Jumat, 02 April 2021

Telanjang Akibat Korupsi

 


Telanjang Akibat Korupsi
Oleh Abdul Haris Booegies


     Hari-hari sebagai siswa kelas I SMA di Pesantren IMMIM Tamalanrea, begitu indah.  Di pesantren memang tak ada santriwati alias pelajar putri.  Kami juga dikelilingi tembok.  Penghalang itu tidak berarti santri betul-betul terkurung.  Selalu ada secuil kesempatan emas di tengah rutinitas yang membosankan.
     Ustaz Saifullah memanggil saya pada Selasa, 10 April 1984.  Ia menyuruh menunggu bis penumpang.  Ustaz Saifullah ingin mengirim surat ke Sidrap.
     Di era 80, mengirim surat ke daerah lewat mobil terkesan cepat serta hemat.  Ada pula telegram, namun, harus ke kantor pos.
     Saat menanti bus di taman depan pesantren, saya berkenalan dengan seorang gadis.  Namanya unik, terbayang terus dalam ingatan.  Ia heran menatap busanaku.  Lambang OSIS di saku baju saya tempel terbalik, terbaca SISO.  Saya juga memakai jins.  Di jins bagian samping kiri pada seutas temalinya saya taruh gembok sebesar biji salak.  Saya mengenakan sepatu Fila yang dicat kuning.  Talinya pita merah.  Siapa tak terkesiap melihat penampilanku.
     Asyik-masyuk bergurau genit dengan cewek manis, membuat saya berlalai-lalai menunggu bis.  Pasalnya, segenap perasaan tumpah-ruah.  Hasrat ganjil timbul terhadap sang dara.
     Ustaz Saifullah dari beranda kantor pimpinan kampus sesekali melirik.  Ia mungkin heran karena saya terlalu lama.  Sementara surat yang bakal dikirim penting.
     Pada Selasa, 1 Mei 1984, qismul aman (seksi keamanan) menghadapkan saya ke ustaz Saifullah.  Soalnya, Ahad kemarin bolos pergi nonton Thunder dengan bintang Bo Svenson dan Mark Gregory di Mitra.
     Ustaz Saifullah begitu murka menyaksikan ulahku.  Bolos terus tiada tobat.  Jenggotnya bergoyang-goyang karena menyemburkan amarah.  Ia kian geram gara-gara saya senantiasa mengenakan jins ke kelas.  Saya memang punya enam jins biru, satu putih serta satu coklat.  Tiap hari memakai jins kecuali tidur dan mandi.
     Di ruang pimpinan kampus, Ustaz Saifullah mendesak saya membuka jins.  Saya kaget, tetapi, menurut walau malu.  Celana dalam merah jambu saya pun terlihat.  Untung saya pakai celana dalam.  Nyaris.
     Saya ketahuan bolos lantaran salah perhitungan.  Saya kira qismul aman kendor memata-mataiku karena semua berkonsentrasi menghadapi semester akhir.  Apalagi, kelas VI telah tamat.  Tidak ada lagi Angkatan 84 di pondok.
     Saya termenung, barangkali saya dipermalukan dengan cara ditelanjangi oleh ustaz Saifullah akibat mengkhianati amanah Rahman H.  Pada Rabu, 18 April 1984, kelas VI kelar ujian.  Euforia berlangsung dengan corat-coret seragam SMA.
     Rahman H yang merupakan pembina di Rayon Imam Bonjol kamar I, lantas memanggilku.  Ia memberi uang agar nanti mengadakan acara makan-makan.  Duit pun saya kantongi.  Uang tersebut kemudian saya gunakan ke bioskop bersama segelintir mitra bermental mafioso.  Ini terjadi lantaran saya rentan dalam wujud santri jika masalah film.  Akibatnya, amanah Rahman H tak saya tunaikan.  Apalagi, ia sudah meninggalkan kampus menuju kampung.
     Pada Kamis, 1 April 2021, saya berusaha mengingat-ingat teman sekamar.  Mereka mestinya berpesta dalam kegembiraan dengan sajian santapan lezat.  Jamuan suka-ria gagal karena terjadi pengalihan dana.  Ini tergolong peristiwa dramatis dalam sejarah asrama Imam Bonjol.
     Saya memohon maaf setulusnya kepada Rahman H serta rekan sekamar.  Duit itu tidak dibelanjakan untuk menghibur perut, namun, menghibur mata di bioskop.  Seingat saya, penghuni di kamar I Imam Bonjol antara lain Zulkifli, Sukwan, H Chalid Lageranna, Hesdy Wahyuddin, Agus Ambo dan Ahmad Natser.  Kasihan, mereka tak menikmati rezeki dari Rahman H.  Sebab, saya memiliki agenda khusus.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Amazing People