Kamis, 15 April 2021

Protes Santri Kota



Protes Santri Kota
Oleh Abdul Haris Booegies


     Penentangan atas sejumlah kebijakan rektor sering saya gelontorkan saat kuliah.  Saya one man show, tanpa dukungan.  Apalagi, protes saya kemukakan di majalah LEKTURA maupun surat kabar terbitan Jakarta dan Surabaya.
     Ketika berkumpul bersama segelintir mahasiswa penulis, seorang wartawan koran daerah berpendapat.  "Haris Bugis berani memprotes karena anak kota".
     Ia benar karena saya lahir di Makassar.  Tinggal dengan orangtua di Makassar.  Lebih 10 sepupu menetap di Makassar.  Seluk-beluk Makassar saya paham.
     Kala belajar di Pesantren IMMIM, saya acap dibujuk sahabat agar sama-sama bolos.  Ada dua kemungkinan mereka membutuhkan saya mendampingi bolos.  Pertama, Makassar secara geografis saya mafhum, termasuk seluruh bioskop.  Kedua, saya enteng dituding sebagai biang bolos jika ketahuan.  Saya dikambinghitamkan dengan bumbu pahit: "Haris Bugis yang ajak saya".  Padahal, mereka yang  menyeret saya berlaku keliru.  Akibatnya, namaku mendominasi buku hitam pesantren.

Selasa, 9 November 1982
     Selepas subuh, santri gempar.  Kami digegerkan oleh "protes sunyi".  Di dinding kelas serta aula tertempel pamflet dan leaflet.  Tulisannya mengeritik menu makanan.  Koki pun dituduh tidak becus cuci piring.  Sebab, terkadang masih melekat sisa-sisa makanan.
     Dua pamflet yang sempat saya perhatikan sebelum dilepas berbunyi: "Piring santri jangan dijadikan piring binatang".  "Dikemanakan uangku yang Rp 20.000, Bos".
     Saat belajar Tajwid, saya keluar menguping informasi.  Pasalnya, Abuna Haji Fadeli Luran telah berada di pesantren sejak pukul 08.00.  Patut diduga, pamflet serta leaflet dipasang di tengah malam.  Piket malam pun diinterogasi.  Mereka antara lain Umar Bauw, Andi Martan Aries dan Daswar Muhammad.
     Secara pribadi, saya tak menilai gerakan protes yang dilakukan secara diam-diam ini sebagai bentuk pelanggaran serius.  Pemrotes bukan pecundang curang.  Mereka bukan kelompok terluka yang menggelorakan tuntutan.  Ini sekedar suara gundah-gulana yang gaduh meronta-ronta di hati.
     Pernyataan penentangan ini jelas mewakili mayoritas santri kendati tanpa dukungan sistematis yang efektif.  Pemrotes bukan mencari sensasi supaya tampil beda untuk diriuhkan gosip berisik.  Saya sempat menulis di diari bahwa mereka "pahlawan pendobrak makanan".
     Pada hakikatnya, makanan di pesantren sudah seturut prosedur.  Hidangan yang digilir yakni ikan kering, tembang goreng, teri, tempe, sup, sayur serta sambal.  Mustahil makan cawiwi Sidrap (belibis), kapurung, rawon, coto, gudeg, sayur asem, rendang, sate ayam, mie Aceh, bika Ambon dan gado-gado (salad Nusantara).
     Santri maunya makan enak.  Pokoknya, jang anang makang malang dengang ikang.  Padahal, satu bulan SPP cuma Rp 20 ribu.  Jadi, uang pendidikan plus makan tiga kali sehari hanya Rp 20 ribu.  Kalau tete (tempe serta teri) yang terus disediakan, tentu sudah sesuai pembayaran.  Tidak elok berharap rasa bintang lima dengan harga kaki lima.

Abuna Kalem
     Dari bisik-bisik yang berseliweran, ternyata pelaku protes didominasi kelas III B.  Pentolannya ID (Angkatan 86) dan US (Angkatan 85).  ID serta US adalah anak kota alias santri yang berdomisili di Makassar.
     Keusilan santri kota ini tak membuat Fadeli Luran dan pembina lain, terusik.  Tidak ada yang bertanggung jawab.  Tiada pula yang diminta bertanggung jawab.  Kasus berlalu begitu saja, seperti tak tampak wujud serta ujungnya.
     Fadeli Luran tidak risau atau marah.  Ia menanggap kasus ini dengan dada lapang dan tangan terbuka.  Fadeli Luran memamerkan kharismanya yang laksana puisi yang ditulis pada sekuntum mawar.
     Fadeli Luran kalem, seolah mengetuk pintu rahmat demi kebaikan santri-santrinya.  Soalnya, protes merupakan dinamika pondok yang dihuni beragam karakter santri.
     Usai Maghrib, Fadeli Luran tampil di masjid.  Saya tak tahu pesan apa yang disampaikan.  Maklum, masih mandi di sumur setelah main badminton dengan Muhammad.
     Tatkala asyik mandi, tiba-tiba muncul ustaz Saifullah.  Secara gesit saya ambil langkah seribu, termasuk Surya Darma, Mursil, Musafir serta Arifin Beta.  Kami terpaksa sembunyi lantaran ustaz Syukri Basondeng juga ikut mencatat santri yang belum shalat.  Cukup lama bersembunyi menanti keadaan aman.  Saling berimpit untuk menyelinap di celah sempit.  Saya akhirnya kedinginan gara-gara cuma dililit handuk, tidak bercelana.
     Sehabis Isya, saya dipanggil qismul aman (seksi keamanan).  Saya masygul, mengapa ada lagi namaku.  Betul saya tak shalat Maghrib dan Isya di masjid.  Saya pastikan bukan itu yang membuat namaku diumumkan sebagai pelanggar.  Beginilah nasib bila doyan bereksperimen mengakali aturan.
     Muhammad Akhyar Ahmad mengadiliku.  Sekalipun akrab dengan Akhyar, namun, jika melanggar saya tetap dihukum secara keras.  Namanya juga resiko kenakalan.  Tipikal sebagai santri populer di qismul aman tak lekang tak lapuk, tidak pula membuatku tobat.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Amazing People