Senin, 14 Mei 2012

Salman Rushdie dan Lady Diana



Salman Rushdie dan Lady Diana
(Dilema Kebebasan serta Figur Kontroversial Monarki Inggris)

Oleh Abdul Haris Booegies

      Kerajaan Inggris, khususnya the Royal Family (keluarga Ratu Elizabeth II), saat ini terkesan goyah. Kekaguman masyarakat dunia terhadap monarki Inggris mulai memudar. Kemegahan Kerajaan Inggris yang telah berusia seribu tahun tersebut, sudah menampakkan sinar redup. Sumber malapetaka yang menggerogoti kharisma kejayaan itu, berasal dari putra-putri dan menantu Ratu Elizabeth sendiri. Ulah Duchess of York (Sarah Ferguson) yang bertelanjang dada di pantai St. Tropez, Perancis maupun Princess of Wales (Lady Diana) yang punya foto bugil, telah mengotori lembaran adat istiadat Kerajaan Inggris.
      Perilaku kedua menantu Ratu Elizabeth tersebut, makin lengkap oleh perangai anak-anaknya yang juga miring. Pangeran Charles Philip Arthur George, misalnya, dibalik wajahnya yang sarat getaran kewibawaan, ternyata suka mengumbar kata-kata cabul kepada wanita pujaannya. Elemen itu menandaskan bahwa Charles di usia yang sudah matang, masih merindukan semangat muda seperti saat ia banyak menaklukkan kaum Hawa.
      Wibawa Kerajaan Inggris di mata dunia, mungkin hancur akibat keluarga Ratu Elizabeth. Di sisi lain, sosok yang nyaris terlupakan adalah Salman Rushdie alias Simon Rushton. Figur ini yang pada hakikatnya mengacau opini publik. Rushdie boleh bangga karena gedorannya tidak disadari masyarakat Inggris. Kalau pun mereka tahu, maka, pers Inggris pasti malu mengungkapkannya.
      Rushdie adalah simbol setan di negara-negara Islam. Sementara di dunia Barat, ia menjadi lambang freedom of expression (kebebasan berpendapat) serta freedom of speech (kebebasan berbicara) yang didasarkan pada ideologi liberalisme.
      Figur sesat Rushdie akhirnya membuat Republik Islam Iran menghendaki kepalanya ditebas atas kelancangannya menghujat Nabi Muhammad. Kaala kaum Muslim tersayat atas penghinaan Rushdie, Inggris justru melindunginya sampai titik darah penghabisan. Ia dijaga ketat selama 24 jam oleh Scotland Yard, dinas rahasia Inggris. Perang diplomat pun bergetar antara Ayatullah Rohullah Mossavi Khomeini dengan Lady Margareth Thatcher.
      Inggris bersama Masyarakat Ekonomi Eropa (MEE) kemudian menekan Iran. Hubungan bilateral antara Iran dengan Inggris akhirnya putus pada Maret 1989 akibat ”Dekrit Kematian 14 Februari 1989” yang dititahkan Imam Khomeini. Negeri para Mullah tersebut bersumpah bahwa fatwa bersejarah Khomeini, merupakan perintah Tuhan untuk merajam setan Rushdie sampai mati terkapar.
      Nyawa Rushdie terancam akibat novel karyanya The Satanic Verses (Ayat-ayat Setan) teramat vulgar struktur caci-makinya. Sekalipun ngeri, tetapi, Rushdie terlihat tidak gentar. Bahkan, sabda Khomeini dianggapnya sebagai ancaman langsung dari teroris.
      Perintah bunuh bagi dirinya yang diiringi pengerahan pasukan khusus, dilihat Rushdie sangat bertentangan dengan hak-hak asasi manusia serta hukum internasional. Rushdie memang ciut, karena dua penerjemah The Satanic Verses diteror habis-habisan. Hiroshi Agarashi, profesor yang menerjemahken novel setan Rushdie, mati dengan 10 tusukan di tubuhnya pada 13 Juli 1992. Sedangkan Ettore Capriolo, seniman Italia yang juga menerjemahkan The Satanic Verses ke bahasa Italia, ditemukan pula telah dianiaya pada 3 Juli 1991.
      Dalam novelnya, Rushdie menyebut Rasulullah sebagai “the medieval baby frightener, the devils synonim: Mahound” (seorang yang terdorong menjadi nabi. Ia sinonim setan yang sering mengganggu bayi di Abad Pertengahan). Mahound adalah semacam nama yang digantungkan oleh kaum farangis di sekitar lehernya sebagai kartu setan.
      Sosok Mahound yang diilustrasikan bermoral bejat, juga hadir di novel Midnight’s Children yang sudah disinonimkan oleh Rushdie dengan Nabi Muhammad. Istilah Mahound diambil dari bahasa Inggris Schottish yang artinya setan. Pengarang Barat, sejak Abad Pertengahan (Renaissance) suka menggunakan nama Mahound, Bafum, Maometh, Mohounde, Baphometh, Mohamed atau Moehammered untuk Maha Rasul Muhammad.
      Di samping The Satanic Verses, juga buku yang secara ekstra agresif menghina Islam adalah The Age of Resson (Thomas Paine), Liber Peragrinacionis (Ricoldo da Monte), La Divina Commedia (Dante Alighieri) maupun Verlegung Alcorans Bruder Ricaldi (Martin Luther). Dalam kitab-kitab itu, Islam disebut agama untuk nabi. Sedangkan Nabi Muhammad dituduh sebagai penghuni neraka tingkat sembilan bersama para penghujat agama dan pembuat skandal. Rasulullah dianggap pula kepala perampok, pengecut, pemuas nafsu seks serta manusia setan.

Kehilangan Iman
      Rushdie lahir pada 19 Juni 1947 di Bombay, India, dari kalangan Muslim Kashmir yang menggunakan bahasa Inggris dan bahasa Urdu dalam kehidupan sehari-hari di rumah. Saat kecil, ia diberi nama Salman Sinai. Ayahnya, Anis Rushdie, yang pernah bersekolah di Kirig’s College, Carnbridge, lalu mengirim Rushdie untuk menuntut ilmu di Inggris.
      Pada 1964, Rushdia masuk Universitas Cambridge. Sebelumnya, ia telah menyelesaikan pendidikan di Cathedral and John Connon Boys High School.
      Inggris kemudian mernbuat Rushdie hidup di alam kebebasan. Selain menganut paham Anglophile(westernized) itu membuat Rushdie kehilangan iman. Ia melepaskan Islam sebagai agamanya. Hidupnya juga berkiblat ke arah liberal. Arkian, secara leluasa Rushdie bergaul intim dengan Clarissa Luard. (semangat pemujaan terhadap Inggris), ia pun terbius gaya politik kiri. Proses pembaratan
Sesudah hidup seatap selama dua tahun, Rushdie lalu menikahinya. Dari wanita Inggris tersebut, ia memperoleh seorang anak yang diberi nama Zafar. Di sisi lain, jejak-jejak sukses Rushdie di bidang kesusastraan, tak mampu mengangkat harkat perkawinannya. Mereka bercerai pada 1987.
      Setelah berpisah dengan Clarissa, Rushdie menjalin affair dengan Robin Davidson, penulis asal Australia. Keakraban itu sirna ketika ia memilih Marianne Wiggins sebagai pendamping hidupnya pada 1988. Wiggins, novelis Amerika merupakan perempuan yang berhaluan sekuler. John Dollar, bukunya, rnalahan menghujat iman Kristen.
      Sebelum The Satanic Verses (1988), Rushdie menyelesaikan Grimus (1975), Midnight’s ChildrenShame (1983) serta The Jaguar Smile (1987). Midnight’s Children merupakan tonggak keberhasilannya. Sebab, novel tersebut mendapat penghargaan bergengsi di dunia kepustakaan Inggris be (1979), rupa The Booker Prize pada 1981. Sedangkan The Satanic Verses memenangkan Whitbread Novel Award 1988 sekaligus peringkat dua The Booker Prize.
      Saat gelora Perang Teluk II antara pasukan Saddam Hussein al-Takriti dengan tentara multinasional pimpinan Jenderal Norman H Schwarzkopf kian memanas, Rushdie pun menyelesaikan Haroun and the Sea of Stories. Dalam novel itu, ia secara lantang mengejek Khomeini dengan nama Khattam Sud yang bergelar Prince of the Darkness (Pangeran Kegelapan). Buku tersebut boleh dikatakan luput dari penglihatan fundamentalisme Islam di Iran akibat membaranya Teluk Persia oleh Irak serta koalisi Amerika.
      Dalam pengasingannya, Rushdie merasakan tekanan akibat hukuman in absentia berupa pidana mati. Untuk menjaga keselamatannya, ia harus mengeluarkan uang sekitar 250.000 poundsterling (Rp 716 juta) sebagai anggaran perlindungan keamanan dirinya. Maklum, para penembak jitu (sniper) leluasa bergerak mencarinya. Apalagi, Khomeini menyediakan 2,6 juta dollar AS bagi pembunuh Rushdie. June Fifth Foundation (Yayasan Lima Juni), ikut pula menyokong dana untuk mencabut nyawa setan Rushdie. Organisasi kemasyarakatan dukungan Pemerintah Iran, juga menawarkan hadiah dua juta dollar AS bagi pembunuh Rushdie.
      Sekalipun terkurung oleh opini dunia Islam, namun, Rushdie tetap aman. Bahkan, raja koran lnggris Robert Maxwell menawarkan enam juta poundsterling (Rp 17 miliar) bagi yang bisa membujuk Khomeini agar mengubah sikapnya. Sedangkan harian Inggris The Sport Splashed pada edisi 22 Februari 1989, menawarkan hadiah 1,8 juta dollar AS kepada siapa pun yang bisa menangkap Khomeini.
      Di tengah perang harga antara fatwa mati Khomeini serta pers Inggris, Rushdie secara provokatif memilih masuk Islam. Pada 24 Desember 1990, ia berikrar: “Saya bersaksi bahwa tiada Tuhan selain Allah dan Muhammad adalah utusan Allah”. Pengakuan itu disaksikan beberapa ulama di bawah pimpinan Mohammad Ali Mahgoub dari Lembaga Perwakafan Keagamaan. Penandatanganan dokumen syahadat tersebut, didukung Presiden Mesir Hosni Mubarak. Patut diduga bahwa Rushdie masuk Islam tidak dengan keikhlasan. Sebab, ia sekedar ingin melakukan pengamatan terhadap risalah Nabi Muhammad.
      Kelicikan itu akhirnya makin membuat curiga umat Islam. Akibatnya, Rushdie kian terdampar ke dalam lumpur kesengsaraan. Novelis yang murtad dari Islam tersebut, mampu pula membuat beberapa kalangan mencoba menolongnya.
      Di dunia Barat, bertekad lebih 1.000 pengarang, penerbit berikut penjual buku, termasuk Graham Greene, Norman Mailer, Alberto Moravia serta Saul Bellow. Mereka bersatu menandatangani sebuah pernyataan yang memprotes fatwa maut bagi Rushdie. Berkat bantuan anggota kelompok Article 19, maka, Rushdie akhirnya mulai menampakkan diri di muka umum.
     PEN American Center yang beranggotakan 2.100 orang bersama Authors Guild, terus menebar sokongan moral untuk Rushdie. Bahkan, Perancis berniat memberikan gelar doktor bagi Rushdie sesudah Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Jack Lang menyetujui usulan sekitar 100 profesor Perancis tentang pemberian tanda kehormatan kepada pengarang kontemporer Inggris itu.
      Irama dukungan tersebut, akhirnya membuat Rushdie makin kalap untuk menikmati kebebasan setelah terbelenggu selama empat tahun. Ia kemudian melakukan kampanye global dengan mengunjungi beberapa negara untuk memperkuat aliansi internasional terhadapnya sembari menekan Iran.

Claustrophobia
      Rushdie adalah kebalikan dari Putri Diana. Jika Rushdie tidak bebas berkeliaran, maka, Diana kiranya memiliki kemerdekaan ke mana saja di dunia ini. Rushdie terkurung dalam titah maut Khomeini. Ia hanya bebas mengembara dalam dunia imajinasi. Sedangkan Diana bebas, namun, terbelenggu dalam kesepian yang mencekam.
      Sebagai orang Inggris, keduanya selalu menghias media massa dunia. Apalagi, Rushdie tertoreh sebagai novelis sukses yang karyanya sarat pertentangan. Sementara Diana dipuja seantero jagat sebagai perempuan paling cantik di Inggris. Ia menduduki peringkat atas wanita terpopuler dunia yang menimbulkan Dianamania.
      Diana Frances Spencer lahir dari rahim Frances alias Viscountess Althrop pada 1 Juli 1961. Ia anak ketiga dari empat bersaudara (Sarah, Jane, Diana serta Charles).
      Diana dibesarkan di Park House (bangunan kuno di Norfolk) di bawah inang pengasuh (nanny) Miss Gertrude Allen yang dipanggil Ally. Di masa kanak-kanak Diana, ibunya lari ke pelukan Peter Shand Kydd.
      Ketika berusia sembilan tahun, Diana bersekolah di Riddleworth Hall. Setelah lulus, ia melanjutkan ke West Heath yang juga sekolah asrama. Sesudah itu, keluarga Viscount Althrop (Sir John Spencer) yang kemudian bergelar Earl of Spencer, pindah ke istana warisan Northamptonshire. Di sana, ayah Diana berhubungan gelap dengan Countess of Dartmount (Rainey), putri novelis mashur Barbara Cartland. Setelah dua tahun hidup bersama, mereka pun menikah.
      Diana bertemu dengan Charles pada November 1977. Sesudah perjumpaan tersebut, Diana ke Swiss meneruskan pendidikannya. Ia masuk Institut Alpin Videmanette dekat Gstaad. Usai menuntut ilmu, Diana kembali ke Inggris. Ia tinggal di Chelsea bersama dua sahabatnya. Sejak itu, Diana berstatus guru taman kanak-kanak Young England di Pimlico.
      Diana yang sering menjadi panutan kaum wanita, punya mata mempesona dengan senyum di depan umum (public smile) yang merekah bagai mawar. Keindahan fisik Diana ditunjang pula oleh tinggi badannya yang 178 cm. Sebelum resmi dilamar oleh Charles di bawah sinar lilin pada sebuah makan malam di Istana Buckingham pada 3 Februari 1981, Diana pernah dijodohkan dengan Pangeran Andrew Albert Christian Edward. Ia malahan sudah dipanggil Duchess of York, gelar resmi bila menikah dengan sang pangeran.
      Ketenaran Diana sebagai perempuan paling anggun sejagat, terekam dalam berbagai bingkai suka-duka. Superstar Inggris tersebut, telah 56 kali menjadi sampul majalah People. Televisi National Broadcasting Corporation (NBC) dalam acara Today, sudah menampilkan Diana lebih dari 160 tayangan. Hingga, ia diwartakan menderita claustrophobia akibat kilatan lampu kamera yang senantiasa menyengat keayuan wajahnya.
      Dalam perjalanan hidupnya, Diana telah mengilhami beberapa penulis dan sutradara untuk menggali riwayatnya. Nicholas Davies, umpamanya, menulis buku Diana: a Princess and Her Troubled Marriage.Diana in Private (The Princess Nobody Knows). Lalu Andrew Morton menulis Diana, Her True Story, yang gaungnya memerahkan telinga seisi istana. Lady Colin Campbell menuangkan kisah calon permaisuri itu dalam Diana in Private (The Princess Nobody Knows). Lalu Andrew Morton menulis Diana, Her True Story, yang gaungnya memerahkan telinga seisi istana.
     Selain tergores dalam buku, riwayat Diana juga terpantul di layar kaca. Steven H Stern, misalnya, menyutradarai The Women of Windsor. Sedangkan televisi Columbia Broadcasting System (CBS) di Amerika, pada 1982 membuat film The Royal Romance of Charles and Diana. Kemudian jaringan televisi Paman Sam, American Broadcasting System (ABC), merampungkan Charles and Diana, a Royal Love Story yang bercerita perihal upacara perkawinan agung keluarga elite itu. Camille Paglia pun membuat sebuah film kartun dokumenter dengan judul Diana Unclothed (Diana tanpa busana).
      Film kartun yang menampilkan Diana dalam posisi telanjang bulat tersebut, bakal disiarkan televisi Channel Four di London. Rumah tangga keluarga aristokrat The Royal Family itu, juga dikemas dalam film Charles and Diana: Unhappy Ever After yang dibintangi Roger Rees berikut Catherine Oxenberg.

Putri Penyeleweng
      Mahligai pernikahan Charles-Diana yang mengikat tali “perkawinan dongeng” di Katedral St. Paul pada 29 Juli 1981, ternyata tidak berjalan mulus. Sikap keduanya sering bertolak belakang. Charles menyenangi arsitektur, pertanian dan musik klasik. Bahkan, kecintaannya terhadap lingkungan membuatnya menulis buku bersama Charles Clover. Buku yang membahas pertanian organik tersebut, diberi tajuk Highrove: Portrait of an Estate. Sedangkan Diana menyukai shopping serta rock ‘n roll. Dalam sepekan, Diana menghabiskan 4.000 dollar AS (delapan juta) untuk membeli busana. Ketidakpaduan selera itu, kemudian menimbulkan gelombang keretakan. Apalagi, saat buku Andrew Morton terbit. Buku itu memiliki daya gempur yang melumat wibawa The Royal Family.
     Diana, Her True Story yang terjual 100.000 eksemplar pada pekan pertama di Inggris, terkesan membawa berkah bagi Diana. Sebab, buku tersebut makin melejitkan kepopulerannya sekaligus menjadi pijakan rasa simpati masyarakat Inggris terhadapnya. Aspek itu tak berlangsung lama. Sebab, tiba-tiba badai menghempaskan pribadi Diana dalam cemoohan akibat sikapnya yang ceroboh dalam hal-hal mesum.
      Terungkap bahwa pacar Diana sebelum bersanding dengan Charles adalah George Plumptre. Penthouse lalu menuduh kalau Diana sudah tidak perawan ketika kawin dengan Charles. Majalah pengumbar syahwat tersebut, malahan memuat pengakuan seorang pria yang pernah meniduri sang lady di rumah ibu Diana sendiri di Chelsea. Berita yang rnenampar pihak istana itu, hanya di tanggapi skeptis.
      Dugaan kebinalan Diana kembali mekar setelah TV-Movie, majalah televisi Jerman di Hamburg punya foto bugil Diana yang dipotret sekitar awal tahun 80-an. Untuk meredam stamina foto yang berisi fantasi seks tersebut, maka, TV-Movie mengembalikannya ke Istana Kensington, London, pada 18 Februari 1993.
      Di awal kehidupannya di Keraton Inggris, Diana telah menjalin keakraban dengan Oliver Everett, pengajar tata karma kerajaan. Kemudian Diana berhubungan intim dengan Raja Juan Carlos. Sebagai Raja Spanyol, ia tahu seluk-beluk istana untuk mendekati kamar Diana. Walau demikian, tugas kenegaraan kedua pihak menjadikan hubungan itu terhenti.
      Barry Mannakee, detektif yang menjadi bodyguard Diana, pernah pula merasakan kehangatan bersama sang putri. Entah mengapa, pada 1987, ia tewas dalam kecelakaan sepeda motor sesudah mengancam akan membocorkan rahasia pribadinya dengan Diana. Diduga kuat, yang mencabut nyawa Mannakee adalah M15, dinas intelijen Inggris.
      Petualangan seks Diana kian seru setelah berjumpa dengan Philip Dunne, bankir idola gadis kalangan atas London. Diana pernah berdansa mesra dengannya di Marquis of Worlester pada 1987. Diana yang merapatkan tubuhnya lalu mengecup pipi Philip. Keduanya malahan berlibur di rumah orangtua Philip. Sejoli itu bercengkerama mesra ketika orangtua Philip meninggalkan rnereka berdua di rumah.
      Mayor James Hewitt adalah pembimbing berkuda Pangeran Williar Arthur Philip Louis (calon penguasa yang bakal bergelar Raja William V). Keadaan kemudian berubah saat Diana secara agresif merindukan Hewitt. Suatu sore di bulan November, ia malahan berani mengunjungi Hewitt di asramanya yang terletak di kawasan Windsor. Di sana, Hewitt mencium mesra Diana. Sedangkan Kapten David Wathouse yang juga the other man, menurut majalah New Idea, sempat dikecup oleh Diana ketika menyaksikan film Rain Man di Waterhouse.
      Kisah kasih Diana yang paling menggetarkan ialah bersama James Gilbey, konsultan industri mobil. Pada 25 Oktober 1989, Diana meluangkan waktu bersantap malam di flat mewah Gilbey. Pukul 01.00 dini hari, Diana meninggalkan flat seharga satu juta dollar AS tersebut. Kenakalan sang putri terjadi gara-gara di malam itu Charles ke Katedral Gloucester. Ia lantas menginap di rumah pertanian Highrove.

Pangeran Porno
     Love affair antara Diana serta Gilbey, lalu terkuak ke permukaan akibat ulah pers. Bahkan, The Sun akhirnya mempublikasikan sebuah transkrip (salinan) percakapan intim via telepon antara Diana dengan direktur Holbein Motors yang berdagang mobil-mobil Saab, Swedia di London itu. Squidgytape atau Dianagate direkam pada 31 Desember 1989 oleh Cyrill Reenan, pelayan radio amatir.
      Stasiun televisi Australia ABC pada 1 Maret 1993, kemudian menyiarkan sisa rekaman “squidgy” (sebutan sayang Gilbey bagi Diana). Dalam rekaman tersebut, Diana mengutarakan niatnya untuk tidak hamil. Saat itu, Diana memang hamil. Menurut sebuah majalah Perancis, Ratu Elizabeth memerintahkan supaya janin yang bakal menjadi anak ketiga tersebut, dilenyapkan. Kandungan itu lalu digugurkan di Charing Cross Hospital, London, dengan alasan Diana mengidap penyakit bumilia nervosa.
      Sekalipun gema Dianagate sangat besar, tetapi, Camillagate justeru mencecar bejat pamor Charles. Camillagate atau Charlesgate yang direkam pada 18 Desember 1989 oleh Jane Norgrov, juga pelayan radio amatir, telah membuat atribut Putra Mahkota (Crown Prince) Inggris yang dikenal sebagai pria berbudaya tersebut, rusak akibat dijejali nafsu syahwat. Hingga, masyarakat pun memakinya sebagai pangeran porno.
      Sebagai calon raja, Charles mestinya tidak tersambar the other women. Apalagi, Undang-undang Negara The Bill of Right (1968) menyebutkan bahwa raja Inggris juga kepala gereja Inggris. Ayat The Act of Supplement 1701 menandaskan pula jika raja tidak boleh mengawini orang yang beragama Katolik.
      Transkrip Camillagate disiarkan pertama kali oleh New Idea. Majalah wanita dengan tiras 1,04 juta itu, diterbitkan oleh Pacific Magazine milik Rupert Murdoch. Dalam rekaman cabul tersebut, Charles bersama Camilla (keduanya menyapa dengan nama kesayangan Fred dan Gladys) secara bernafsu mengungkapkan hasrat seksual mereka.
      Tatkala Camilla ingin selalu berada di sisi sang pujaan, maka, Charles menjawab: “Oh Tuhan, saya akan tinggal di dalam celana dalammu atau yang lain. Itu akan lebih mudah”.
Di akhir percakapan, Charles merayu: “Saya akan pencet dadamu”. Camilla membalas: “Baiklah sayang, saya harap kamu memencet milikku”.
      Charles yang merupakan the perfec man berkat terprogram sejak kecil untuk menjadi raja, terkenal punya banyak kekasih sebelum menikahi Diana. Ia pernah pacaran dengan Susan George, bintang Straw Dogs dan Mandingo yang membuat aktris tersebut ditahbiskan obyek seks dekade 80-an.
      Wanita pertama yang mengisi lembaran hidup Charles adalah Lucia Santa Cruz. Kemudian hadir gadis-gadis seperti Georgina Russel, Lady Jane Wellesley, Princess Marie Astrid of Luxembourg, Laura Joe Watson, Davina Sheffield, Duchess Jane of Roburghe, Lady Sarah Spencer, Sabrina Guinness, Anna Wallace, Sheilla Ferguson, Amanda Knatchbull, Fiona Watso serta Lady Kanga Tryon (Dale Harper). Layak diakui bila cewek yang paling dahsyat perjalanan cintanya yakni Camilla Parker Bowles, istri Brigadir Jenderal Andrew Parker Bowles. Suami Camilla adalah pejabat Kepala Dokter Hewan dan Korps Kavaleri di angkatan bersenjata Kerajaan Inggris.
     The Royal Family yang dipandang di seluruh negeri sebagai suatu landasan moral dan contoh perilaku, sesungguhnya sejak awal sudah kusut dengan masalah seks. Kamar tidur Ratu Elizabeth, umpamanya, pernah digemparkan akibat menyelusupnya seorang gay. Adik sang ratu, Putri Margareth, malahan haus laki-laki. Ia pernah semen leven (kumpul kebo) dengan penyanyi pop Roddy Llewellyn di pulau Mustique, Karibia. Di pulau itu pula, Pangeran Andrew menjalin kasih dengan Kathleen (Koo) Stark sesudah ikut bertugas di Malvinas (Falkland) saat terjadi perang antara Inggris dengan Argentina. Koo Stark adalah leading lady yang berbugil dalam film Cruel Passion.
      Seperti Charles saudaranya, Andrew pun termasuk playboy. Pers Inggris malahan menggelarinya “Randy Andy” (Andy si Penakluk). Dalam kariernya sebagai buaya wanita, ia tidak pandang bulu. Beberapa perempuan yang pernah mengisi lembaran hidupnya antara lain Sandy Jones, Clio Nathanels, Alexandra Carnegie, Julie Guinness, Louisa Huntington-Whiteley, Julia Blount, Jeanette Baril, Carolyn Seaward, Kim Does, Carolyn Herbert, Vicky Hodge, Katie Rabett, Vicky McDonald serta Finona Hughes.
      Andrew yang jantan sejati, rupanya punya saudara yang layu di depan wanita. Pangeran Edward Antony Richard Louis, putra bungsu Ratu Elizabeth, tiada lain homoseks yang dijuluki Barbara. Nama itu merupakan parodi Barbara Windsor, aktris beken Inggris.
Sosok mengenaskan ialah Fergie. Sebelum mendampingi Andrew, ia pun suka gonta-ganti pasangan. Bahkan, pernah hidup serumah dengan tokoh balapan mobil Paddy McNally selama empat tahun. Ketika masih menjadi istri sah Andrew, Fergie secara lancang rnenyeleweng dengan Steve Wyaat (konglomerat Texas) maupun Johnny Bryan (penasehat keuangan sang putri).
      Putri Anne Elizabeth Alice Louise, anak Elizabeth yang lain setali tiga uang. Ia tidak luput dari kemelut rumah tangga. Putri Anne dilanda prahara akibat perkawinannya dengan Kapten Mark Philips yang mata keranjang. Ia kemudian memilih pendamping baru. Anne menikah dengan Kolonel Timoty Laurence.
      Skandal-skandal nafsu kebinatangan yang sensasional tersebut, membuat seorang lelaki rnisterius berani bertaruh bahwa monarki Inggris akan berakhir pada abad 20 ini. Pria itu mempertaruhkan 8.000 poundsterling (Rp 23 juta). Ia malahan rnenambah 146.000 poundsterling (Rp 421 juta) bila Kerajaan Inggris masih berdiri pada 1 Januari 2000.
      Ratu Elizabeth, oleh golongan oposisi dianggap sebagai ratu terakhir dari dinasti Windsor. Charles dilihat repot memangku jabatan sebagai raja akibat adanya warga Inggris yang mengusulkan pembentukan negara republik.

Kerajaan Munafik
      Semua kelakuan The Royal Family yang kini menggoyahkan keberadaan monarki Inggris, memperlihatkan bahwa moral keluarga kerajaan sangat rapuh dan bertetangga dengan kemaksiatan. Sebagai kambing hitam akibat adanya sikap sinis masyarakat terhadap monarki, maka, mereka menuding pers terlalu leluasa mengobral kehidupan penghuni keraton. Padahal, saat Rushdie dikutuk umat Islam, kerajaan serta pers Inggris bahu-membahu membenarkan novelis tersebut seraya mengagungkan asas kebebasan berbicara. Anehnya, ketika keluarga Ratu Elizabeth dibantai media, pemerintah pun segera mendesak agar dibentuk Pengadilan Pengaduan Pers (Press Complaints Tribunal).
      Pengadilan yang didukung oleh undang-undang (Statutory Tribunel) itu, sangat mencemaskan pers Inggris setelah Komite Keluhan Pers (Press Complaints Cornmission) tidak berfungsi.
      Sir David Calcutt dipilih Pemerintah Inggris sebagai ketua untuk merancang undang-undang pembatasan pers. Peraturan yang bakal membungkam kesaktian pers Inggris, ditanggapi Kelvin McKenzie, pemimpin redaksi tabloid The Sun, sebagai tindakan untuk melindungi golongan tertentu yang punya hak istimewa (the privilege). Padahal, selama ini mereka memiliki wewenang untuk meliput seluas-luasnya. Pers Inggris yang menganut sistem liberal, kebal oleh sanksi atas pelanggaran terhadap hak-hak kehidupan pribadi (privacy) seseorang.
      Semuanya kemudian berakhir sesudah pers Inggris menyiarkan secara gegap-gempita foto telanjang Fergie dan percakapan intim Diana. Pemberitaan yang bersemangat dari tabloid Inggris itu, membuat Pemerintah merasa malu. Bahkan, orang-orang dekat kerajaan memaksa pers untuk memiliki pengertian serta kemurahan terhadap monarki. Mereka meraung-raung minta tolong supaya pers menutup mata seraya menghilangkan kebebasannya dalam memandang kehidupan putra-putri Elizabeth.
      Kehadiran Komisi Pengaduan Pers dengan ketua Lord McGregor, lalu diejek oleh surat-surat kabar setempat sebagai a press watchdog agency (perwakilan penjaga pers). Soalnya, media massa Inggris akan kehilangan kekuasaan mutlak. Hingga, terancam terseret ke pengadilan akibat mengungkap fakta-fakta.
      Novel The Satanic Verses dan skandal Charles-Diana, merupakan dua sisi dari Kerajaan Inggris. Mereka mendukung Rushdie yang berdarah kotor (mahdur ad-damm) tersebut dengan semangat berapi-api. Inggris tidak menginginkannya menjadi mangsa para penembak yang melihat darah Rushdie halal terpercik. Dukungan itu kemudian membuat pula pers Inggris makin membabi-buta memberitakannya secara timpang. Ajaibnya, ketika media massa Inggris yang liberal menggempur habis moral anggota kerajaan, maka, pers pun diredam.
      Kasus The Satanic Verses membahana ke jagat raya, gara-gara ditopang negara-negara pengendali ekonomi dunia serta budaya pop. Di sisi lain, mengalirnya novel setan Rushdie tanpa hambatan dari Pemerintah Inggris, memperlihatkan bahwa negara tersebut tidak adil. Pasalnya, saat buku Spycatcher (The Candid Autobiography of a Senior Intelligence Officer) diterbitkan pada 1987, Pemerintah Inggris justeru panik. Hatta, Perdana Menteri Margareth Thatcher memohon kepada Kejaksaan Agung agar melarang peredaran buku itu. Kitab yang ditulis Peter Wright, pensiunan perwira Dinas Rahasia MI5 tersebut, menyingkap trik kotor M15 dalam menjalankan tugas.
      Di samping Spycatcher yang berhasil dibendung peredarannya oleh Inggris, juga kitab memoar seorang mantan agen rahasia Inggris dilarang beredar di negeri sendiri. Pustaka dengan judul Inside Intelligence itu ditulis oleh Antony Cavendish, bekas perwira M16 (dinas rahasia Inggris urusan internasional serta militer). Di dalamnya, diungkap tentang dugaan keras kalau Perdana Menteri Inggris Harold Wilson, terlibat jaringan Komitet po Gosudarstvennoy Bezopasnosti (KGB), dinas intelijen Uni Soviet sebelum hancur berkeping-keping.
      Inggris yang punya undang-undang untuk melarang seseorang atau organisasi menghina agama Kristen Protestan (Anglo Saxon), juga berhasil mendepak film The Last Temptation of Christ dan komik True Fait. Film “Godaan Terakhir Yesus” yang didasarkan pada novel karya Nikos Kazamtzakis dengan tajuk Hoteleutaios Peirasmos tersebut, bercerita mengenai fantasi seks Yesus Kristus untuk berhubungan intim dengan Maria Magdalena. Sedangkan True Fait yang dicetak oleh penerbit milik Robert Maxwell, berisi penghujatan terhadap iman Kristen.
     Spycatcher, Inside Intelligence, The Last Temptation serta True Fait yang dilarang beredar, pada hakikatnya menampilkan sisi kemunafikan Inggris. Mereka mendukung The Satanic Verses atas nama kebebasan berbicara dan mengemukakan pendapat. Di lain pihak, ketika Spycatcher cs muncul, Inggris justru gusar seraya melarangnya dengan dalih stabilitas negara. Padahal, novel Rushdie lebih berbahaya lagi. Pasalnya, mampu menggelorakan massa dunia secara serentak atas penghinaannya terhadap Islam.
      Agama tidak sekecil negara yang bisa diukur maupun dijumlahkan. Agama mencakup kehidupan dunia serta akhirat. Alhasil, The Satanic Verses tidak tepat dilindungi dengan alasan kebebasan berbicara yang ditopang stamina imajinasi.
      Kerajaan lnggris yang sekarang dipatuk oleh pers akibat ulah putra-putri dan menantu Ratu Elizabeth, terlihat mulai berantakan. Hingga, tanpa malu, Sri Ratu menyebut 1992 sebagai Annus Horribilis atau the Horrible Year (tahun yang mengerikan). Goncangan terhadap kafilah ningrat itu menjabarkan bahwa, saatnya tiba untuk mencampakkan petuah king can do no wrong (raja tidak bisa salah), in the British Empire the sun never sets (di Kerajaan Inggris mentari tak pernah terbenam) serta Britain rules the waves (Inggris mengatur gelombang laut). Soalnya, kalimat-kalimat bombastis tersebut, cuma menyingkap kekerdilan Kerajaan Inggris yang tercecer dalam masalah moral.
      Rushdie dan Diana, di pengujung abad ke 20, bakal menjadi monumen bagi pers Inggris. Sebab, keduanya tertera sebagai simbol kebebasan sekaligus figur kontroversial di monarki Inggris. Rushdie menelantarkan wibawa kebebasan Inggris akibat terhambatnya peredaran Spycatcher, Inside Intelligence, The Last Temptation serta True Fait. Sedangkan Diana menumbangkan kharisma The Royal Family akibat ulah bebasnya yang menentang aturan protokoler istana. Alhasil, memorak-porandakan eksistensi dinasti Windsor. Akhirnya, asas liberal pers Inggris pun kena getah keborokan demi nama baik sebuah keluarga kerajaan yang telah berusia 1.000 tahun.

Penulis adalah Pemimpin Redaksi Majalah LEKTURA Universitas Hasanuddin

PANJI MASYARAKAT NO. 751 TAHUN XXXV, 7-16 SYAWAL 1413 H, 1-10 APRIL 1993

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Amazing People