Jumat, 18 Januari 2013

Agama di Zaman Post-Modern


Agama di Zaman
Post-Modern
Oleh Abdul Haris Booegies
      Pasca-modern merupakan masa kebangkitan moral. Di saat itu, para agamawan tidak lagi terlibat masalah politik. Mereka makin profesional berkat padamnya semangat kelompok. Apalagi, kemenangan individu pun terus menonjol. Demikian intisari artikel “Agama dalam Era Post-Modern” (Harian Terbit, 2 April 1993).
      Dunia memang berubah. Arkian, gong pemberontakan terhadap nilai-nilai lama, juga tidak lelah mendengung. Lagu anti kemapanan terus berkobar dari para penggerak revolusi peradaban. Artis Hollywood semacam Cher, Julia Roberts, Winona Ryder, Melanie Griffith atau sejumlah kaum selebriti dunia, umpamanya, malahan dilanda Grunge Look. Istilah Grunge merupakan prokem Amerika yang diambil dari morfem grotty (jorok) dan gunge (berantakan).
      Grunge Look, yang menampilkan mode up to date dengan penekanan kebebasan seraya menendang aturan, tiada lain pemberontakan terhadap hukum kemapanan yang selama ini dianut masyarakat. Grunge Look hadir tak seanggun Lady Diana, tetapi, muncul dengan gaya compang-camping serta kumal. Mereka berpakaian lebih dua stel dengan warna kontras yang dipadu rambut tergerai acak-acakan.
      Perubahan yang menentang tradisi kemapanan, juga mewarnai pemikiran. Michel Foucault, pemikir Perancis kontemporer, melihat bahwa dalam perkembangan dunia, terlihat kalau alam dan manusia menjadi organisme yang terus mengalami perubahan. Sedangkan superioritas rasio yang sistematik, sangat terbatas menuntaskan masalah.
      Ketidakmampuan rasio menyerap persoalan secara utuh itulah, yang memunculkan pasca-modern guna menghargai misteri di balik permasalahan. Post-modern, yang sekarang menggiurkan banyak peminat dialektika keilmuan, merupakan istilah yang pertama kali digunakan oleh Federico de Onis pada 1930-an.
      Saripati pasca-modern yang memberontak terhadap kecenderungan modemisme, adalah perubahan yang melawan arus sistem totaliter. Fenomena tersebut kemudian melahirkan aneka interpretasi yang memperkokoh individu seseorang. Mereka memiliki kreativitas pemikiran untuk menyongsong realitas kehidupan yang marak.
      Siklus pertarungan dengan situasi yang sarat gagasan itu, pada hakikatnya merenggangkan ukhuwah (tali persaudaraan). Akibatnya, kedudukan agama terancam kehilangan nilai. Sebab, zaman post-modern yang memuliakan individu sebagai elemen masa depan, justru membuat celah yang menjauhkan manusia dengan sesamanya. Hingga, egoisme pribadi menonjol menjadi status keluarga.
      Dalam mengikis moral yang tersepuh individualisme, maka, agama di zaman pasca-modern wajib memperkuat ikatan dengan mazhab-mazhab yang telah lama berkembang. Pasalnya, sekte-sekte tersebut bukan pil pahit selama mengagungkan syariat sang Khalik.
      Kehadiran aliran yang bertentangan dengan wahyu Ilahi, selain akan terasing, juga perlahan-lahan menemui ajal. Sekte agama Branch Davidians di Waco, Texas, Amerika Serikat, misalnya, musnah setelah dikepung petugas federal gara-gara mengusung ajaran sesat. David Koresh (Vernon Howell), pemimpin kelompok itu, yang mengaku titisan Yesus Kristus adalah penganut paham free sex serta jagoan menenggak bir. Perilaku Koresh yang bertentangan dengan agama, akhirnya membuat opini publik pincang.

Rasionalisasi Aspek
      Dalam era post-modern, agama tetap bakal ramai dengan berbagai aliran pemikiran keagamaan. Kekuatan gejala tersebut makin tegar, berkat globalisasi yang menjadikan bumi bagai rumah kaca, punya dampak kejiwaan.
      Umat (penganut ajaran agama) bakal memperkuat sekte keagamaan sebagai pertahanan psikologis (psychological defence) demi melawan arus informasi yang dianggap merusak akidah. Hatta, akan terjadi pergumulan antara agresivitas budaya massa (populer) yang dimuat era globalisasi dengan pelbagai aliran agama yang berfungsi sebagai mekanisme pertahanan diri (defend mechanism). Gempita sekte-sekte itu, diiringi pula berbagai fatwa sebagai peringatan untuk menghindarkan diri dari gelombang yang merasionalkan tiap jengkal skala kehidupan.
      Sekalipun kebebasan individu dan penghargaan terhadap akal terus bergema, namun, kekuasaan bisa menjadi “kartu liar”. Secara teoritis, semua bisa berjalan sesuai program yang dicanangkan. Kendati begitu, dominasi kekuasaan dapat mengubah pola yang diinginkan. Ulama, contohnya, sering menerkam umat dengan fatwa yang justru menguntungkan golongan umara (penguasa). Padahal, yang difatwakan sangat bertentangan dengan dalil kebenaran. Seorang kyai, umpamanya, tanpa pengetahuan politik yang memadai, menyamakan Golput (golongan putih) sama haramnya dengan makan daging babi.
      Pengharaman terhadap sesuatu, senantiasa pula diikuti dengan pengobralan ayat-ayat Allah. Alhasil, muncul istilah “ayat politik”. Bahkan, pernah diberitakan secara riuh-bergemuruh adanya “doa politik”. Ihwal itu menandaskan bahwa ada hasrat tertentu beberapa pemuka agama atau yang sok agamis. Hal sama terjadi pula terhadap Galileo Galilea.
      Tatkala ia mendukung hipotesa Nicolaus Copernicus yang menyatakan teori Heliocentric (matahari sebagai pusat jagat raya), maka, Galileo dinilai mengancam kewibawaan gereja. Pemimpin Gereja Katolik Roma Paus Urbanus VIII lalu menjatuhkan “hukuman seumur hidup”.
      Sesudah 359 tahun, bapak fisika eksperimental tersebut akhirnya dibebaskan dari dakwaan merusak kebebasan gereja. Paus Johanes Paulus II menutup konflik antara keimanan dengan keilmiahan setelah riset keilmuan berpihak pada Galileo.
      Selama kekuasaan sangat kuat, niscaya era apa pun yang melanda dunia bakal tidak berkutik. Soalnya, pola yang digariskan akan terkoyak oleh kehendak sang penguasa. Skema tersebut lantas membelah pandangan masyarakat. Ada yang mendukung Pemerintah sekaligus muncul celaan terhadap birokrasi. Kelompok itu lalu pecah tiga; militan, netral serta soft (paham yang lebih terbuka atau semacam Pacifisme). Pecahan tersebut pada akhirnya terbagi lagi dalam pengkotak-kotakan yang melahirkan aliran atau sekte yang lebih ekstrem.

Spiritual Alternatif
      Dalam zaman pasca-modern, jelas jika kegairahan beragama bakal kian semarak. Di sisi lain, kehadiran mazhab-mazhab pun makin berwibawa. Maklum, mereka menjadi sentral kekuatan untuk menghadapi “paket ulama dari umara” dan “budaya negatif era globalisasi”.
      Tanpa kehadiran sekte di zaman post-modern, berarti identitas kemenangan individu akan kewalahan. Sebab, membanjirnya dinamika pemikiran serta cakrawala keagamaan minus sebuah wadah tertentu alias aliran, sesungguhnya bakal melemahkan sendi-sendi akidah. Arkian, kehadiran sekte teramat mutlak untuk menengahi sekaligus melindungi dari efek negatif yang juga berkembang-pesat. Apalagi, eksistensi pelbagai aliran dalam struktur spiritual alternatif (ajaran yang diwahyukan dari langit) itu, merupakan samudera sistem keagamaan. Pasalnya, sebagaimana kebudayaan, nilai apa saja selalu menuntut perkembangan untuk lebih menegakkan diri pada arus perubahan zaman yang menantang.
      Grunge Look, gaya urakan yang dianut beberapa artis Hollywood, adalah mazhab mode busana yang menandai akhir zaman modern. Di samping Grunge Look, juga gaya “Back to ‘60” dipromosikan untuk memperkaya ragam dunia fashion. Bahkan, di Amrik (negeri Bill Clinton yang menjadi pusat budaya pop dunia), juga ada wanita yang mengenakan potongan jins berbentuk celana dalam di tengah keramaian.
      Berbagai aliran mode di penghujung zaman modern, tak membuat orang risih. Sekte-sekte pemikiran dan aliran-aliran keagamaan di era pasca-modern, bukan pula barang haram. Soalnya, kehadiran kelompok itu, justru memperkaya aneka penafsiran keagamaan tanpa harus melenceng dari kemutlakan iman terhadap sang Khalik.

(Harian Terbit, Sabtu 22 Mei 1993)
































 





















  






Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Amazing People