Peturasan Angker
Oleh Abdul Haris Booegies
Tiap asrama di Pesantren IMMIM dilengkapi satu kamar mandi dan dua toilet. Tandas yang cuma dua jelas tidak memadai. Sebab, sebuah asrama terbagi dalam dua bilik. Tiap kamar menampung 30 santri. Alhasil, satu kakus digilir 30 orang.
Menjelang akhir 1981 saat saya kelas II, mulai digunakan 20 water closet (WC). Jamban ini terletak di belakang. Bangunannya berfungsi pula sebagai tembok pembatas dengan danau Universitas Hasanuddin.
20 WC ini dilengkapi sebuah sumur. Santri enteng mengambil air di perigi kemudian menaiki lima anak tangga. Air di sumur gampang diciduk karena berlimpah.
Suasana di sekeliling 20 WC teramat sejuk. Di depan terpampang rawa yang ditumbuhi kangkung serta rumput liar. Sejak 20 WC ini berfungsi, seluruh peturasan di asrama dijadikan kamar. Satu-satunya toilet yang dipertahankan ialah tandas Rayon Raja Faisal.
Santri yang hendak buang hajat di 20 WC harus melewati jalan setapak. Ketika tinggal di Wisma Guru pada 1984, perlintasan setapak itu saya pasangi papan nama bertulis Jalan Bugis.
Pada 1981-1982, di Jalan Bugis yang panjangnya sekitar 20 meter, terletak dua bangunan kayu. Dua griya tersebut ditempati oleh ustaz Hamir Hamid Aly dan ustaz Saifullah. Rumah ustaz Saifullah inilah yang kelak menjadi Wisma Guru.
Ustaz Saifullah yang tinggal di Jalan Bugis rupanya menjadi kendala bagi sebagian santri. Mereka takut lewat di depan rumah ustaz Saifullah yang merupakan pimpinan kampus.
Jadi bagaimana cara santri buang air besar (BAB)? Solusinya ke kakus Raja Faisal. Ini pun khusus bagi santri senior yang repot digertak.
Masalah lain muncul, tak semua santri yang mau BAB punya ember. Kalau ingin ke jamban Raja Faisal, mesti membawa ember untuk menyiram. Jika tidak, pembina Raja Faisal pasti mengomel diiringi umpatan.
Bukan santri bila tak cerdik. Mereka menunggu malam untuk BAB. Di kegelapan malam itu, satu per satu santri ke sawah. Di sana mereka mengeluarkan barang yang sejak siang menggedor perut. Di situ mereka mengerang dengan gumam supaya usus melepas feses.
Sawah yang menjadi peturasan massal tersebut terletak di belakang laboratorium serta depan Rayon Raja Khalik. Di hamparan tanah berhias ilalang ini, tidak dikenal istilah jorok maupun jijik. Dari Tamalanrea sampai Tamangapa. Dari Sidrap sampai Sydney. Dari Jeneponto sampai Jenne-jeno di Delta Niger, Afrika Barat, susah menemukan toilet natural serupa ini.
Sehabis buang hajat, mereka pun berjalan bak peragawati ke perigi untuk cebok. Ada dua sumur yang menjadi tujuan santri usai BAB. Perigi kibar (senior) yang legendaris dan sumur dekat kediaman ustaz Syukri Basondeng.
Jaga Jarak
Santri yang hendak BAB di sawah, harus hati-hati. Tingkat kewaspadaan mesti tinggi karena gelap. Perlu memperhatikan betul di mana harus jongkok. Mata mesti dipicingkan agar pandangan lebih jeli. Telinga harus dipertajam supaya teliti mendengar. Jangan sampai teman yang asyik bercangkung ditubruk.
Santri yang minim pengalaman di sawah acap main seruduk. Ia tak tahu kalau di sekitarnya banyak yang buang hajat. Arkian, diingatkan dengan suara lirih "ana maujud huna" (saya di sini jangan mendekat) atau "intaqil hunak" (menyingkir dari situ).
Alkisah di suatu malam nan pekat, ada santri langsung jongkok karena tidak tahan lagi. Barangnya ambrol diiringi kentut berkepanjangan. Ia baru sadar ada orang di sampingnya saat terdengar suara: "mahlan-mahlan sahibun" (pelan-pelan, Sob).
Jadi, bukan hanya di jalan raya ada peringatan: "Jaga jarak Anda". Di sawah khusus ini pun berlaku aturan begitu, jaga jarak agar tak dempet.
Sawah yang dijadikan tandas memang luas, namun, ada tempat praktis yang juga sering digunakan. Lokasinya di bawah bangunan kelas yang bertiang. Jika BAB di sini, dijamin lebih mudah bila bercebok. Soalnya, bersebelahan dengan perigi kibar.
Tempat steril tanpa tinja cuma di bawah bangunan laboratorium yang juga bertiang. Santri pasti berpikir dua kali kalau nekat bertinggung di situ. Maklum, tanahnya lunak, terkadang becek. Selain itu, di depan laboratorium ada jalan setapak yang ramai, terang pula oleh lampu kelas. Ini akses ke sumur dekat rumah ustaz Syukri.
Invasi Siluet
Selama akhir 1981 sampai 1982, kakus massal di sawah lebih populer dibandingkan 20 WC. Kala ustaz Saifullah pindah ke sisi kantor pimpinan kampus, secara bergerombol santri pun mengalir ke 20 WC.
Masalah BAB sepertinya beres. Santri berbondong-bondong ke 20 WC lewat Jalan Bugis. Tak dikira tak disangka, ternyata ada lagi rintangan.
Di suatu malam, seorang santri kebelet mau menabung di 20 WC. Mendadak terlihat siluet. Bayangan tersebut menggantung, tanpa menjejakkan kaki. Santri sial itu terpana dengan mulut menganga. Lututnya sekonyong-konyong nyeri, tidak kuasa menopang berat badan. Ia tak sanggup menggeliat karena dikepruk rasa takut. Jantung serasa copot. Suaranya lantas membahana. Menjerit-jetit minta tolong.
Para santri yang mendengar raung tersebut sontak berdegup dalam kengerian. Seisi pondok dilanda takut yang akut. Siluet itu seolah menyobek-nyobek sukma. Di malam bersaput kabut tersebut, pesantren diinvasi makhluk halus. Akibatnya, 20 WC yang tanpa penerangan itu kembali sepi peminat. Jalan Bugis lengang.
Dari hikayat penduduk setempat, area pesantren dulu merupakan ladang pembantaian. Di belantara rimbun tersebut, Belanda mengeksekusi ekstremis. Jika itu betul, pantas qismul aman (seksi keamanan) doyan membantai santri pelanggar aturan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar