Foto koleksi Drs H Muhammad Ardis (D5)
Dekap Semilir 1986/2021
Oleh Abdul Haris Booegies
Rabu malam pada 21 April 2021, Lukman Sanusi mengirim pesan. IAPIM akan mengadakan buka bersama di Kampus Tamalanrea pada Ahad nanti. Ini undangan yang menggoda. Sudah berkali-kali Lukman mengajak untuk kumpul-kumpul, tetapi, saya selalu mangkir.
Pada Ahad, 13 Ramadan 1442, saya ke Pesantren IMMIM. Saya terakhir ke pondok pada 2018. Kala itu, saya cuma sampai di sisi aula. Petang ini petualangan pasti seru menderu-deru. Semua teratur berkat ada rencana, terpola secara apik.
Ketika sampai di jembatan Tallo, saya terkenang sering joging di sini. Saya acap lari pagi sampai di jembatan saat masih di pesantren. Sebulan sebelum Black Panther long march ke Parepare pada Jumat, 17 Januari 1986, hampir saban sore joging seorang diri dengan batas jembatan. Dewasa ini di puber kelima yang sarat gairah. Saya tiap hari berlari sepanjang empat kilometer plus push up 100 kali.
Saya tiba di pesantren tatkala azan Maghrib berkumandang. Dulu, ketika berstatus santri, azan merupakan pijakan seluruh aktivitas. Kini, azan yang terdengar seolah kidung riang. Seperti telaga cita yang riuh ritmis kosmis.
Selepas Maghrib, saya berdiri di lapangan pondok. Berharap selekasnya berjumpa rekan seangkatan. Pasti ada dinamika dialektika kasual. Perlahan, asa terwujud. Saya bertemu Awaluddin Mustafa, Arfandi Dulhadji, Andi Asri Lolo, Andi Arman dan Lukman.
Ini reuni syahdu. Emosi meronta, mengguncang persendirian. Kami enam mantan santri kemudian mengkonkretkan pernik kerinduan. Menggabung aneka serpihan suka-duka selama di pesantren. Terbenam dalam keceriaan di almamater tercinta. Kami menjelma formasi kompak, kokoh dalam persatuan.
Saya serta Arfandi sama-sama terkesiap. Kami langsung berangkulan setelah terpisah selama 35 tahun. Kami lengket tanpa dipelet. Peluk semilir Arfandi membuahkan gemuruh hangat.
Arfandi merupakan sahabat karib sejak kelas satu. Alkisah, di suatu pagi nan sejuk, kami bersua di Bantimurung pada 1981. Di area wisata tersebut, ia menuntun saya ke air terjun. Sekelebat Arfandi lenyap. Ke mana gerangan bocah itu yang tadi di depanku. Saya menengok kanan-kiri mencarinya. Rupanya ia terperosok ke liang cadas yang tertutup genangan air. Kepalanya lantas nongol dengan wajah megap-megap.
Hari ini segala kenangan masa kecil berlalu. Kami pun berjumpa sebagai sebuah komunitas berlabel Angkatan 86. Dulu di lapangan ini, Angkatan 86 saling berlekap pada Kamis, 24 April 1986. Di Ahad, 25 April 2021, saya bersama Arfandi kembali saling mendekap.
35 tahun silam, sesudah berangkulan di tengah keharuan, Angkatan 86 shalat sunat pada pukul 04.00. Di momen khidmat sebelum fajar tersingkap, kami berdoa setulus hati semurni harapan. Menggoda Tuhan dengan puja-puji. Membujuk Tuhan agar kami diberi jalan lempang menggapai cita-cita. Bersimpuh penuh takzim supaya mendekatkan kami dengan masa depan cemerlang. Menjauhkan pula kami dari aral bersimpul virus ganas.
Pertemuan hari ini pada buka bersama alumni merupakan anugerah. Efek signifikannya yakni kesetiakawanan. Dulu sepiring sekamar dalam memupuk tekad kebersamaan. Dulu sebuku sepengetahuan, seustaz seiman dalam merespons mantra futuristis. Sekarang, kami se-Facebook se-WhatsApp. Terhubung secara online selama 24 jam sehari.
Reuni secara fisik enam personel Angkatan 86 membuat kami tertawa lepas. Saling menuding siapa yang di era lawas lugas mengajak melanggar aturan. Kami juga merasa muda kembali kendati gurat wajah kian keriput.
Hati yang bahagia membuat kami tak hendak tercerai. Kami ingin besok pertemuan terulang lagi sebagaimana siang tiada lelah mengganti malam. Di fase akhir, semangat kami terus garang mengalir. Alur tetap fokus. Tidak tersisih atau berkelok sebagai sebuah kesatuan bertajuk Angkatan 86.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar