Petualangan ala Santri
Oleh Abdul Haris Booegies
Saya mengalami kejutan demi kejutan selama bulan pertama di Pesantren IMMIM pada 1980. Saat berjejak pertama kali, saya menganggap santri sebagai insan agamis. Menilai mereka andal berperilaku santun, jujur dan rapi.
Tersembul rasa galau ketika terpampang ada santri repot diatur. Mereka malahan jorok. Ke toilet tanpa membawa air. Akibatnya, bau kakus menusuk hidung.
Saya terkadang takut ke peturasan di sisi asrama. Sebab, menyengat. Lalat beterbangan seolah berpesta-pora.
Umpatan kotor yang dikemas halus pun terdengar. Untuk mendeskripsikan perbuatan negatif atau kejengkelan, mereka mengumpat dengan kata "sariqun" (pencuri). Tidak dipakai istilah qalilul adab (kurang ajar).
Santri baru bisa kaget kalau dicemooh dengan sariqun. Ia bukan pencuri, tetapi, dicerca dengan kata sariqun. Awalnya saya kira istilah ini kreativitas santri tsanawiyah. Ternyata bukan, kata sariqun juga lazim digunakan santri aliyah.
Seluk-beluk pesantren yang jauh dari bayangan saya, tentu menimbulkan rasa dongkol. Beginilah jadinya Kampus Tamalanrea. Orangtua memasukkan ke pesantren anaknya gara-gara nakal. Hingga, anasir buruk tersebut menjadi tantangan bagi para ustaz. Mereka akhirnya dicas dengan energi mulia nan terpuji.
Secara perlahan, warna-warni rutinitas model pesantren makin terpatri dalam diri. Saya beradaptasi agar dapat bergaul bersama. Tanpa disadari, saya justru dituding menimbulkan sejumlah keonaran. Korban berjatuhan sekalipun tidak KO. Soalnya, saya sering mengajak teman bolos. Bolos dari kelas maupun bolos meninggalkan pondok.
Di suatu malam saat kelas I SMA pada Sabtu, 15 Oktober 1983. Saya, Ahmad Natser, Muhammad, Irsyad Dahri, Zulkifli serta Sadoruddin, bersepakat. Selepas Isya, kami lompat pagar menuju kota. Saya bersama Zulkifli menunggang vespa. Mitra lain naik bis tingkat.
Zulkifli tancap gas. meliuk-liuk di Jalan Urip Sumoharjo. Tak jauh dari jembatan penyeberangan dekat Jalan Pongtiku, kami disambar mobil. Kakiku terserempet, terasa nyeri. "Kakiku putus!", saya berseru dengan mimik kecut lantaran tersimpan gundah di hati. Zulkifli hanya menoleh sekejap lantas membalap kembali. Saya pincang ketika tiba di New Artis.
Di bioskop, bertemu Amiruddin (Angkatan 85). Menjelang tengah malam, kami tujuh santri meramaikan midnite show. Film yang ditonton ialah Terminal Island. Film drama-thriller produksi 1973 ini dibintangi Marta Kristen, Ena Hartman, Barbara Leigh dan Tom Selleck. Film ini dilengkapi adegan gadis-gadis yang melepas kutang.
Es Teler
Pukul 02.00 pada Ahad, 16 Oktober 1983, kami keluar bioskop. Zulkifli, Irsyad serta Amiruddin pulang naik vespa. Saya, Natser, Muhammad dan Sadoruddin memilih berjalan karena tidak ada mikrolet (petepete). Jalan sepi, sunyi tanpa deru kendaraan. Seolah di ujung kegelapan ada sesosok prajurit al-maut yang hendak menghadang.
Langkah kaki diayun untuk menempuh jarak sekitar 10 km. Terdengar gemerisik dedaunan di sisi jalan serta gemeletak kerikil yang ditendang. Tatkala asyik berjalan, Muhammad menawarkan usul yang memacu riak getaran di kalbu.
"Bagaimana kalau kita ke Pantai Losari. Minum es teler".
"Ide bagus. Ayo ke sana", sahut Natser sambil menghentikan langkah.
Kami memutar arah menghadap ke barat. Jarak pantai dari tempat kami berjalan lebih dua kilometer. Terbayang panorama pantai dengan bayu sepoi-sepoi. Terbayang es teler dengan aroma wangi. Menikmati es teler di pantai pasti mencairkan hati yang sedang beku.
Di pantai, yang kami temukan cuma suasana lengang. Keramaian telah bubar, tak tersisa sama sekali. Tiada lagi penjual es teler. Ini sudah lewat pukul 03.00. Kami hanya menikmati kesialan di tengah desir ombak. Perut lapar. Rasa kantuk menyerang. Bahan obrolan juga habis sejak di perjalanan.
Sebagai nomad dadakan, kami menanti fajar mengusir gelap malam. Berharap ada penjaja kue. Kala segaris merah tampak di ufuk timur, kami naik becak ke Jalan Tinumbu, rumah misanku.
Belum berapa meter roda becak berputar, sekumpulan cewek-cewek yang joging di pantai, terpana tidak percaya. Mereka kasak-kusuk cekikikan. Tawanya terdengar mirip sorak-sorai yang meremehkan. Bahkan, meneriaki kami seperti maling yang mau dibawa ke pos ronda. Maklum, satu becak empat penumpang. Kami tumpang-tindih saling desak-mendesak. Persis teri di lapak penjual ikan. Kami pura-pura tak mendengar pekik-riuh mereka, kendati malu mencabik-cabik sanubari.
Bebas Lepas
Bolos ke bioskop merupakan petualangan yang dilandasi hasrat untuk menghibur diri. Tidak seperti James Bond yang bergerak dari bentala ke bentala demi menuntaskan misi spionase. Kami pun tak melanglang buana layaknya Indiana Jones yang andal menemukan situs angker tempo doeloe. Kami cuma berjalan, tertawa dan saling berbagi hikayat. Semua lepas dalam suasana bebas.
Di Jalan Tinumbu, kami beli sokko (nasi ketan). Di lantai dua rumah sepupu, kami tidur pulas. Pukul 11.00, dibangunkan untuk makan. Sehabis mandi, kami kembali terlelap. Tidur membuat beban berat di pikiran terhapus. Kami terjaga pada pukul 15.00.
Sebelum Ashar, kami menuju Pasar Sentral. Kemudian pulang ke Kampus Tamalanrea naik bis tingkat. Kami tidak langsung masuk ke pondok. Kaki melangkah ke Pasar Barata. Di sana makan ubi goreng.