Selasa, 04 Juli 2023

Memilih Kata


Memilih Kata
Oleh Abdul Haris Booegies


     Pada 1990, ketika artikel-artikelku dimuat di majalah serta surat kabar terbitan Jakarta dan Surabaya, saya sering ditanya sahabat.  "Kapan punya waktu agar saya dapat ke rumahmu untuk belajar menulis".
     Saya senantiasa tersenyum bila mendengar pertanyaan begini.  Tidak mau menjawab secara lisan.  Soalnya, menulis tidak bisa ditularkan dalam satu jam atau satu hari.
     Terakhir saya melihat pertanyaan serupa di Messenger pada 2020.  Seorang alumnus Pesantren IMMIM ingin menemuiku untuk belajar menulis.  Entah siapa.  Saya pun setuju kapan saja boleh datang.
     Saat orang terpesona membaca makalah nan indah, ia pasti bertekad hendak menjadi penulis.  Padahal, ada yang alpa dipahaminya.  Penulis-penulis tangguh tidak belajar satu jam, satu hari atau satu tahun kepada empu jurnalistik atau dewa pers.  Para penulis ulung belajar merangkai kata selama bertahun-tahun.  Mengeluarkan dana, energi serta waktu.
     Ketika mahasiswa, saya lebih suka ke kios koran ketimbang ke kantin.  Saya lebih memilih ke toko buku daripada membeli aksesori untuk bergaya.  Saya menghabiskan puluhan juta untuk membeli buku, majalah dan surat kabar.
     Pengorbanan dalam menulis seolah disepelekan oleh kawan-kawan.  Mereka berniat belajar menulis dalam waktu sesingkat-singkatnya tanpa jerih-payah.  Tidak berhasrat melewati lorong berliku sebagai jalan menuju kebesaran.
     Saya membatin, barangkali mereka mengira menulis itu seperti mengikat hewan kurban.  Dalam beberapa menit, sanggup mempelajari tip serta trik mengikat domba untuk disembelih.
     Satu hal yang juga dilupa ialah bakat.  Banyak orang pintar nekat menulis.  Biasanya golongan model ini muncul setelah berusia 40 tahun kala punya karier mentereng.  Tatkala kariernya rontok sebagai batu loncatan untuk menulis, pudar pula seleranya menulis.  Sebab, ia memang tidak berbakat!  Sekedar aji mumpung!
     Ciri artikel orang pandai yang tidak berbakat yakni monoton.  Tulisan hanya fokus pada satu genre.  Mereka juga menggunakan bahasa pasaran, bukan ilmiah-populer yang segendang-sepenarian dengan media cetak.  Lebih parah lagi kalau cuma menulis di media sosial dan blog.  Di situ gerombolan "penulis gadungan" bebas mempublikasikan opini apa saja.  Semua makalahnya 100 persen lolos tanpa saringan, tanpa sensor dan tanpa seleksi.  Maklum, mereka pemilik akun.  Berbeda dengan media cetak profesional yang punya redaktur opini sekaligus redaktur bahasa.
     Di sisi berbeda, insan berbakat memiliki ciri bahasa.  Selain itu, tiap goresan intelektualitas yang diproduksi selalu menawarkan gagasan.  Bukan laporan pandangan mata dengan bahasa sekenanya.

Namun Tetapi
     Saya berkali-kali ikut pelatihan jurnalistik maupun seminar pers.  Pemakalah menjejali peserta dengan beragam teori.  Pembahasan metode demi metode digaungkan supaya peserta tangkas menulis.
     Dari pengalaman sehari-hari, ada sejumlah aspek menulis yang sering mengganjal hati.  Sebagai umpama, menempatkan "tetapi" di awal kalimat.  Saya langsung kehilangan respek kalau membaca tulisan akademisi yang menaruh "tetapi" di awal kalimat.  "Tetapi" merupakan kata sambung intrakalimat.  Hingga, mutlak berada di tengah.  Contohnya, "ada uang, tetapi, lupa dibawa".  Bukan "tetapi uang yang ada lupa dibawa".
     Kalau ada yang meletakkan "tetapi" di awal kalimat, berarti ia mengalami kekacauan berpikir.  Penulis-penulis besar turut terusik bila menyimaknya.
     Ada penulis mengakali problem ini dengan mencantumkan "akan tetapi".  Ini dibolehkan sebagai penghubung antarkalimat.  Ada pula yang membubuhkan "namun".  "Namun" memang kata sambung antarkalimat.  Penempatannya mesti di awal kalimat.
     Dari pengalaman menulis, saya tidak membedakan "tetapi" dengan "namun".  Ini sinonim.  Bagi saya, "tetapi" serta "namun", sama-sama penghubung intrakalimat.  Saya malahan lebih ekstrem.  Musababnya, "tetapi" dan "namun" harus diapit koma.  Sebagai misal, "bukan ini, tetapi, itu" atau "bukan dia, namun, kamu".

Orang Tua
     Dalam KBBI Daring, tidak ada entri "orangtua".  Kamus cuma menampilkan "orang tua", terpisah antara "orang" dengan "tua".  Kata ini punya dua arti.  Pertama, ayah-ibu kandung.  Kedua, orang berumur, baik ahli atau tetua.
     Dalam meracik naskah, saya menerapkan "orangtua" untuk ayah-ibu.  Sedangkan "orang tua" untuk individu yang berusia lama.  Alhasil, asosiasi pembaca langsung mafhum tanpa harus mengerti konteks kalimat.
     Alasan saya sederhana.  Jika ada "orang tua", niscaya ada "orang muda".  Sementara "orangtua" tidak punya antonim "orangmuda".  Ini senada dengan ayah-ibu yang tak tergantikan.

Bulan Tahun
     Dalam beberapa artikel, acap ditemukan kata "tahun" dirangkai "bilangan".  Contohnya, "pada tahun 1966".  Dalam penulisan, sebaiknya menghapus kata "tahun".  Arkian, menjadi "pada 1966".  Ini agar tidak rancu.  Pasalnya, "1966" sudah menunjukkan tahun tanpa perlu ada penegasan "tahun" di depannya.  Tidak masalah ada "tahun" kalau penanggalan yang dimaksud kurang familier.  Umpamanya, "Fir'aun lahir pada tahun 23 Masehi" atau "Fir'aun lahir pada tahun 707".  Tambahan Masehi untuk memperjelas penanggalan.  Huruf pertama Masehi mesti kapital.
     Penulisan bulan yang menerangkan untaian hari, juga terkadang mubazir.  Sebagai contoh; "ia lahir pada bulan Januari".  Elok ditulis saja; "ia lahir pada Januari".  Sebab, Januari sudah mengindikasikan bulan dalam almanak.  Seluruh nama bulan harus diawali huruf besar.
     Karya penulis pemula atau wartawan magang biasa membingungkan.  Soalnya, tidak jeli membedakan "bulan" dengan "Bulan".  Kalau "bulan" yang diawali huruf kecil pasti merujuk ke bulan kalender.  Sedangkan "Bulan" dengan huruf besar mengisyaratkan benda langit.  Huruf pertama Bulan, Bumi, Matahari serta nama planet mesti kapital.  Hatta, bila tertera kata "Bulan", asosiasi langsung mengarah ke satelit alam yang mengitari Bumi.  Sementara "bulan" mengekspresikan rangkaian waktu berdurasi 28, 29, 30 atau 31 hari.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Amazing People