Sabtu, 24 April 2021

Teh Sedap



Teh Sedap
Oleh Abdul Haris Booegies


     Nostalgia selalu indah dikenang.  Peristiwa-peristiwa masa lampau acap menjadi renungan atau sekedar perekat obrolan.  Tidak sedikit kejadian tragis menjelma bahan canda.  Dari tragedi berubah komedi.
     Di Pesantren IMMIM, banyak berseliweran riwayat bertabur gelak tawa.  Ada santri melepas seluruh busana saat mati lampu.  Dalam keadaan bugil, ia memeluk satu per satu teman di kamar.  Ada pula yang mengendap-endap mengintip koki molek sedang mandi.
     Selama enam tahun di pesantren, ada satu peristiwa yang tak aus dari memori.  Beberapa kejadian penting punah dalam kenangan, namun, yang ini tetap abadi.
     Kisah bermula di suatu malam pada pukul 21.00 di tarikh 1981.  Kala itu, saya tergolong pelanggan setia mahkamah lugha (lembaga penghukum bagi santri yang tidak berbahasa Arab).  Malam itu, banyak santri diadili di ruang majelis guru, termasuk saya serta Imran Setiadi.
     Saya bersama Imran memilih diadili terakhir.  Akhirnya giliran tiba.  Kami diadili oleh Buni Muni, santri kelas V.  Orangnya pendiam, tetapi, jenaka.
     "Kenapa kau?", tanya Buni Muni.
     Saya dengan Imran menjawab kalau menggunakan bahasa Indonesia.  Buni Muni kelihatan kurang bersemangat mengadili.  Mungkin letih karena banyak pelanggar bahasa.
     "Jadi kau berbahasa Indonesia".
     "Iya, Kak".
     Buni Muni kemudian mengumpulkan gelas berisi sisa teh yang tadi siang diminum oleh guru dan pembina.  Sisa teh lantas disatukan dalam sebuah gelas.  Terkumpul hampir setengah gelas.
     Buni Muni menatap saya serta Imran.
     "Minum ini", desaknya seraya menyodorkan gelas berisi teh.
     Saya dan Imran bergeming, mengira perintah Buni Muni sekedar canda.
     "Haris! Minum ini!", seru Buni Muni dengan mata terbelalak.
     Tiba-tiba saya merasa ini bukan guyon.  Buni Muni tak bergurau, ini perintah serius.  Saya serta Imran saling memandang, wajah kami menegang.  Rasa takut mulai menjalar, menggerogoti segenap persendian.  Jantung gedebak-gedebuk.  Nafas terasa berat.
     "Imran!  Minum ini!"
     Imran menggeleng.
     "Betul kau berdua tidak mau minum!", bentak Buni Muni sembari menggebrak meja.
     Rasa takut membuat mulut terkatup.  Saya dengan Imran tetap menggeleng.
     "Kalau kau tak ingin meminumnya!  Saya yang minum!", suara Buni Muni meninggi.  Saya dengan Imran tetap bertahan, tidak sudi minum teh sisa.  Apalagi sudah basi.  Baunya apak karena dibikin tadi pagi.
     "Jadi betul kau tak mau minum!"
     Begitu melihat saya dengan Imran menggeleng, Buni Muni mendadak meneguk teh tersebut.  Saya dan Imran melongo.  Setelah menenggak, Buni Muni mengusap mulutnya dengan telapak tangan pertanda puas.
     "Laziz (sedap)" ujarnya sambil memegang jakun.
     Imran tidak mampu menahan tawa.  Saya pun ikut tertawa.  Rasa takut sekonyong-konyong sirna seiring tawa keras yang kami lepas.
     "Ukhruj! (keluar!).  Kau sudah diadili", seru Buni Muni seraya mengibaskan tangan.  Menyuruh kami secepatnya meninggalkan ruang majelis guru.
     Saya serta Imran bergegas pergi sembari terbahak-bahak.  Aneh bin ajaib, bagaimana bisa ada adegan begini?


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Amazing People