Putu
Setia dan Ayu Utami
Duo
Anti Islam
Kembali
Menyerang
Lewat
Jurus Mengangkang
Oleh
Abdul Haris Booegies
Pada
Ahad, 6 Januari 2013, Seputar Indonesia serta Koran Tempo
merilis tulisan Ayu Utami dengan Putu Setia. Seperti biasa, jika
membahas Islam, pasti kedua penulis tersebut tidak luput dari rumus
ejekan.
Ayu
menulis Ngangkang atau Tidak Ngangkang (Seputar Indonesia,
Ahad, 6 Januari 2013). Sementara Putu meracik Ngangkang
(Koran Tempo, 6 Ahad, Januari 2013). Tulisan itu muncul
karena keduanya gerah dengan Pemerintah Kabupaten Lhokseumawe, Aceh.
Sebagaimana dimafhumi, Lhokseumawe membuat aturan yang melarang
perempuan duduk mengangkang tatkala dibonceng. Aturan inilah yang
dianggap konyol oleh Ayu. Sedangkan Putu mengolok-oloknya sebagai
istilah dengan rating tinggi.
Ada
catatan khusus bahwa Seputar Indonesia merupakan surat kabar
yang tak laku di Makassar. Sementara Koran Tempo lebih parah
lagi. Mengklaim diri “Korannya Makassar”, namun, yang
berlangganan bisa dihitung jari. Tak mengherankan bila sejak pagi
dua surat kabar ini diobral murah Rp 1.000 di perempatan jalan.
Apesnya, tetap sepi pembeli alias tidak laku. Kasihan.
Si
Lonceng Setan
Putu
tertoreh sebagai pendeta Hindu dengan nama mentereng Ida Pandita Mpu
Jaya Prema Ananda. Kalau ia pendeta, pasti punya tingkat pengetahuan
agama. Ia pasti memiliki filter untuk menghindari pikiran dan
perbuatan yang tak senonoh.
Sialnya,
pendeta Hindu ini punya kedengkian membara terhadap Front Pembela
Islam (FPI). Bahkan, tidurnya terusik oleh kehadiran FPI. Tidak
diketahui pasti apakah ia pernah diganggu langsung oleh FPI. Tiada
pula keterangan jika ia barangkali pernah ditempeleng atau istrinya
disiuli oleh jamaah FPI. Saya teringat petikan al-Qur’an yang
begitu puitis. “Mereka menggigit ujung jari. Gara-gara geram
bercampur benci terhadap Islam” (al-Imran: 119).
Sebagai
pendeta Hindu, seyogyanya Putu memaparkan mengapa ia teramat berang
serta dendam kepada FPI. Bila ia marah lantaran FPI merusak
tempat-tempat maksiat, ini sungguh aneh. Insan beragama biasanya tak
menoleransi tempat maksiat, tetapi, ada pendeta Hindu jengkel akibat
tempat maksiat dirusak.
Putu
dapat berkelit kalau ia tidak dengki terhadap FPI karena merusak
tempat maksiat. Ia bisa berdalih jika kini era pluralisme. Bila
boleh tahu, bagaimana perasaan Putu ketika Muslim Rohingya dibantai
oleh gerombolan Budha di Myanmar. Bandit-bandit Budha membunuh 15
ribu kaum Muslim, merampok, membakar 21 masjid sembari memperkosa
Muslimah. 30 ribu umat Islam hilang. Sedangkan 5.000 ditahan. Apa reaksimu! Apa
reaksimu, Putu! Saya tidak tahu apakah kau pernah mengecam
pembantaian Muslim Rohingya atau tersenyum puas gembira. Inilah
kesaktian pluralisme yang diusung si Gus Dur.
Putu
menyebut Goenawan Mohamad dalam tulisan Ngangkang. Goenawan
tentu cecunguk Putu dalam melawan Islam. Begitu mengherankan bahwa
Goenawan yang anti Islam tidak malu memakai nama Mohamad. Saya
termasuk orang yang senang kalau Goenawan mengganti nama menjadi I Petu
Goenawan atau Goenawan Utami. Keren sekali.
Di
usia yang lapuk, terlihat Goenawan makin agresif dengan
tulisan-tulisan anti Islam. Semoga umurnya panjang. Aamiin.
“Jangan
orang kafir menyangka bahwa Kami membiarkan usianya panjang sebagai
pertanda baik bagi dirinya. Kami sekedar menangguhkan. Hingga,
bertambah dosanya. Di sisi mereka ada azab nista” (al-Imran:
178).
Dalam
Islam, ada Hadis bahwa “lonceng adalah seruling setan”. Saya
sempat sekilas melihat foto Putu dengan busana pendeta di blognya.
Ia menggunakan pula mahkota bak Kaisar Bokassa. Geli bercampur ngeri
saya memandangnya. Arkian, cuma selintas menatapnya. Saya tak
melihat saksama, apakah Putu juga memegang lonceng.
Jika
ia memiliki lonceng, pantas tulisan-tulisannya bernada anti Islam.
Ia mungkin diilhami s… Ssst...kata tersebut jangan diteruskan.
Nanti Putu bersama kaki-tangannya marah atau saya dituduh SARA (suku,
agama, ras dan antar-golongan).
“Insan
saleh berperang di jalan Allah. Sementara gerombolan kafir berjuang
demi Thaghut (sesembahan selain Allah). Perangi konco-konco
setan itu. Sungguh, tipu daya setan begitu lemah” (an-Nisa:
76).
Si
Pendekar Porno
Bukan
hanya Putu yang mengangkangi aturan pemerintah daerah bernada Islam.
Ayu membebek pula. Sebagai non-Muslim, tidak pantas makhluk betina
ini berkotek-kotek dalam masalah duduk mengangkang. Pasalnya, warga
Lhoksemawe punya tradisi Islam yang kental. Nabi Muhammad bersabda:
“Allah melaknat para wanita yang menyerupai pria serta para lelaki
yang bergaya perempuan”.
Hadis
ini bagi insan saleh dimaknai sebagai penghormatan kepada wanita.
Mereka dilarang dengan undang-undang ketat agar tak mengumbar aurat.
Sedangkan kaum liberal mengartikan Hadis tersebut sebagai kerangkeng
bagi perempuan dalam beraktivitas. Ayu seolah tuhan saat melirik
aturan mengangkang Lhokseumawe. Dengan untaian huruf, ia pun
melakukan kampanye untuk menistai aturan Islami warga Lhokseumawe.
“Mereka
juga mengatakan: Raa’ina (perhatikan kami) sambil
memutar-mutar lidahnya seraya mencela Islam” (an-Nisa: 46).
Tulisan
anti Islam Ayu di Seputar Indonesia selalu menempatkan dirinya
sebagai wanita bermoral. Hatta, enteng merendahkan Islam. Ia
berkhotbah soal moral lewat kata-kata di media. Seolah dirinya putri
mahadewa dari gunung Olympus.
“Mayoritas
Ahl al-Kitab bernafsu menjadikan kalian kafir setelah beriman.
Sebab, kedengkian dalam dirinya” (al-Baqarah: 109).
Saya
ingin bertanya kepada Ayu si pendekar aurat. Memangnya kau ini siapa
di sisi Allah yang tidak beranak. Kau menyusun kalimat yang
bertentangan dengan aturan hakiki Allah. Kau mau menjadi jagoan
perempuan lewat emansipasi. Sementara tulisanmu tak risih menyebut
kontol dan vagina. Wanita macam apa yang mengumbar kata-kata begitu
di tengah publik pembaca?
Sampai
sekarang saya tidak tahu apa agama yang dianut Ayu. Saya cuma
mengerti bahwa yang dibaca menunjukkan pribadi. Penikmat kalimat
sensual jelas melahirkan frasa cabul.
“Mereka
bersundal di Mesir, mereka bersundal pada masa mudanya, di sana
susunya dijamah-jamah serta dada keperawanannya dipegang-pegang”
(Yehezkiel 23:3).
“Ia
berahi kepada kawan-kawannya bersundal, yang auratnya mirip aurat
keledai dan zakarnya seperti zakar kuda” (Yehezkiel 23:20).
Nauzubillah.
Bila
bukan Islam, tak usah geregetan dengan Pemerintah Kabupaten
Lhokseumawe. Urus saja selangkanganmu serta agamamu. Bagimu
agamamu, bagiku agamaku.
“Kamu
harus menjalankan hukum di antara mereka sebagaimana yang diwahyukan
Allah. Jangan menuruti hawa nafsu mereka. Berhati-hatilah
terhadapnya supaya tidak memalingkanmu dari hukum yang diturunkan
Allah kepadamu” (al-Maidah: 49).
Kepada
kaum Muslim diimbau. Kalau sudah membaca tulisan anti Islam Putu,
Goenawan, Ayu atau siapa pun laskar Dajjalis agar berdoa: “Ya
Tuhan kami! Jangan condongkan hati kami pada kesesatan setelah
Engkau membimbing kami. Curahkan kami kasih sayang dari sisi-Mu.
Engkau Tuhan yang melimpah-ruah karunia-Nya” (al-Imran: 8).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar