Klimaks Enam Tahun
(Hitung Mundur Masa di Pesantren IMMIM)
Oleh Abdul Haris Booegies
Rabu, 23 April 1986
Langkahku mantap meninggalkan rumah menuju Pesantren IMMIM. Selama Evaluasi Belajar Tahap Akhir Nasional (Ebtanas), saya hampir saban malam menginap di rumah yang berjarak sekitar 15 km.
Hari ini Angkatan 86 tiba di ujung akhir Ujian Pesantren. Pelajaran penutup yaitu Insya'.
Saya termenung. Tak menyangka jika segera menyelesaikan tugas belajar di pesantren. Mendadak saya tidak ingin berpisah dengan pesantren. Nostalgia berkecamuk. Bertumpuk membayang di pelupuk mata. Romantisisme masa silam merayu naluri.
Saya susah berkonsentrasi ketika ujian. Kaki tak sabar lagi melonjak girang. Sesudah fokus, akhirnya lembar jawaban pun terkumpul. Senyum merona merekah mekar. Ujian selesai. Saya berhasil menuntaskan Ujian SMA, Ujian Aliyah serta Ujian Pesantren. Kini saya alumnus. Saya mesti bergerak dinamis untuk melangkah. I am the master of my future.
Angkatan 86 sontak bergemuruh dalam kegembiraan. Kami saling berpeluk. Seluruh model tawa terpampang. Enam tahun bukan waktu sedikit.
Dulu saya terpojok di sudut terkelam karena nakal. Saya antagonis paling diintai qismul aman (seksi keamanan). Dulu gundah-gulana akibat tergoda bioskop. Semua harus ditapak, memijakkan kaki menghalau aral dan onak. Saya bersakit-sakit, sekarang bersenang-senang.
Angkatan 86 kemudian saling membentuk kumpulan guna berbagi kisah. Dari kantin, saya bersama Fuad Mahfud Azuz hendak bergabung dengan rekan di sekitar Majelis Guru.
Tatkala lewat di belakang masjid, Fuad meminta spidol hitam yang saya kantongi di saku celana. Saya sengaja simpan di kantong celana supaya teman tidak mudah merampasnya untuk melakukan vandalisme. Saat Fuad meraih spidol tersebut, saya sempat berpikir, di mana ia mau corat-coret?
Dengan tawa, Fuad lantas menulis "Haris Bugis" di setrip putih bagian samping mobil pesantren. Setelah menulis namaku, ia tertawa-tawa sembari menyodorkan spidol. Coretan Fuad ini merupakan grafiti pertama di Pesantren IMMIM.
Di siang terik, saya berdua Ahmad Kuri Kilat memasang tenda serta kemah di lapangan. Sore, terdengar ingar-bingar rock 'n roll dari tenda. Raungan rok menggelegar, menimbulkan sensasi kebebasan.
Malam ini pasti sangat panjang. Hikayat-hikayat yang dituturkan tak mengenal jeda. Imajinasi bakal didesain agar terbentuk kenangan. Ini puncak petualangan selama enam tahun. Ini bukti bahwa Angkatan 86 merupakan komponen integral Pesantren IMMIM.
Saya ke rumah untuk menyiapkan konsumsi ala kadarnya. Kami tidak sudi terbujur lunglai. Kami perlu penghalang kantuk. Jadi butuh susu dan kopi.
Usai Isya, api unggun dinyalakan. Dari menit ke menit suasana kian panas. Volume musik rok makin menggelegar. Gitar pun dibetot kencang. Sebagian sahabat main kartu. Ada pula yang berjoget.
Kamis, 24 April 1986
Pukul 01.00, suasana terasa liar. Malam ini, saya menginginkan waktu berhenti berdetak. Hingga, saya bisa terus berkumpul bersama. Rasa bangga terukir di hati. Impuls kagum terpatri di dada. Di Tamalanrea ini dulu saya bocah. Saya bertahan demi meraih cita-cita.
Kini saya remaja. Sekarang saya merayakan kelulusan di tengah mitra seangkatan. Kala embus bayu kian dingin, kami pun makin bergairah. "Tuang lagi susunya, Bos".
Tak terbayang di kepala bila Ahmad Afifi serta Muhammad Zubair Andy, pintar joget. Dua mantan santri ini menjadi primadona ketika api unggun mulai malas berkobar. "Goyangnya boleh juga. Tarik terus sampai pagi".
Pukul 02.00, musik rok terhenti seolah dihardik desir angin. Kami bergegas mengundang ustaz Abdul Kadir Kasyim. Kami menunggunya dengan hati berdebar. Ustaz Kadir lalu bergabung. Sebelum memberi petuah, terdengar lantunan ayat suci al-Qur'an dan terjemah.
Ustaz Kadir kemudian menggemakan nasehat terakhir sebelum kami berpencar merintis masa depan. Ia menggelorakan sejumput demi sejumput pesan sebagai bekal untuk berkelana dalam peristiwa mendatang. Ustaz Kadir berwanti-wanti supaya konsolidasi tetap solid kendati kami nanti berjarak dalam menempuh hidup.
Saat ustaz Kadir berwejang, rata-rata teman mengantuk. Saya malahan berbaring di belakang. Di samping kanan ada Andi Muhammad Yusuf, di kiri tergolek the King Ridwan Radja.
Saya bangun ketika terdengar isak tangis. Teman terharu oleh ucapan-ucapan religius ustaz Kadir. Suara tangis kian menderu saat ustaz Kadir segera beranjak pergi.
Di lingkaran belakang, saya dengan Yusuf saling sikat-sikut, memukul serta mendorong. Kami belum terbawa arus narasi saleh nan syahdu. Yusuf lantas membangunkan Ridwan dengan menyosor moncong senter ke matanya.
Ketika ustaz Kadir berdoa, saya mendadak terharu. Tetes-tetes air mata berlinang. Isak tangis di tenda makin membahana bak konser monster. Ustaz Kadir pun terisak. Kami kembali berangkulan, menumpahkan air mata sebanyak-banyaknya. Sebuah elegi sendu pada klimaks perjalanan enam tahun di Pesantren IMMIM.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar