Dimensi
Haji
Oleh
Abdul
Haris Booegies
Labbaik allahumma labbaik.
(Aku datang memenuhi panggilan-Mu). Tiba-tiba untaian indah kalimat
talbiyah itu membahana di ruang semesta dunia Islam. Di tiap
sudut negeri berdentum gempita para tamu Allah yang tak putus
menyerukan takbir, tahmid dan talbiyah.
Barisan jamaah tiada henti pula
berdoa supaya melihat secercah kebesaran Ilahi demi ketenteraman jiwa
dalam melintas jagad kehidupan. Semua bertekad menjadi haji mabrur
(diterima) yang balasannya tiada lain Surga.
Berkunjung ke Baitullah guna
menunaikan haji, pada hakikatnya memiliki dimensi historis,
spiritual, sosial serta finansial. Dalam visi sejarah, ibadah haji
sangat kental terkait dengan Nabi Ibrahim, Nabi Ismail bersama Siti
Hajar. Tiga nama legendaris yang penuh kemuliaan itu merupakan insan
suci di hadirat Allah.
Kisah tentang tangis Nabi Ismail
yang tergolek kehausan di tengah gurun tandus ganas, selalu tergiang
di musim haji. Kegundahan Siti Hajar yang mencari setetes pelepas
dahaga untuk sang bayi mungil, malahan menjadi rekonstruksi abadi
oleh tiap jamaah dalam bentuk sai (berlari kecil antara bukit
Shafa dan Marwa).
Kilas balik arus sejarah juga
memperlihatkan kebesaran jiwa Nabi Ibrahim serta keteguhan hati Nabi
Ismail dalam teater kolosal bertema penyembelihan agung. Inti adegan
pengorbanan tersebut mengumandangkan adanya konfrontasi tauhid antara
Nabi Ismail dengan iblis. Misi iblis akhirnya gagal total dalam
merontokkan kesalehan Nabi Ibrahim bersama Nabi Ismail di hadapan
Allah berkat impuls iman yang sulit diterjang badai kebatilan.
Peristiwa yang dikenang sebagai
revolusi tauhid itu kemudian dipraktekkan oleh jamaah haji dengan
melontar jumratul ula, jumratul wustha dan jumratul aqabah.
Melempar kerikil tujuh kali menandakan sebuah babak untuk mengusir
bisik jahat iblis.
Ibadah haji sarat dimensi
spiritual yang menggambarkan miniatur pasca Hari Kiamat. Dalam
melaksanakan rukun Islam terakhir tersebut, kaum Mukmin hanya memakai
kain putih bersih. Tidak diperkenankan menggunakan baju, celana
serta alas kaki yang menutup mata kaki.
Aturan yang tidak membolehkan
jamaah haji memakai busana, menandaskan bahwa di Padang Mahsyar,
bekas penduduk planet bumi cuma kumpulan individu tanpa harta dan
pangkat. Mereka tidak membawa tumpukan kekayaan atau status
kehidupan kecuali amal perbuatan. Maklum, harta serta pangkat hanya
citra berselubung nafsu yang sering membuat manusia sebagai makhluk
palsu atau pribadi berwatak binatang. Dengan kekayaan, orang dapat
memalsukan identitas dengan aneka atribut. Di sisi lain, pangkat
kadang-kadang menjadikan perilaku akrab bercumbu dengan perbuatan
minus aturan.
Dalam perspektif sosial, terlihat
bahwa ibadah haji sarat dengan cakrawala persaudaraan sesama insan
beriman. Pada aspek haji, tidak ada istilah diskriminasi. Orang
tidak dipandang dari warna kulit, kebangsaan maupun golongan.
Kompleksitas karakter dan keragaman profil bukan ukuran.
Elemen sederajat tanpa
diskriminasi memaparkan bahwa manusia diciptakan untuk menggalang
pergaulan. Mereka dilahirkan guna bekerja sama dalam menutup
kekurangan jatidiri akibat faktor teknis atau aspek moralitas.
Dengan adanya pernik-pernik yang saling menunjang, berarti terhampar
rasa kebersamaan yang tinggi. Kepaduan segenap instrumen tersebut,
diharapkan mampu merealisasikan komunitas agamis yang tekun beribadah
menyembah Allah.
Dimensi finansial haji menunjukkan
bahwa tidak semua pengikut Rasulullah bisa mengunjungi Tanah Suci.
Mereka yang ke Makkah al-Mukarramah serta Madinah al-Munawwarah cuma
yang terpanggil jiwa tauhidnya. Banyak yang secara ekonomi hidup
dalam buaian kemewahan dan kemegahan, ternyata tidak sanggup memenuhi
panggilan Allah. Di sisi lain, tidak sedikit yang hidup dalam pola
sederhana, justru mampu menuju Baitul Haram tanpa perlu
meninggalkan keluarga dalam keadaan terjepit.
Fenomena seputar ihwal finansial
haji menjabarkan bahwa kekayaan yang berlimpah, bukan jalan untuk
mereguk kenikmatan hidup di dunia maupun Akhirat. Apalagi, harta
yang dielus serta disembah hanya menggiring kontrol diri terhempas
dalam kenistaan.
Empat dimensi yang berada di
sekitar pelaksanaan haji menunjukkan adanya tekad usaha manusia untuk
menggapai ridha Allah. Mereka berpacu dalam suatu lomba tanpa garis
finish demi meraup megapahala.
Hikayat Nabi Ibrahim, Nabi Ismail
sekaligus Siti Hajar, mempertontonkan kegigihan upaya dalam membangun
akidah di sisi Sang Pencipta. Sementara busana ihram yang
dikenakan mengilustrasikan bahwa di Era Ukhrawi, manusia cuma bisa
ditolong oleh usaha-usaha keilahian dan kemanusiaan.
Jamaah haji dari seluruh negara
yang berhimpun di Tanah Suci menegaskan adanya ikhtiar demi membangun
ukhuwah wathaniyah (persaudaraan bangsa) demi tercipta
ashabiyah Islamiyah (solidaritas Islam) dan ukhuwah
Islamiyah (persaudaraan Islam).
Pada akhirnya, kesanggupan
seseorang naik haji ditentukan oleh hasil kerja yang ikhlas. Mereka
yang memperoleh panggilan haji hanya insan yang lulus mencari nafkah
dengan perencanaan akurat buat mengabdi kepada al-Khalik.
Kesucian niat usaha-usaha yang dilakukan, niscaya mendorong rasa
keimanan untuk menjalankan kewajiban kepada Allah.
“Allah mewajibkan manusia
beribadah haji ke Baitullah. Kewajiban itu ditujukan kepada orang
yang sanggup mengadakan perjalanan ke Baitullah. Siapa ingkar
perihal kewajiban haji, maka, Allah Maha Kaya. Ia tiada butuh
sesuatu dari alam raya” (al-Imran: 97).
(PANJI
MASYARAKAT NO. 828, 20
ZULHIJJAH-1 MUHARRAM 1416 H, 20-31 MEI 1995)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar