Minggu, 06 Januari 2013

Dimensi Haji

Dimensi Haji
Oleh Abdul Haris Booegies

      Labbaik allahumma labbaik. (Aku datang memenuhi panggilan-Mu). Tiba-tiba untaian indah kalimat talbiyah itu membahana di ruang semesta dunia Islam. Di tiap sudut negeri berdentum gempita para tamu Allah yang tak putus menyerukan takbir, tahmid dan talbiyah.
      Barisan jamaah tiada henti pula berdoa supaya melihat secercah kebesaran Ilahi demi ketenteraman jiwa dalam melintas jagad kehidupan. Semua bertekad menjadi haji mabrur (diterima) yang balasannya tiada lain Surga.
      Berkunjung ke Baitullah guna menunaikan haji, pada hakikatnya memiliki dimensi historis, spiritual, sosial serta finansial. Dalam visi sejarah, ibadah haji sangat kental terkait dengan Nabi Ibrahim, Nabi Ismail bersama Siti Hajar. Tiga nama legendaris yang penuh kemuliaan itu merupakan insan suci di hadirat Allah.
      Kisah tentang tangis Nabi Ismail yang tergolek kehausan di tengah gurun tandus ganas, selalu tergiang di musim haji. Kegundahan Siti Hajar yang mencari setetes pelepas dahaga untuk sang bayi mungil, malahan menjadi rekonstruksi abadi oleh tiap jamaah dalam bentuk sai (berlari kecil antara bukit Shafa dan Marwa).
     Kilas balik arus sejarah juga memperlihatkan kebesaran jiwa Nabi Ibrahim serta keteguhan hati Nabi Ismail dalam teater kolosal bertema penyembelihan agung. Inti adegan pengorbanan tersebut mengumandangkan adanya konfrontasi tauhid antara Nabi Ismail dengan iblis. Misi iblis akhirnya gagal total dalam merontokkan kesalehan Nabi Ibrahim bersama Nabi Ismail di hadapan Allah berkat impuls iman yang sulit diterjang badai kebatilan.
      Peristiwa yang dikenang sebagai revolusi tauhid itu kemudian dipraktekkan oleh jamaah haji dengan melontar jumratul ula, jumratul wustha dan jumratul aqabah. Melempar kerikil tujuh kali menandakan sebuah babak untuk mengusir bisik jahat iblis.
      Ibadah haji sarat dimensi spiritual yang menggambarkan miniatur pasca Hari Kiamat. Dalam melaksanakan rukun Islam terakhir tersebut, kaum Mukmin hanya memakai kain putih bersih. Tidak diperkenankan menggunakan baju, celana serta alas kaki yang menutup mata kaki.
      Aturan yang tidak membolehkan jamaah haji memakai busana, menandaskan bahwa di Padang Mahsyar, bekas penduduk planet bumi cuma kumpulan individu tanpa harta dan pangkat. Mereka tidak membawa tumpukan kekayaan atau status kehidupan kecuali amal perbuatan. Maklum, harta serta pangkat hanya citra berselubung nafsu yang sering membuat manusia sebagai makhluk palsu atau pribadi berwatak binatang. Dengan kekayaan, orang dapat memalsukan identitas dengan aneka atribut. Di sisi lain, pangkat kadang-kadang menjadikan perilaku akrab bercumbu dengan perbuatan minus aturan.
      Dalam perspektif sosial, terlihat bahwa ibadah haji sarat dengan cakrawala persaudaraan sesama insan beriman. Pada aspek haji, tidak ada istilah diskriminasi. Orang tidak dipandang dari warna kulit, kebangsaan maupun golongan. Kompleksitas karakter dan keragaman profil bukan ukuran.
      Elemen sederajat tanpa diskriminasi memaparkan bahwa manusia diciptakan untuk menggalang pergaulan. Mereka dilahirkan guna bekerja sama dalam menutup kekurangan jatidiri akibat faktor teknis atau aspek moralitas. Dengan adanya pernik-pernik yang saling menunjang, berarti terhampar rasa kebersamaan yang tinggi. Kepaduan segenap instrumen tersebut, diharapkan mampu merealisasikan komunitas agamis yang tekun beribadah menyembah Allah.
      Dimensi finansial haji menunjukkan bahwa tidak semua pengikut Rasulullah bisa mengunjungi Tanah Suci. Mereka yang ke Makkah al-Mukarramah serta Madinah al-Munawwarah cuma yang terpanggil jiwa tauhidnya. Banyak yang secara ekonomi hidup dalam buaian kemewahan dan kemegahan, ternyata tidak sanggup memenuhi panggilan Allah. Di sisi lain, tidak sedikit yang hidup dalam pola sederhana, justru mampu menuju Baitul Haram tanpa perlu meninggalkan keluarga dalam keadaan terjepit.
      Fenomena seputar ihwal finansial haji menjabarkan bahwa kekayaan yang berlimpah, bukan jalan untuk mereguk kenikmatan hidup di dunia maupun Akhirat. Apalagi, harta yang dielus serta disembah hanya menggiring kontrol diri terhempas dalam kenistaan.
      Empat dimensi yang berada di sekitar pelaksanaan haji menunjukkan adanya tekad usaha manusia untuk menggapai ridha Allah. Mereka berpacu dalam suatu lomba tanpa garis finish demi meraup megapahala.
      Hikayat Nabi Ibrahim, Nabi Ismail sekaligus Siti Hajar, mempertontonkan kegigihan upaya dalam membangun akidah di sisi Sang Pencipta. Sementara busana ihram yang dikenakan mengilustrasikan bahwa di Era Ukhrawi, manusia cuma bisa ditolong oleh usaha-usaha keilahian dan kemanusiaan.
      Jamaah haji dari seluruh negara yang berhimpun di Tanah Suci menegaskan adanya ikhtiar demi membangun ukhuwah wathaniyah (persaudaraan bangsa) demi tercipta ashabiyah Islamiyah (solidaritas Islam) dan ukhuwah Islamiyah (persaudaraan Islam).
     Pada akhirnya, kesanggupan seseorang naik haji ditentukan oleh hasil kerja yang ikhlas. Mereka yang memperoleh panggilan haji hanya insan yang lulus mencari nafkah dengan perencanaan akurat buat mengabdi kepada al-Khalik. Kesucian niat usaha-usaha yang dilakukan, niscaya mendorong rasa keimanan untuk menjalankan kewajiban kepada Allah.
      “Allah mewajibkan manusia beribadah haji ke Baitullah. Kewajiban itu ditujukan kepada orang yang sanggup mengadakan perjalanan ke Baitullah. Siapa ingkar perihal kewajiban haji, maka, Allah Maha Kaya. Ia tiada butuh sesuatu dari alam raya” (al-Imran: 97).

(PANJI MASYARAKAT NO. 828, 20 ZULHIJJAH-1 MUHARRAM 1416 H, 20-31 MEI 1995)

























Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Amazing People