Rabu, 21 April 2021

Hikayat Lonceng dan Azan

Hikayat Lonceng dan Azan
(Penamatan Angkatan 86)
Oleh Abdul Haris Booegies


     Saya terkenang masa pertengahan 1980.  Ketika pertama kali menjejakkan kaki di Pesanren IMMIM.  Saya datang dengan kekaguman.  Semua terasa indah.  Tekad berteguh di hati untuk tamat di sini.  Di sebuah institusi pendidikan yang unik.  Paduan pendidikan umum serta khusus.
     Ada pendapat bahwa alumni pesantren paling banter jadi imam masjid, ustaz atau kyai.  Pelik membayangkan alumni  menjadi ilmuwan, apalagi berkiprah di militer atau kepolisian.
     Pendiri Pesantren IMMIM Haji Fadeli Luran pernah membesarkan hati kami pada 1980.  "Kelak anakda akan bertebar di mana-mana sebagai dokter, polisi, hakim atau pegawai".
     Saat itu, saya kira ini sekedar ilusi atau halusinasi Fadeli Luran.  Sebab, ia mahir memainkan suasana hati agar semangat tetap berkobar menyala.  Argumennya bernas, bukan kelas rumput liar.  Apalagi, riwayat Fadeli Luran memang bertabur sukses.  Arkian, enteng mengucap formula optimistis.
     Kondisi di pesantren seolah tidak mendukung tesis Fadeli Luran.  Pesannya mungkin sekedar angin surga semata.  Apalagi kami bocah serba terbatas.  Terkurung tembok, pagar berjeruji, piket bermata waspada dan qismul aman (seksi keamanan) yang fasih menggertak.

Indoktrinasi
     Selama 24 jam di pesantren, kami dimobilisasi oleh lonceng (al-jaras).  Pukul 04.00, lonceng berdenting sebagai awal hari untuk beraktivitas.  Pukul 07.30, lonceng terdengar penanda masuk ke kelas.  Pukul 12.30, pekik lonceng menandakan pelajaran sekolah usai.  Pukul 14.00, lonceng untuk tidur siang.  Pukul 15.00, bangun sesudah mengistiratkan otot serta otak.
     Lonceng menjadi sirkulasi rutinitas santri.  Selain lonceng, tentu azan menjadi pijakan dalam menata segala kegiatan.  Tak boleh ada aktivitas selepas azan.  Seluruh santri wajib ke masjid.
     Lonceng dan azan silih berganti mengindoktrinasi.  Santri laksana robot yang digerakkan oleh dua remote control tersebut.  Proses penggemblengan tanpa kritik ini teramat efektif mengendalikan pikiran serta naluri.
     Lonceng dan azan yang tidak aus oleh zaman menyimpan energi besar.  Ia berputar selama enam tahun di tiap angkatan.  Tatkala santri menjelma alumni, roda dua penanda ini tetap berpusing.  Tak ada interval.  Keduanya terus bergulir untuk mengorganisasi segenap aspek kegiatan.
     Lonceng serta azan inilah yang membuat ilusi Fadeli Luran berubah realitas.  Sabdanya pada 1980 berbuah nyata.  Banyak santrinya bergelar profesor maupun jenderal.  Maklum, banyak jalan menuju Roma.  Banyak pula lorong untuk dijelajah.

Ahad, 22 Juni 1986
     Lonceng dan azan terus bergemuruh.  Bunyi lonceng tidak pernah terlambat, begitu juga azan.  Terkadang kerja belum kelar, tiba-tiba sebuah penanda berbunyi.
     Setelah enam tahun ditempa stimulus lonceng serta azan, saya pun tamat.  Saya bahagia, namun, tetap merindukan pesantren.  Rindu mendengar lonceng, kangen menyimak azan yang dilantunkan teman.  Bahkan, rindu oksigen pesantren.  Pada Rabu, 14 Mei 1986, kala bangun, saya merindukan udara sejuk pagi hari di pesantren.  Sudah tiga pekan pesantren menjadi almamater bagiku.
     Pada Sabtu malam, 21 Juni 1986, saya mengatur kursi di aula.  Besok Angkatan 86 merayakan penamatan sekaligus penerimaan santri baru.  Malam ini, suasana terasa gersang.  Hati seolah kikuk, namun, tak ada yang error.  Penamatan ini merupakan formalitas demi mengukuhkan alumni.
     Saya terduduk di tepi ranjang.  Ini terakhir saya menginap sebelum atribut santri terlucut.  Pesantren bukan lagi domain saya.  Elemen kokoh yang saya peroleh dari pesantren ialah terus bergerak secara santun, di medan apa pun.  Di mana bumi dipijak, di situ langit dijunjung.  When in Rome, do as the Romans do.
     Bergerak merupakan kristalisasi dari lonceng dan azan.  Bergerak berarti maju terus pantang mundur di tengah perubahan.  "Orang biasanya takut pada perubahan karena takut tidak tahu", ujar Yuval Noah Harari.
     Ahad, 22 Juni 1986, menjadi hari bersejarah.  Angkatan 86 resmi sebagai alumni.  Berdenting secuil gundah di kalbu di tengah kegembiraan.  Konsentrasi buyar selama acara tersuguh.  Saya mondar-mandir.  Langkah-langkah yang diayun merupakan kenangan yang berlimpah.  Hari ini peristiwa yang ditorehkan mengendap oleh sang waktu.
     Dulu, saya datang dengan kekaguman.  Enam tahun berselang, Angkatan 86 berpisah sebagai sebuah komunitas.  Saya pun pulang dengan kebanggaan sebagai alumnus Pesantren IMMIM.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Amazing People