Senin, 17 Juli 2023

Libur di Pesantren IMMIM


Libur di Pesantren IMMIM
Oleh Abdul Haris Booegies


     Libur sekolah merupakan momen paling menyenangkan.  Pasalnya, ada banyak waktu untuk beristirahat dan bercengkerama.  Vakansi acap diisi dengan bertamasya.  Ke pantai, ke gunung atau sekedar berjalan-jalan keliling kota.
     Di Pesantren IMMIM, libur merupakan berkah besar.  Sepekan sebelum libur, perlahan suasana mulai gaduh.  Dada bergemuruh karena bakal berjumpa dengan orangtua, saudara, keluarga atau kekasih.
     Malam sebelum pembagian surat izin, tas maupun ransel telah siap diangkut naik kendaraan.  Kerinduan untuk segera pulang ke rumah membuat sulit tidur.  Terbayang rumah, terbayang ayah serta ibu yang berlari menyambut dengan pelukan hangat.  Kakak atau adik turut berlari dengan pekik gembira.  Tetangga-tetangga pun ikut riang.  Sebuah panorama syahdu yang membuat hati berbunga-bunga.
     Sampai tengah malam, sebagian santri masih susah memejamkan mata.  Sebagian memeluk tasnya karena sudah tak tahan hendak pulang.

Bertahan di Kampus
     Usai sarapan, surat izin libur pun dibagikan.  Santri bergembira karena hari yang dinanti akhirnya tiba.  Roman muka tampak ceria penuh antusias.  Langkah kaki begitu ritmis ibarat menapak rindu demi rindu.
     30 menit selepas pembagian surat izin, kampus mulai lengang.  500 santri berlomba naik mikrolet (petepete).  Selama 30 menit, sopir-sopir mikrolet ketiban rezeki.  Musababnya, penumpang membeludak.
     Ketika masih kelas I dan II, saya menunggu mikrolet dari arah Daya di Kavaleri.  Ini agar cepat naik mobil.  Jarak rumahku dengan pesantren sekitar 15 km, dua kali naik mikrolet.
     Pukul 09.00, kampus makin sepi.  Santri yang tersisa terkadang berjumlah 50.  Beberapa di antaranya belum berkemas.  Bahkan, belum mandi.  Sebab, memilih pulang pada sore atau malam.  Mereka akan menumpang bus malam ke kampung masing-masing.
     Santri-santri yang tinggal, acap berkeliling kamar.  Berjalan dari pintu ke pintu mengisi waktu.  Jika bersua dengan santri di sebuah bilik, tanya pun berkumandang. "Mengapa belum pulang" atau "kapan pulang".
     Saat shalat Zhuhur, masjid nyaris kosong.  Tradisi santri di pesantren kalau libur ialah semua pause, termasuk istirahat ke masjid.  Sebuah tingkah-polah yang tidak logis untuk ukuran santri.
     Bakda Zhuhur, suasana pesantren kian sunyi.  Kalau ada santri tampak dari jauh, ada tanya di hati.  "Siapa gerangan itu yang belum pulang?"
     Bakda Ashar, santri makin susut jumlahnya.  Mereka seolah menghilang secara perlahan akibat dikejar kerinduan untuk mendekap kampung halaman.  Kini, yang tersisa sekitar 20 santri.  Sulit menghitung secara tepat karena kami berlainan tempat di antara 10 asrama.

Teri Menjelma Telur
     Bila libur sepekan atau 15 hari, biasanya koki banyak yang tinggal.  Di hari-hari biasa, koki tidak pernah keluar dari dapur.  Saat libur, mereka acap duduk-duduk di koridor kantor pimpinan kampus (pimkam) atau pos piket.
     Pukul 16.00, sejumlah koki menuju ke lapangan main voli bersama santri.  Tiap tim tentu campuran, gabungan santri dengan koki.
     Saya lebih memilih bergosip dengan koki di selasar dapur jika petang mulai merayap.  Pernah pula bermain hujan dengan dua koki cantik di suatu senja.  Persis adegan di film-film romantis.  Asyiknya tiada terkira.
     Setelah makan malam, mulai diketahui siapa saja yang tinggal di kampus.  Biasanya sekitar 10-15 santri yang bertahan.  Kami pun saling membuat rencana untuk bersama-sama menginap di kamar tertentu.  Ini semacam tindakan kepedulian terkecil.  Sebab, ada santri yang takut tidur sendiri.
     Rayon favorit yakni Imam Bonjol.  Ini memang asrama santri bandel.  Tempat berhimpun para jawara.  Di sini kerap menginap lima atau lebih santri.
     Saya senantiasa memilih tinggal sendiri di bilik.  Malas mengungsi ke kamar lain.  Selain itu, menghindari asap rokok.  Sohib yang berkumpul di satu ruangan, pasti merokok seraya main domino.  Repotnya, saya tak merokok serta tidak mahir domino.  Walau sendiri, tetapi, tak kesepian.  Pasalnya, punya banyak majalah sekaligus kaset lagu Barat.
     Tatkala kelas V, santri yang tinggal saat libur diperintahkan pulang.  Tidak boleh tinggal di kampus.  Maklum, tak disiapkan makan.
     Kami sesama santri yang tinggal pun melakukan protes senyap.  Bagaimana mungkin kami tidak diberi makan.  Sementara SPP bulan ini dibayar penuh.
     Pimpinan kemudian melunak.  Segelintir santri yang tinggal wajib memiliki kupon makan.  Kupon ini diambil di pimkam.  Diserahkan ke koki untuk ditukar ransum.
     Kami yang tinggal tidak puas.  Sebab, cuma diberi lauk berupa ikan kering serta teri.  Senpai Indra Jaya kemudian menghubungi bagian keuangan.  Jatah ikan kering pun berubah telur.  Ini baru lezat.

Mendadak Berbinar
     Libur di pesantren membuat kami lesu.  Sebab, tak ada aktivitas belajar.  Selain itu, sepi sekali.  Di hari biasa, kami berinteraksi dengan 500 santri.  Di masa libur, kami cuma bertemu 10 atau 15 santri yang berwajah lesu.
     Kesunyian di pesantren membuat kami mencari pertualangan baru.  Kami mengekspresikan agresivitas.  Menciptakan ketegangan serta sensasi.  Sebagai contoh, melempari ayam tetangga yang masuk ke pesantren.  Kami juga terjun ke sumur untuk menyelam.  Terkadang, kami menatap pohon mangga di depan aula.  Berkhayal ada buahnya supaya kami dapat melemparnya.
     Masa libur habis.  Rekan-rekan pun mulai berdatangan.  Di masa tersebut, ada transisi dalam jiwa.  Soalnya, sepi mendadak berbinar, bergemuruh-riuh.  15 santri berubah jumlahnya dalam hitungan jam menjadi 500.  Rekan-rekan bermunculan bagai gelombang cinta yang kembali ke akar.
     Saya biasanya pulang ke rumah kala sahabat-sahabat tiba di pesantren.  Inilah momentum bagiku untuk pulang berlibur ke rumah.  Tinggal di kampus selama vakansi merupakan bentuk tanggung jawab demi keamanan Pesantren IMMIM.  Saya puas pernah mengukir sejarah dengan menjaga pondok selama libur.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Amazing People