Agama
di Zaman
Post-Modern
Oleh Abdul
Haris Booegies
Pasca-modern merupakan masa
kebangkitan moral. Di saat itu, para agamawan tidak lagi terlibat
masalah politik. Mereka makin profesional berkat padamnya semangat
kelompok. Apalagi, kemenangan individu pun terus menonjol. Demikian
intisari artikel “Agama dalam Era Post-Modern” (Harian Terbit,
2 April 1993).
Dunia memang berubah. Arkian, gong
pemberontakan terhadap nilai-nilai lama, juga tidak lelah mendengung.
Lagu anti kemapanan terus berkobar dari para penggerak revolusi
peradaban. Artis Hollywood semacam Cher, Julia Roberts, Winona
Ryder, Melanie Griffith atau sejumlah kaum selebriti dunia,
umpamanya, malahan dilanda Grunge Look. Istilah Grunge
merupakan prokem Amerika yang diambil dari morfem grotty
(jorok) dan gunge (berantakan).
Grunge Look, yang
menampilkan mode up to date dengan penekanan kebebasan seraya
menendang aturan, tiada lain pemberontakan terhadap hukum kemapanan
yang selama ini dianut masyarakat. Grunge Look hadir tak
seanggun Lady Diana, tetapi, muncul dengan gaya compang-camping serta
kumal. Mereka berpakaian lebih dua stel dengan warna kontras yang
dipadu rambut tergerai acak-acakan.
Perubahan yang menentang tradisi
kemapanan, juga mewarnai pemikiran. Michel Foucault, pemikir
Perancis kontemporer, melihat bahwa dalam perkembangan dunia,
terlihat kalau alam dan manusia menjadi organisme yang terus
mengalami perubahan. Sedangkan superioritas rasio yang sistematik,
sangat terbatas menuntaskan masalah.
Ketidakmampuan rasio menyerap
persoalan secara utuh itulah, yang memunculkan pasca-modern guna
menghargai misteri di balik permasalahan. Post-modern, yang sekarang
menggiurkan banyak peminat dialektika keilmuan, merupakan istilah
yang pertama kali digunakan oleh Federico de Onis pada 1930-an.
Saripati pasca-modern yang
memberontak terhadap kecenderungan modemisme, adalah perubahan yang
melawan arus sistem totaliter. Fenomena tersebut kemudian melahirkan
aneka interpretasi yang memperkokoh individu seseorang. Mereka
memiliki kreativitas pemikiran untuk menyongsong realitas kehidupan
yang marak.
Siklus pertarungan dengan situasi
yang sarat gagasan itu, pada hakikatnya merenggangkan ukhuwah
(tali persaudaraan). Akibatnya, kedudukan agama terancam kehilangan
nilai. Sebab, zaman post-modern yang memuliakan individu sebagai
elemen masa depan, justru membuat celah yang menjauhkan manusia
dengan sesamanya. Hingga, egoisme pribadi menonjol menjadi status
keluarga.
Dalam mengikis moral yang tersepuh
individualisme, maka, agama di zaman pasca-modern wajib memperkuat
ikatan dengan mazhab-mazhab yang telah lama berkembang. Pasalnya,
sekte-sekte tersebut bukan pil pahit selama mengagungkan syariat sang
Khalik.
Kehadiran aliran yang bertentangan
dengan wahyu Ilahi, selain akan terasing, juga perlahan-lahan menemui
ajal. Sekte agama Branch Davidians di Waco, Texas, Amerika
Serikat, misalnya, musnah setelah dikepung petugas federal gara-gara
mengusung ajaran sesat. David Koresh (Vernon Howell), pemimpin
kelompok itu, yang mengaku titisan Yesus Kristus adalah penganut
paham free sex serta jagoan menenggak bir. Perilaku Koresh
yang bertentangan dengan agama, akhirnya membuat opini publik
pincang.
Rasionalisasi Aspek
Dalam era post-modern, agama tetap
bakal ramai dengan berbagai aliran pemikiran keagamaan. Kekuatan
gejala tersebut makin tegar, berkat globalisasi yang menjadikan bumi
bagai rumah kaca, punya dampak kejiwaan.
Umat (penganut ajaran agama) bakal
memperkuat sekte keagamaan sebagai pertahanan psikologis
(psychological defence) demi melawan arus informasi yang
dianggap merusak akidah. Hatta, akan terjadi pergumulan antara
agresivitas budaya massa (populer) yang dimuat era globalisasi dengan
pelbagai aliran agama yang berfungsi sebagai mekanisme pertahanan
diri (defend mechanism). Gempita sekte-sekte itu, diiringi
pula berbagai fatwa sebagai peringatan untuk menghindarkan diri dari
gelombang yang merasionalkan tiap jengkal skala kehidupan.
Sekalipun kebebasan individu dan
penghargaan terhadap akal terus bergema, namun, kekuasaan bisa
menjadi “kartu liar”. Secara teoritis, semua bisa berjalan
sesuai program yang dicanangkan. Kendati begitu, dominasi kekuasaan
dapat mengubah pola yang diinginkan. Ulama, contohnya, sering
menerkam umat dengan fatwa yang justru menguntungkan golongan umara
(penguasa). Padahal, yang difatwakan sangat bertentangan dengan
dalil kebenaran. Seorang kyai, umpamanya, tanpa pengetahuan politik
yang memadai, menyamakan Golput (golongan putih) sama haramnya dengan
makan daging babi.
Pengharaman terhadap sesuatu,
senantiasa pula diikuti dengan pengobralan ayat-ayat Allah. Alhasil,
muncul istilah “ayat politik”. Bahkan, pernah diberitakan secara
riuh-bergemuruh adanya “doa politik”. Ihwal itu menandaskan
bahwa ada hasrat tertentu beberapa pemuka agama atau yang sok agamis.
Hal sama terjadi pula terhadap Galileo Galilea.
Tatkala ia mendukung hipotesa
Nicolaus Copernicus yang menyatakan teori Heliocentric
(matahari sebagai pusat jagat raya), maka, Galileo dinilai mengancam
kewibawaan gereja. Pemimpin Gereja Katolik Roma Paus Urbanus VIII
lalu menjatuhkan “hukuman seumur hidup”.
Sesudah 359 tahun, bapak fisika
eksperimental tersebut akhirnya dibebaskan dari dakwaan merusak
kebebasan gereja. Paus Johanes Paulus II menutup konflik antara
keimanan dengan keilmiahan setelah riset keilmuan berpihak pada
Galileo.
Selama kekuasaan sangat kuat,
niscaya era apa pun yang melanda dunia bakal tidak berkutik.
Soalnya, pola yang digariskan akan terkoyak oleh kehendak sang
penguasa. Skema tersebut lantas membelah pandangan masyarakat. Ada
yang mendukung Pemerintah sekaligus muncul celaan terhadap birokrasi.
Kelompok itu lalu pecah tiga; militan, netral serta soft
(paham yang lebih terbuka atau semacam Pacifisme). Pecahan tersebut
pada akhirnya terbagi lagi dalam pengkotak-kotakan yang melahirkan
aliran atau sekte yang lebih ekstrem.
Spiritual Alternatif
Dalam zaman pasca-modern, jelas
jika kegairahan beragama bakal kian semarak. Di sisi lain, kehadiran
mazhab-mazhab pun makin berwibawa. Maklum, mereka menjadi sentral
kekuatan untuk menghadapi “paket ulama dari umara” dan “budaya
negatif era globalisasi”.
Tanpa kehadiran sekte di zaman
post-modern, berarti identitas kemenangan individu akan kewalahan.
Sebab, membanjirnya dinamika pemikiran serta cakrawala keagamaan
minus sebuah wadah tertentu alias aliran, sesungguhnya bakal
melemahkan sendi-sendi akidah. Arkian, kehadiran sekte teramat
mutlak untuk menengahi sekaligus melindungi dari efek negatif yang
juga berkembang-pesat. Apalagi, eksistensi pelbagai aliran dalam
struktur spiritual alternatif (ajaran yang diwahyukan dari langit)
itu, merupakan samudera sistem keagamaan. Pasalnya, sebagaimana
kebudayaan, nilai apa saja selalu menuntut perkembangan untuk lebih
menegakkan diri pada arus perubahan zaman yang menantang.
Grunge Look, gaya urakan
yang dianut beberapa artis Hollywood, adalah mazhab mode busana yang
menandai akhir zaman modern. Di samping Grunge Look, juga
gaya “Back to ‘60” dipromosikan untuk memperkaya ragam dunia
fashion. Bahkan, di Amrik (negeri Bill Clinton yang menjadi
pusat budaya pop dunia), juga ada wanita yang mengenakan potongan
jins berbentuk celana dalam di tengah keramaian.
Berbagai aliran mode di penghujung
zaman modern, tak membuat orang risih. Sekte-sekte pemikiran dan
aliran-aliran keagamaan di era pasca-modern, bukan pula barang haram.
Soalnya, kehadiran kelompok itu, justru memperkaya aneka penafsiran
keagamaan tanpa harus melenceng dari kemutlakan iman terhadap sang
Khalik.
(Harian Terbit,
Sabtu 22 Mei 1993)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar