
      Kematian adalah hukum Allah. Demikian pula cara mati. Semua tertulis dalam Kitab Keabadian Tuhan. Tercatat pada Nirwana semerbak. Allah telah menggariskan kematian. “Sesuatu yang bernyawa. Tiada mati kecuali dengan izin Allah. Ketetapan yang tertentu waktunya” (Ali Imran: 145).
      Seseorang bisa saja meninggal dalam tugas. Soedjatmoko rnenerima takdir saat ia berceramah di depan tunas bangsa. Di lain detik, seorang juga dapat mati dalam kemaksiatan. Variasi kematian sudah digariskan pada rahasia sang Mahakuasa.
      Kejadian demi kejadian termaktub pada coretan nyata di sisi Allah, namun, tersembunyi di lubuk hati dan pelupuk mata manusia. Peristiwa apa saja selalu ternukil pada Kitab yang Nyata, Lauh Mahfuz. “Tiada sesuatu pun yang gaib di langit serta di bumi, melainkan tertoreh dalam Kitab yang Nyata” (an-Naml: 75).
      ”Fitratallahi allati fathar annasa alaihi laa tabdila likhalqi lahi” (Fitrah yang diciptakan Allah pada seluruh manusia. Tiada perubahan terhadap apa yang diciptakan Allah. Begitulah agama yang lurus).
      Kasus Basri Masse menarik. Soalnya, hukuman mati pelaut Bugis tersebut masih tanda tanya. Bahkan, menjadi penyesalan bagi masyarakat Indonesia. Maklum, Abdul Patta berikut Driun yang dibebaskan dengan jaminan dari Mansor bin Asmar dan Saleh bin Sion, kabur entah ke mana. Padahal, dua orang ini bisa dijadikan saksi a de charge. Alhasil, nasib Basri Masse dapat dijernihkan.
      Terasuknya nurani membela Basri Masse lantaran hasrat kehidupan ingin melihat satu proses peradilan yang betul-betul menjamin kebenaran, obyektivitas serta kemanusiaan. Bagaimanapun, sisi humanis masih punya nilai di abad informasi dan zaman konglomerat ini. Semoga arwah Basri Masse diberi ampunan di sisi Allah.

(Banjarmasin Post, 26 Januari 1990)
  





























Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Amazing People