Rabu, 21 April 2021

Jihad ala Santri



Jihad ala Santri
Oleh Abdul Haris Booegies


     Bocah-bocah optimis berbondong-bondong masuk ke pesantren.  Menjadi santri adalah pilihan.  Di pondok yang ditapak tersebut terpatri selaksa harapan.  Semangat serta tekad saling terpacu.
     Santri merupakan sejenis batu tulis tertutup.  Tidak sembarang orang bisa menorehkan teks.  Pasalnya, interaksi santri terbatas.  Keluar kampus tanpa izin merupakan pelanggaran berat, dosa besar.
     Santri tertutup dari dunia luar.  Akses informasi, minim.  Arus berita sangat terbatas.  Pelajar di luar gampang menadah kabar.  Sementara santri tertatih-tatih menerawang peristiwa yang terjadi.
     Informasi yang kurang memadai di kalangan santri pernah menjadi ladang subur penipuan di Pesantren IMMIM.  Hari-hari pasca Tragedi Tanjung Priok, umat Islam diliputi luka mendalam.  Orde Baru membantai kaum Muslim pada Rabu, 12 September 1984.  Bisik-bisik yang berhembus menegaskan jika korban jiwa mencapai 2.000.
     Alkisah, sesosok santri bernama Mittuana dari Angkatan 85.  Dengan diksi memikat, ia memulai aksi terkait Tragedi Tanjung Priok.
     Di suatu hari nan sejuk, narasi besar dikumandangkan Mittuana.  "Di luar terjadi huru-hara, keadaan kacau-balau.  Umat Islam dibunuh".  Santri perlahan terhipnotis untuk melakukan serangan balik.  Dari hari ke hari, santri terpukau mendengar rencana Mittuana.  Mereka tersihir akrobatik kata-kata.
     Informasi demi informasi dijejalkan Mittuana ke santri.  Tiada lelah ia mengobarkan semangat juang ke pengikutnya.  Rezim Soeharto wajib dilawan!
     Mittuana tak bergerak sendiri.  Ia bukan pelakon yang andal ber-solo run.  Ia cuma kaki-tangan Didin, ustaz gadungan yang ditahbiskan sebagai sang guru dari pertapaan Cenderawasih.
     Santri mulai panas.  Tergoda untuk berjihad demi menuntaskan dendam.  Didin bergerak senyap seraya mencengkeramkan cakar.  Ia menyuruh Mittuana untuk mengutip dana revolusi ke santri.  Sebab, tak ada perjuangan tanpa pengorbanan.
     Dana yang terkumpul bakal dibelikan amunisi.  Beberapa santri lantas dipilih dengan tugas khusus.  Mereka diiming-imingi pula untuk mengoperasikan persenjataan yang kelak dibeli.  Bahkan, dijanjikan pangkat kemiliteran.  Hati siapa tidak kepincut.
     Santri berlomba-lomba mengumpulkan dana revolusi.  Seluruh uang tumpah-ruah ke pundi-pundi Mittuana.  Seorang santri malahan merelakan tanpa syarat emasnya sampai ludes tidak tersisa.
     Tak semua santri, bodoh.  Mau dikibuli Mittuana.  Saya menentangnya.  Saya mencari kesempatan untuk berdiskusi empat mata dengan Mittuana.  Hasrat itu tidak pernah terwujud.  Saya kemudian tantang figur kedua setelah Mittuana.  Ia menghindar.  "Ini memang sulit dijelaskan", akunya pada Senin, 26 November 1984.
     Bukan hanya saya penentang Mittuana.  Ikbal Bakry dan Syarifuddin Abdullah yang merupakan resi 85 juga gigih melakukan perlawanan.  Kami saling mendukung guna mengikis pengaruh Mittuana.
     Saya sempat sakit hati tatkala sahabat membisik.  "Tadi malam mereka rapat.  Kau halal dibunuh karena antek Amerika".  Kasar betul bacotnya hendak membunuh.  Siapa dia!

Puasa Tobat
     Koar-koar Mittuana makin diamini.  Diterima tanpa pertimbangan.  Ia menghasut penganutnya untuk berpuasa tobat selama tiga hari.  Menurutnya, perintah puasa tobat langsung dari tuhan ke Didin.
     Pada Senin, 12 November 1984, dapur nyaris kosong.  Ini gara-gara sebagian besar santri ikut puasa tobat.  Menurut ahlul-gosip, puasa ini berfungsi sebagai thaharah (membersihkan diri) sebelum terjun ke medan laga.
     Haji Fadeli Luran sangat marah ketika ke pesantren pada Kamis, 15 November 1984.  Ia murka akibat santri berpuasa gombal.  Mana ada yang dinamakan puasa tobat.
     Syahdan, Mittuana bersama seorang pentolan gengnya lalu dipecat dari pesantren pada Jumat, 16 November 1984.  Keduanya dituding mengacaukan lingkungan pesantren dengan ulah puasa tobat.
     Sepeninggal Mittuana dari kampus, pengikutnya masih percaya ada perang suci.  Mereka beralasan bahwa pemecatan Mittuana merupakan bagian dari perjuangan.  Santri-santri yang terpapar virus Didin masih solid berkomunikasi.
     Dari luar pondok, Mittuana terus berikhtiar secara intens membisik hasut.  Segelintir pesertanya masih rajin ke Jalan Cenderawasih guna mengais segenggam dusta.  Hatta, beredar berita genting.  Ada gejolak besar pada 12 Desember nanti.
     Pada Senin, 3 Desember 1984, para penentang Mittuana berkumpul.  Semua berasal dari kelas VI.  Saya satu-satunya kelas V.  Kami heran lantaran santri enteng terpengaruh kebohongan Mittuana.  Sebagai misal, "jenderal ini sudah mati batin".  Apa yang dimaksud mati batin?
     Pendukung Mittuana tak kapok dikibuli.  Sekarang mereka berharap pada tanggal yang dijanjikan; 12 Desember.  Untuk menghalau simpang-siur yang mencemaskan, Syarifuddin menulis sebuah kata di pamflet: "Impossible".
     Hari yang dijanjikan akhirnya tiba, Rabu 12 Desember 1984.  Hari ini sehabis semester, saya bolos bersama Ahmad Kuri Kilat.  Di kota ada isu besar bagi moviegoer (pecandu film).  Malam ini Makassar Theatre diresmikan oleh walikota.  Film perdana yang diputar yakni Indiana Jones and the Temple of Doom.
     Bioskop ini sebenarnya selesai direnovasi.  Dulu selalu memutar film Indonesia.  Kini beralih ke film Barat.  Saya dengan Kuri Kilat memilih ke Mitra nonton Vigilante Force dengan bintang Kris Kristofferson, Jan-Michael Vincent serta Victoria Principal.
     Tidak ada peristiwa besar pada 12 Desember kecuali saya kesal nonton Vigilante Force.  Hikayat film produksi 1976 ini, kurang gereget.  Saya bersama Kuri Kilat berjalan gontai dalam kebisuan akibat kecewa tingkat dewa.
     Di pondok, kawanan Mittuana lebih parah deritanya.  Nyaris sinting semua.  Mereka depresi karena janji yang digembar-gemborkan kembali berbuah dusta laknat.
     Gerombolan ini putus asa.  Muskil ada jihad seperti yang dijanjikan.  Santri yang berakal waras mulai mengendus kalau ini sesungguhnya modus penipuan.  Apa daya drama vulgar ini telat dihentikan.  Duit yang digelontorkan telah berpindah ke genggaman Didin, ustaz jadi-jadian.  Maksud hati ingin berjuang di jalan kudus, apa daya terperosok di jalan kudis.
     Santri tersentak sadar dari kebohongan kala Kepala Keuangan ustaz Hasnawi Marjuni BA, mengeluh.  Banyak santri belum membayar SPP.  Bahkan, ada yang menunggak tiga bulan.  Astaga...


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Amazing People