Jumat, 18 Januari 2013

Mencari Rumus Allah

Mencari Rumus
Allah
Oleh Abdul Haris Booegies


      Dalam al-Qur’an tertera nama Allah sebanyak 2.698. Kemudian Tuhan juga memiliki al-Asma al-Husna (99 nama terbaik nan mempesona). Nama-nama indah tersebut mengacu pada kemuliaan serta kebesaran Allah yang meliputi segala ihwal.
      Dalam alfabet hijaiyyah, huruf alif adalah aksara pertama. Nilai numerik alif yakni satu. Fonem alif itu yang menempati posisi awal penulisan asma Allah dalam bahasaArab.
      Angka satu yang identik alif dipandang menjadi asal-muasal semua bilangan. Satu dilambangkan sebagai satu yang esa, tunggal maupun ganjil. Sementara al-Khalik merupakan satu absolut sekaligus satu yang khas identitas-Nya. Dalam ijaz ‘adadi (mukjizat angka-angka), huruf alif mempersaksikan bahwa Allah adalah yang pertama serta hanya ada satu Tuhan. Secara etimologi, istilah Allah terdiri atas aksara alif, lam dan ha.
      Morfem Allah termaktub ghairu musytaq (tidak punya silsilah kata sekaligus bukan pecahan dari lafaz lain). Alhasil, al-kalimah Allah tidak bisa diubah menjadi ganda atau plural. Kata Allah disebut pula isim murtajal alias nama untuk zat yang Wajib Ada sebagai Raja Diraja yang Maha Haq.
      Sebelum Islam, istilah “Allah” pun dipakai oleh massa musyrik. Al-Qur’an lantas menjernihkan semantik kata “Allah” dari unsur-unsur negatif yang dinisbatkan oleh gerombolan jahiliah kuno di era berhala. Di masa Islam, ungkapan “Allah” diagungkan sebagai zat yang mengandung keyakinan metafisika.
      Pada mulanya, Allah berada di Ghamam (awan). Tahta Agung berselimut kabut itu dikelilingi Hawa (udara). Lalu Tuhan menciptakan Qalam dari cahaya. Qalam sebagai kreasi pertama kemudian disusul penciptaan Arasy. Singgasana Suci ar-Rahman tersebut, terhampar di atas air yang memenuhi alam semesta. Tatkala langit rampung diciptakan, maka, Arasy yang mengapung laksana bahtera di fluida kosmos segera diangkat ke Sidratul Muntaha, pucuk langit ketujuh.
      Arasy yang berskala maha gigantik-makroskopik serta menjadi fakta samawi yang kongkret, dijunjung delapan malaikat. Singgasana Mulia tempat Yang Awal dan Yang Akhir menimbang segenap perkara itu, dikelilingi malaikat-malaikat yang bertasbih memuji Allah.
      Di Arasy yang sarat hikmah, Allah mengatur makhluk-Nya yang bertebaran pada sekitar seratus miliar galaksi. Sebuah galaksi terkadang memuat 400 miliar bintang serta seratus miliar planet.

Allah di Mana-mana
      “Ia bersamamu. Di mana saja kamu berada” (al-Hadid: 4). Ayat ini menegaskan kalau Allah berada di tiap ukuran tempat. Zaid bin Tsabit sebagai sekretaris pencatat wahyu di periode hidup Nabi Muhammad jelas tidak mengubah redaksi firman Sang Khalik tersebut.
      Pada hakikatnya, Allah tak berada di mana-mana! Dari Wajo sampai Washington, dari Jeneponto sampai Jenewa, dari Bone sampai Bonn di Jerman, tidak ada manusia yang pernah bertemu Allah!
      Nabi Musa yang berpostur tinggi, kurus dengan rambut lurus, malahan tergeletak pingsan akibat bernafsu besar ingin melihat Allah. Thur Sina (Bukit Sinai) bergetar, retak berhamburan serta menimbun Musa Alaihisslam. Di antara puing-puing cadas itu, Nabi Musa sadar bahwa bumi bukan tempat Allah.
      Maharasul Muhammad sebagai the great para ulul azmi (teladan segenap Rasul), juga tak sempat memandang Allah kala berkelana dalam episode Isra Mi’raj. Jibril yang perkasa sekaligus the leader para malaikat, ternyata ciut sekaligus gentar pula saat hendak menghadap Allah. Wajahnya kusut-kusam bak pelana dekil serta kumal lantaran takut pada Penguasa Jagat Raga.
      Allah ada di mana-mana pada intinya mesti ditafsirkan bahwa Kekuasaan dan Ilmu Tuhan berada di aneka wadah di sepanjang langit dengan bumi serta hamparan lebar Barat dengan Timur. Kekuasaan dan Ilmu Allah menembus sejarah, generasi serta silir-semilir bayu di pelosok alam semesta.
      Allah yang menjadi arsitek cakrawala merupakan puncak pendakian dalam menggapai tauhid uluhiyah dan tauhid rububiyah demi membangun pribadi fitri (the sacred self). Hingga, tercapai izzul Islam wal muslimin (ketinggian level Islam serta kaum Mukmin). Rudolf Otto menilai bahwa Tuhan memanifestasikan diri-Nya sebagai mysterium tremendum dan mysterium fascinans. Maklum, Allah itu lembut, indah serta agung.
      Kekuasaan Allah adalah simbol Arasy. Sementara Ilmu Allah tercurah pada al-Lauh al Mahfuz (lembaran yang terjaga). Artefak Ilahi tersebut, terbuat dari mutiara putih yang berasal dari yaqut (batu mulia) merah.

Wajah Allah
      “Milik Allah di Timur maupun di Barat. Ke mana saja kamu berpaling, di situlah Wajah Allah” (al-Baqarah: 115).
      Al-Qur’an menyebutkan Wajah Allah dua belas kali. Kelompok Asy’ariyah menilai kalau Tuhan memang punya wajah yang bertalian dengan esensi-Nya. Sebagian lainnya menolak atas dasar tiada sesuatu pada makhluk boleh dinisbatkan kepada Sang Pencipta dengan makna yang persis.
      Mayoritas kalangan menganggap Wajah Allah sebagai kiblat. Ketika musafir tersesat, maka, ia dibebaskan menghadap ke mana saja buat mendirikan salat.
      Di era budaya short message service (SMS) ini, Wajah Allah tidak sekedar penunjuk arah salat. Wajah Allah merupakan karunia dan kasih sayang yang bercucuran dari al-Kursi. Pasalnya, al-Kursi sebagaimana dituturkan Ayat Kursi, meliputi seluruh kosmos yang secara otomatis berada di bawah satu komando sentral tertinggi.
      Wajah Allah terhampar di mana pun muka berpaling. Saat mata menatap deretan gedung bertingkat di belantara metropolitan, maka, kekaguman menyeruak. Ketika sains dan teknologi menyapa dengan resep kemudahan, kontan rasa syukur menggeliat dalam dada. Kala gugusan gunung dengan visualisasi puitis membelenggu penglihatan, sekonyong-konyong sensasi bergelora di sanubari.
      Ketakjuban, rasa syukur serta sensasi yang meremas-remas hati, merupakan kombinasi atas karunia dan kasih sayang yang menetes dari al-Kursi. Tanpa mata serta hati, niscaya hasil kreasi insan dan lukisan alam tak mampu menjadi refleksi Wajah Allah yang marak-mempesona di antara langit dengan bumi.
      Walau Wajah Allah cuma metafora, namun, pasca Hari Penghakiman, Allah akan mempertontonkan Wajah Sejati-Nya kepada jemaah para Nabi. Seluruh hamba Allah bakal menatap ke titik pusat tertinggi Kedaulatan Mutlak. Ke sanalah mata mereka memandang paras suatu Wujud yang bebas dari semua kebutuhan.
      Zat perkasa yang ditengok tiada lain Allah. Ia selama ini dicari rumusnya pada wilayah ilmu empiris serta zona filsafat spekulatif di dekade globalisasi neo-liberal. Pencarian dalam pusaran arus kemisterian tersebut merupakan energi bagi manusia guna menyembah Yang Awal dan Yang Akhir.
      Akhirulkalam, tiada satu pun karakteristik himpunan pengetahuan pada daya cipta manusia dari mazhab in the know (banyak tahu) di ruang persuaan gagasan brilian, yang sanggup mempostulatkan konstruksi Wujud Allah. Sebab, “Tidak ada yang serupa dengan-Nya. Ia Maha Mendengar lagi Maha Melihat” (asy-Syuura: 11).


(Tribun Timur, Jumat, 2004)














































































Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Amazing People