Antigone
Tegar
dalam Sastra
Datar
Dalam Imajiner
Oleh Abdul Haris Booegies
Siapa pun
pencinta sastra dunia, pasti kenal Antigone. Seorang gadis dengan
ketegaran yang membatu demi kehormatan saudaranya. Antigone yang
merupakan hasil imajinasi Sophokles tetap bertahan diterpa waktu
serta ruang dalam kemarakan dan kekayaan karya sastra dunia.
Alhasil, Jean Anouilh dengan bangga memoles pula Antigone sebagai
karyanya yang abadi. Ini mengakibatkan pemula peminat sastra merasa
bingung, siapa milik siapa Antigone yang sangat terkenal itu. Sebuah
karya yang telah dibaiat sebagai masterpiece
dalam dunia sastra.
Di kalangan
”pakar” sastra, Antigone tentu diakui milik Sophokles. Pasalnya,
pujangga besar yang dilahirkan tahun 495 sebelum Masehi tersebut,
dikenal sebagai pengarang tragedi Yunani yang teramat kesohor. Ia
seorang pembaru drama pada zamannya. Dari 123 karyanya, tujuh di
antaranya sempat diwariskan kepada dunia; Oidipus
Sang Raja, Antigone, Ajax, Trachiniae, Electra, Philoctetea, Oidupus
di Kolonus serta sebuah drama satir
Ichneutae.
Di satu
pihak, ada pula anggapan bila Antigone yang sesungguhnya adalah milik
Jean Anouilh, seorang pengarang drama Perancis yang lahir di Bordeaux
pada 23 Juni 1910.
Anouilh
menggolongkan karya-karyanya dalam beberapa tipe berikut, Pieces
Noires (lakon hitam) seperti
Antigone
dan l’Alouette
(1953). Pieces Roses
(lakon merah jambu) seperti Le Bat
des Voleurs dan Ardeleou
la Marguerite (1949). Pieces
Brillantes (lakon gemerlap) semacam
l’Invitation au Chateau
(1974) serta La Repetition au 1’amour
Puxi (1950). Pieces
Grincantes (lakon menggegerkan),
julukan yang bisa dikenakan pada kebanyakan karya-karyanya, termasuk
La Valse des Toreadors
(1952).
Ketika
membaca tulisan Hari-hari Terakhirmu
Antigone (Pedoman
Rakyat, 24 Agustus 1989), saya tidak
menemukan surprise.
Sebab, tak satu pun dari dialog imajiner tersebut yang mengandung
elemen baru. Padahal, sebuah dialog imajiner, dituntut membawa
pembacanya ke daerah disimterested
contemplation. Juga mesti
mengandung sesuatu yang menawan atau bersifat investigative
reporting. Bukan menceritakan
kembali sinopsis Antigone
yang memang menggemaskan, yang oleh penikmat sastra sudah diketahui.
Apalagi trilogi Sophokles (Oidipus
Sang Raja, Oidipus di Kolonus
berikut Antigone),
telah diterjemahkan Rendra. Pustaka Jaya lantas menerbitkannya pada
1976.
Beberapa
tahun silam, El Manik melakukan wawancara imajiner dengan diri
sendiri. Hasilnya, banyak aspek menarik yang terungkap dari bintang
film itu. Bahkan, sebuah dialog imajiner antara Margareth Thatcher
dengan seorang wartawan yang dimuat di majalah Variasi
pernah membuat orang merasa rindu kepada Perdana Menteri Inggris
tersebut. Maklum, dalam dialog imajiner itu, banyak diungkap hal
baru untuk masyarakat luas.
Goenawan
Mohamad, pemimpin redaksi Tempo
dan Swasembada
yang sekarang berada di Amerika, memukau pula pembaca dengan
wawancara imajiner yang kreatif pada Catatan
Pinggir, Deng, Ding, Dong (Tempo,
8 Juli 1989). Soalnya, mengungkap sisi lain dari kakek tua Deng
Xiaoping. Goenawan mengolah kata demi kata sampai menghasilkan satu
wawancara imajiner yang enak dibaca dan perlu. Selain itu,
mengungkap nilai kemanusiaan yang kian langka ditemukan.
Buku Kejutan
dan Gelombang (Previews and Premises)
berdasarkan atas serangkaian wawancara. Naskah yang disarankan para
anggota South End Press
tersebut lalu diolah Alvin Toffler. Hasilnya, mencerminkan dialog
imajiner yang kaya.dengan fakta-fakta sebagai karya yang patut
diperhitungkan dari seorang futurolog keturunan Yahudi-Polandia.
Dalam buku
yang sarat fakta serba nyata itu, diungkap bagaimana pengangguran,
senjata nuklir, teknologi komputer maupun galaknya Woman
Liberation yang berkaitan dengan
kaleidoskop gejolak dunia. Selain Toffler
yang ide serta pengamatannya sangat menantang dan tajam, juga
Nostradamus (1503-1566). Ia astrolog Perancis.
Nostradamus
menulis ramalan perihal dunia di masa depan dengan alur yang mirip
dialog imajiner. Ramalan tersebut, sempat menggemparkan dunia.
Sebab, di antara ramalan itu, banyak yang mendekati jalannya sejarah.
Propheties (Para Nabi) yang diterbitkan tahun 1555, memuat kuatrain VII, 34 yang berbunyi: Bangsa Perancis akan terbenam dalam dukacita besar. Sia-sia percaya pada hal-hal terburu nafsu. Tiada roti, garam dan anggur. Si orang besar tertawan, kelaparan serta kedinginan.
Propheties (Para Nabi) yang diterbitkan tahun 1555, memuat kuatrain VII, 34 yang berbunyi: Bangsa Perancis akan terbenam dalam dukacita besar. Sia-sia percaya pada hal-hal terburu nafsu. Tiada roti, garam dan anggur. Si orang besar tertawan, kelaparan serta kedinginan.
Sebagaimana
diketahui, Perancis selama pendudukan Jeman-Nazi sampai 1944, nyaris
seperti yang dilukisan Nostradamus. Di masa tersebut, roti, air
minum dan anggur tak terdapat di pasar. Akibatnya, kelaparan,
kedinginan serta kebutuhan rakyat lainnya tidak terpenuhi. Ini
merupakan kekuatan dari imajinasi Nostradamus yang diramu layaknya
dialog imajiner.
Di
Indonesia, Arswendo Atmowiloto dikenal sebagai penulis bertangan
dingin. Ia mampu menulis apa saja. Arkian, lahir Senopati
Pamungkas yang serialnya kini masuk
edisi keduapuluh lima. Sebagai storyteller,
Mas Wendo pun dikenal sebagai pemred majalah Hai
dan tabloid Monitor.
Ia juga redaktur majalah berita bergambar Jakarta-Jakarta
serta dwiminguan Senang.
Beberapa waktu lampau, ia menulis buku Mengarang
itu Gampang.
Pustaka
tersebut berpretensi untuk melahirkan pengarang-pengarang muda
sembari ditulis dengan gaya dialog imajiner. Membaca buku yang
sekualitas dengan karya Mohammad Diponegoro, Yuk,
Menulis Cerpen Yuk, tersebut, orang
merasa menemukan hal-hal yang begitu bermutu perihal menulis yang
baik dan benar.
Dari paparan
di atas, ada “kesimpulan” bahwa tulisan yang berciri
dialog/wawancara imajiner, wajib hukumnya memuat ihwal baru, menawan
serta berdampak luas. Bukan menceritakan kembali hal-hal yang sudah
diketahui khalayak. Sebab, jadinya akan hambar dan datar.
Saat
Indonesia dihembus “keterbukaan”, Goenawan lalu menulis di menu
Catatan Pinggir, Terbuka
(Tempo,
5 Agustus 1989). Pada tulisan
Terbuka
itu, ia bercerita; “Ada seorang teman yang gemar mempelajari
kesusasteraan Yunani dan mengutip satu cerita tragis karya Sophocles,
Antigone. Katanya, dalam cerita itulah manusia pertama kali
berbicara tentang keterbukaan -kata lain dari keleluasaannya yang ada
ketika orang tak takut mengemukakan isi pikirannya yang mungkin aneh
dan tak menyenangkan”.
Tulisan GM,
jelas memiliki hal baru. Pasalnya, ia menampilkan isu mengenai
keterbukaan yang dipetik dari percakapan antara Haemon dengan Creon,
tanpa harus mengulang cerita Antigone.
Sederhana!
Sangat sederhana sekali, namun, punya nilai tanpa perlu mengurai
hikayat yang “haus darah” tersebut.
Antigone
harus diakui sebagai karya sastra yang tegar. Hingga, hari ini kita
masih bisa menikmatinya. Tragedi yang dicipta Sophokles telah
memberi dampak luas. Kini, simak bagaimana Jean Anouilh, yang juga
menulis Antigone bertutur tentang kisah yang penuh nafsu kekuasaan
serta pembunuhan itu.
Creon: “Its
diront que n’est pas vrai. Que je la sauve parce qu’elle allait
etre la femme de mon fils. Je ne peux pas”.
Le Choeur:
“Est-ce qu’on ne peut pas gagner
du temps, la faire fuir demain?”
Creon: “La
foule sait déjà, elle hurle autour du palais. Je ne peux pas”.
Hemon: “Pere,
la foule n’est rien! Tu es le maitre”.
Creon: “Je
suis le maitre avant la loi. Plus après”.
Hemon: “Pere,
je suis ton fils, tu ne peux pas me la laisser prendre!”
Creon: “Si,
Hemon. Si, mon petit. Du courage. Antigone ne peut plus vivre.
Antigone nous a deja quittes tous”.
Hemon: “Crois-tu
que je pourrai vivre, moi, sans elle? Crois-tu que je l’accepterai,
votre vie? Et tous le jours, depuis le matin jusqu’au soir, sans
elle! Et votre agitation, votre bavardage, votre vide, sans elle”.
Abdul Haris
Booegies, members of al-Jamiah al-Islamiyah al¬Hukumiyah Ujung
Pandang
(Pedoman Rakyat,
Kamis 14 September 1989)
--------------------------------------------------------------------------
Antigone
yang Mempesona
Oleh Abdul
Haris Booegies
Terima kasih atas catatan buat
saya bertajuk Antigone Membebaskan
Diri (Pedoman
Rakyat, 21 September 1989). Saya
salut atas tanggapan “merdu” itu. Walau ada sejumlah kategori
yang mengganggu. Bahkan, seolah tak dimengerti oleh Ketua Kelompok
Studi Sastra dan Teater (Kosaster) Unhas itu.
Hari-hari
Terakhirmu Antigone (Pedoman
Rakyat, 24 Agustus 1989), nyata jika
tak punya surprise.
Soalnya, Antigone Membebaskan Diri
(Pedoman Rakyat,
21 September 1989), telah mengakuinya.
Mengapa saya
(dan mungkin juga beberapa orang) menuntut kejutan serta pemikiran
baru pada tulisan Hari-hari
Terakhirmu Antigone? Sebab, tulisan
tersebut tidak punya jati diri. Sangat datar dan hambar dibaca.
Kemudian penulisnya mencoba pula mengelak dengan mengandalkan
Antigone
yang penuh citra itu. Jadi, kesimpulan (sementara), penulis opini
tersebut mencoba menegakkan benang basah. Padahal, masalahnya tak
semudah mengurai benang kusut.
Saya ingin
sentil sedikit persoalan wawancara, mengingat Hari-hari
Terakhirmu Antigone berciri dialog
imajiner. Menurut pengarang serta wartawan Jerman terkemuka Emil
Ludwig (Emil L. Cohen), bahwa di antara kegiatan jurnalistik,
wawancara mungkin paling sah menampilkan kecerdasan (polished)
dan paling menarik hati (entertaining).
Keunggulan
dialog karena memerlukan banyak kemahiran serta kemampuan tertentu.
Alhasil, banyak orang Amerika gemar membaca hasil wawancara. Aneh,
karena hal semacam itu tak saya temukan pada tulisan Hari-hari
Terakhirmu Antigone.
Tatkala
Maurice Zolotov ingin menulis artikel perihal tokoh opera Salvatore
Baccaloni, ia membaca delapan buku tentang opera. Padahal, tiada
satu pun dari buku tersebut yang memuat Baccaloni. Ini dilakukan
agar tokoh yang hndak ditulis tak datar dan hambar. Ia menggali
background information
mengenai opera. Setelah Zolotov tahu “sedikit” opera, maka, ia
pun membaca kliping mengenai Baccaloni di perpustakaan harian The
New York Times. Lalu Zolotov pergi
ke panggung Metropolitan Opera
untuk merasakan opera. Kemudian ia bergegas ke New York guna
mewawancarai Baccaloni. Sesudah itu, ia masih menginterview sepuluh
orang yang kenal Baccaloni.
Hasilnya,
Zolotov menyelesaikan rancangan tulisannya duapuluh halaman dalam
waktu tiga hari. Terlihat, betapa ekstrem serta peliknya melakukan
wawancara demi kekayaan hasil dialog itu.
Saya kira,
penulis Hari-hari Terakhirmu Antigone
pernah membaca buku Intervista con la
Storia (Wawancara Dengan Sejarah)
karya wartawati Italia, Oriana Fallaci. Dalam buku tersebut, dapat
dilihat betapa mengagumkan seorang wanita yang mewawancarai
tokoh-tokoh dunia. Ia menampilkan beberapa pemikiran sekaligus
ejekan terhadap tokoh Islam. Yasser Arafat ia tuding
kewanita-wanitaan. Lalu menyanjung setinggi langit tokoh Yahudi,
Golda Meir. Kendati begitu, wawancara tersebut terasa menggemaskan.
Tidak datar dan hambar. Sekalipun menyentil serta mengejek Abu Ammar
bangsa Palestina.
Bila Anda
telah kenal Antigone saat masih di SMA, maka, saya baru tahu di akhir
tahun 1988. Repotnya lagi karena lewat bahasa Perancis yang saya tak
tahu artinya. Hatta, saya menyangka Antigone itu semacam binatang
jalang yang terbuang diri kumpulannya. Saya malahan pernah mengira
Antigone adalah makhluk ruang angkasa yang gentayangan bersama ET
(Extra Terrestrial).
Juga saya sangka cuma virus langit yang bertebar dengan deburan
partikel-partikel awan yang berseliweran.
Untung,
lewat seorang teman yang tingkat makrifatnya telah mencapai atmosfir,
menjelas- terangkan siapa sebenarnya Antigone.
Ada indikasi
jika penulis Hari-hari Terakhirmu
Antigone terlalu keras kepala
perihal Antigone yang memikat. Ia menulis: “Kalau ada kesan
tulisan dialog imajiner saya cenderung kepada sinopsis biarlah”.
Kalimat ini
teramat konyol dan tidak berhasil menampilkan seorang tokoh rekaan
yang telah membumi. Jika saya analogikan Hari-hari
Terakhirmu Antigone, sebagai sebuah
“kitab suci” (bukan wahyu) yang hanya memuat cerita-cerita anak
manusia yang telah di tahu, disimak serta didebatkan, maka, yakin
saja, “kitab suci” itu tak sanggup menjaring pemeluk. Sebab, tak
ada sesuatu yang baru, cuma memuat sinopsis yang itu-itu saja.
Jelas, Anda sebagai orang yang telah mendapat inayatullah
akan kecewa. Pasalnya, tak punya umat (penikmat bacaan). Bila
dijual, siapa mau membelinya?
Jika tulisan
tersebut sebuah film. Siapa yang bakal tonton kalau hanya
menceritakan hikayat yang sudah dimengerti khalayak. Apalagi, tak
dipoles dengan ide cemerlang. Mungkin Anda pernah nonton film Mutiny
on the Bounty yang dibintangi aktor
kawakan Hollywood, Marlon Brando. Selang beberapa waktu, film yang
mengisahkan pemberontakan di kapal The
Bounty itu muncul lagi dengan aktor
Australia, Mel Gibson. Hasilnya, tiada seorang penonton menyambut
riuh film yang telah mereka tonton beberapa tahun itu. Soalnya, tak
ada yang istimewa, kecuali pemeran utama film tersebut yang dikenal
pahlawan masa depan lewat film Mad
Max. Rugi serta sesal tentu dialami
produser. Sebab, berkeras kepala membuat sesuatu yang tidak lagi
menarik.
Bandingkan
dengan orang Amerika yang kreatif, yang merelakan duitnya 60 dollar
untuk sekali nonton di panggung Broadway yang tersohor dan gemerlap.
Broadway yang merupakan idaman tiap seniman agar karyanya dipentaskan
tak pernah kering, datar serta hambar dengan ide dan hal baru.
Orang
Amerika pun tidak segan membayar 300 dollar buat menyaksikan Dame
Kiri Tekanawa menyanyi bersama Placido Domingo. Bahkan, sekelompok
orang bersedia membayar 5.000 dollar untuk mendengar suara si Yahudi,
Barbra Streisand melantunkan nyanyian di halaman belakang rumahnya.
Semua karena Streisand punya daya pikat sendiri jika bernyanyi di
rumahnya. Auranya lain bila ia menyanyi di pentas-pentas stadion.
Mustahil ada yang merelakan uangnya sebanyak itu jika memelototi
Streisand di panggung.
Di sini, ada
kesan bahwa ide serta aspek baru selalu diserbu khalayak. Sangat
beda kalau cuma bercerita itu ke ini saja. Sebab, terasa datar dan
hambar.
Sungguh
menggelikan karena ada kalimat di Antigone
Membebaskan Diri: “Timbul
kekhawatiran saya kalau-kalau Abdul Haris Booegies belum membaca
seutuhnya Antigone itu sehingga tidak dapat mengenali mana dialog
Antigone milik Sophokles dan mana dialog Antigone milik Shaifuddin
Bahrum”.
Kalimat ini
menunjukkan bila ada perbedaan antara Antigone milik Sophokles dengan
Antigone versi Hari-hari Terakhirmu
Antigone. Ada lagi kalimat
berbunyi, “Jadi saya tetap pada prinsip bahwa biarlah Antigone
membebaskan dirinya sendiri, biarlah dia bicara sendiri tentang
kebenarannya tanpa perlu ada campur tangan dari siapa-siapa, juga
saya”.
Kalimat ini
memaparkan kalau Antigone tak ingin diubah, apapun jadinya. Ini
menimbulkan kontradiksi. Pasalnya, alinea ketiga membaiat bahwa
Antigone Sophokles serta Antigone Shaifuddin Bahrum, beda. Sementara
alinea kedelapan mengaku tak bakal mengubah Antigone. Jadi, logika
apa pula ini.
Di satu sisi
membedakan, lalu sudut lain memperkokoh kedudukan sebagai hal yang
mutlak, tanpa perlu ada campur tangan untuk mengoreknya. Kesan saya,
si penulis pada hakekatnya tidak menulis, tetapi, sekedar iseng
membingungkan pembaca harian ini.
Juga ada
kalimat yang lucu. Menggelikan lantaran sebagai mahasiswa sastra, ia
seperti tak tahu aturan bahasa Indonesia yang baik dan benar.
Bunyi
kalimatnya: “Sekali lagi saya sangat tidak setuju kalau dikatakan
bahwa cerita ini adalah cerita yang “haus darah” karena tidak ada
data yang menguatkan pernyataan itu”.
Perlu
diketahui, bahwa tanda kutip menurut Dr Gorys Keraf dalam buku
Komposisi
memiliki tujuh maksud. Disini, saya ingin menyederhanakannya dengan
mengambil yang penting saja. 1. Untuk mengutip kata-kata seseorang.
2. Menulis judul karangan. 3. Menyatakan kata asing, yang
diistimewakan atau punya arti khusus. 4. Bila terdapat sebuah kutipan
dalam kutipan. 5. Untuk mengapit terjemahan.
Pakar Hadis
IAIN Alauddin, Dr M Syuhudi Ismail menerangkan, bahwa tanda kutip
bermakna meragukan. Jadi, sengaja saya pakai tanda kutip untuk haus
darah lantaran melihatnya memiliki makna khusus.
Andai saya
tidak gunakan tanda kutip, bolehlah mencak-mencak. Di sini, akan
terlihat, betapa masih “asing”-nya Anda dengan bahasa Indonesia.
“Haus darah” diterjemahkan sangat enteng sekali, sekedar
pembunuhan. Mengapa tak diartikan saja “haus darah” sebagai
pelepas dahaga.
Sekiranya
saya dosen dan Anda mahasiswa, niscaya saya beri nilai “E”. Jika
ada kalimat berbunyi; Hitler “berotak kecil”, apa yang ada dalam
benak kita. Kecilkah volume otak Hitler atau ia tidak berakal serta
belum berbudaya (beradab). Saya kira anak SMP pun bisa menjawab
secara tepat!
Lalu
bagaimana pula mengartikan kalimat, pertarungan Elly Pical dengan
Khaosai Galaxy merupakan “partai neraka”. Kemudian penilaian
Departemen Penerangan terhadap Majalah Berita Bergambar
Jakarta-Jakarta
No.167. Hingga, muncul berita, majalah “porno” kena tilang.
Kemudian si Fulan memotong “anu”nya gara-gara kecewa.
Benarkah
pertarungan Pical dan Galaxy adalah partai neraka. Akibatnya,
malaikat Malik berkenan menyaksikannya bersama segenap penghuni
Neraka. Betulkah majalah JJ
berkategori yellow press,
sebangsa Playboy
atau Penthouse,
yang hanya tahu menampilkan gambar-gambar seronok berselera primitif?
Lantas bagaimana dengan si Fulan? Anunya yang mengapa, dan apa itu
anunya. Maklum, anu itu bermakna banyak, seluas jagat raya yang
gelap menggetarkan.
Kita mesti
jawab apa dengan kata yang menggunakan tanda kutip itu? Jelas,
rumput yang bergoyang tidak sudi menjawab!
Ada tuduhan
khusus yang istimewa untuk saya, karena terlalu mubazir
memperkenalkan secara detail sederet literatur. Saya kira ini image
yang gegabah. Soalnya, referensi tersebut merupakan data akurat yang
bisa dipertanggungjawabkan. Di samping itu, sanggup menelanjangi
betapa miskin tulisan Hari-hari
Terakhirmu Antigone.
Dengan
adanya sederet bacaan tersebut, dialog imajiner Antigone dapat
berkaca untuk menatap bagaimana awut-awutan wajahnya. Ia mirip nenek
sihir yang selalu dirundung malang. Betapa kasihan kita melihat.
Semoga, Antigone
tetap tegar dalam sastra serta juga dalam menghadapi manipulasi atas
dirinya yang ditokohkan dalam dialog imajiner yang datar dan hambar.
Akhirnya,
terima kasih (sekali lagi) atas tanggapan Anda, sekalipun sangat
miskin serta kerdil dalam informasi mengenai Antigone
yang teramat kompleks dan mempesona. Dunia teater yang Anda geluti
memang menyenangkan, tetapi, rasa senang itu belum teraplikasi dalam
tulisan Anda. Akibatnya, tulisan tersebut terkesan genit serta masih
perlu dipermak. Saya ingin menyatakan kepada penulis Hari-hari
Terakhirmu Antigone tanpa menggurui,
bahwa menulis di koran setara Pedoman
Rakyat yang beroplah 20.000
eksemplar, hendaknya lebih teliti dengan data yang dikemukakan.
Hingga, perangkat reasoning power
kita bisa berdampak luas. Apalagi lewat tulisan yang berciri dialog/
wawancara imajiner. Kalau tidak, orang bakal mencap kita sebagai
penulis yang “miskin dan dungu” dalam informasi. Saya kira,
saudara bukanlah penulis semacam itu! He ... he... he...
Catatan:
Dengan dimuatnya tulisan, agar tak berlarut-larut, polemik diakhiri
(Red)
Abdul Haris
Booegies, members of al-Jamiah al-Islamiyah al-Hukumiyah Ujung
Pandang
(Pedoman
Rakyat, Kamis, 5 Oktober
1989)