Senin, 25 April 2022

Cerdas Seluas Cakrawala


Alumni 83:
Cerdas Seluas Cakrawala

Oleh Abdul Haris Booegies


     Angkatan berapa yang identik top of mind awareness, ihwal pertama yang bergemuruh di benak kalau membincangkan santri-santri pintar?  Selama sewindu usia Pesantren IMMIM, terpampang fakta bila tamatan 1983 merupakan kumpulan santri cerdas.
     Iklim kampus Islami seolah menyatu dengan tekad Armada 83.  "Tak mundur sebelum paham".  Motto ini cocok disematkan pada Divisi 83 atas antusiasme terhadap pelajaran.  Sebab, mereka belajar tanpa jeda bagai gelombang yang tiada henti bergerak.
     Korps 83 merupakan entitas unik di Pesantren IMMIM.  Mereka bertebar di tujuh asrama dalam kampus.  Sekalipun seperti terbuang dari kumpulannya, namun, disatukan oleh frekuensi kecerdasan.  Di antara sesama personel Armada 83, bergemuruh transfer informasi maupun data dari buku ke akal demi merajut cita-cita.
     Divisi 83 sukses besar sampai di babak akhir perjuangan.  Mereka mengukir prestasi emas berkat teguh mengejar supremasi pengetahuan.  Korps 83 tidak mengalami serangkaian kegagalan karena kesadaran untuk menjelma sebagai komunitas terbaik di Pesantren IMMIM.  Mereka menyatu untuk menyingkirkan segenap rintangan sekaligus menikmati tiap proses.
     Tiada gading tak retak.  Sepandai-pandai tupai melompat, jatuh juga.  Pada sepenggal momen di suatu kurun, bertutur seorang awak Armada 83.
     Ia mengaku bersepupu dengan Ira Maya Sopha.  Era 80-an, Ira merupakan selebritas papan atas.  Pengakuan bahwa ia bersepupu dengan Ira, kontan menimbulkan gemuruh-riuh gosip.  Entah benar atau tidak secara fakta, tetapi, sebagian santri Aliyah menganggap itu pathological lying.  Sekedar dusta minus motif akibat pribadi yang tak stabil.
     Pada tahun 80-an, ada sekitar 500 santri Pesantren IMMIM.  Tiap santri pasti berbeda pribadi.  Tidak mustahil ada yang mengidap mitomania (mythomania).  Penderita memiliki kebiasaan berbohong tanpa terkendali gara-gara gangguan mental.

Dara Molek
     Sore pada Jumat, 18 Maret 1983, saya ke kolam renang Mattoanging.  Saya bertemu Kurnia Makkawaru, Masrur Latanro, Muhammadiyah Yunus, Muhammad Said serta Saiful Alim.
     Saya agak heran karena ada santri kelas VI.  Biasanya, santri jika ke Mattoanging hanya satu maunya.  Apalagi kalau bukan untuk melihat gadis-gadis berbikini.
     Santri yang ke kolam renang biasanya bergerombol di sisi kolam.  Mereka berpengangan erat pada dinding sirkulasi kolam.  Maklum, mereka tak tahu berenang.
     Santri memilih tempat strategis.  Berkumpul dekat tangga stainless steel.  Cewek-cewek pasti lewat tangga bila hendak keluar dari area kolam.  Ini kesempatan untuk memandang keindahan ragawi wanita yang sedang memanjat tangga.  Air yang berlelehan dari tubuh perempuan muda tersebut, menambah syahdu fantasi nakal.  Adegan beginilah yang ditunggu-tunggu santri seronok.
     Sesampai di pondok, fragmen di kolam bakal diceritakan sampai tengah malam.  Bumbu-bumbu dongeng dicantolkan agar hikayat tambah seru bak klimaks film Hollywood.  Frasa semacam "buah dada ranum", "paha mulus" atau "pantat montok" ramai terdengar.  Sahabat yang tidak ke kolam pun nimbrung.  Melongo karena tergiur menyimak ocehan picisan.
     Apa yang membuat lima santri kelas VI ke kolam renang Mattoangin?  Saya cuma mafhum bahwa kelima santri ini dilindungi Tuhan.  Selama dua jam di kolam, kelima santri terusik dengan kehadiran orang mabuk.  Andai tak ada orang teler, niscaya mata mereka leluasa memelototi dara-dara molek.  Padahal, matanya harus dijaga supaya jeli untuk menyambut Ebtanas bulan depan.  Untung ada orang mabuk!
     Hari ini Sabtu, 23 April 1983, kami kelas III ujian olahraga.  Kami sempat terganggu lantaran kelas VI dilanda euforia.  Mereka saling melempar air comberan seusai menuntaskan Ebtanas.
     Ini hari terakhir bagi kelas VI sebagai santri.  Suara tawa membahana.  Pekik gembira menggema.  Enam tahun mereka menghadapi lika-liku  kehidupan pesantren.  Kini, semua derita terlepas.  Aturan yang membatasi kebebasan berganti kebahagiaan.
     Di antara kelas VI, terlihat Ahmad Fathanah yang akrab disapa Ollong.  Saat akan pulang, Jamiluddin Jamil yang dipanggil Bombom ingin menyiramnya dengan air got.  Ollong memohon untuk tidak disiram limbah kotor.  "Jangan...Jangan...", ujarnya sambil tersenyum dengan mata memelas kepada Bombom.  Ollong kemudian menaiki mobilnya yang diparkir di depan kelas I Tsanawiyah.
     Di siang nan cerah ini, sejarah besar terpahat di prasasti agung Pesantren IMMIM.  Hari ini Sabtu, 10 Rajab 1403, resmi muncul alumni ketiga edisi 1977-1983.

Transfer Informasi
     Divisi 83 meninggalkan gairah gelora dalam belajar.  Meninggalkan desain sebagai himpunan calon cendekiawan muda di imperium masa depan.  Selama enam tahun mereka ditempa secara maksimal di pedepokan Tamalanrea.  Korps 83 tergila-gila mewujudkan ambisi optimal, bukan kegilaan demi popularitas.
     Armada 83 menjunjung tinggi integritas kreatif guna memahami pelajaran.  Alhasil, menghasilkan reaksi dinamis dengan menorehkan angkatannya sebagai sebuah kesatuan dengan iktikad mulia.
     Kita berharap bahwa kecerdasan Divisi 83 bakal menular ke santri-santri selanjutnya.  Arkian, ketaatan mereka menuntut ilmu menjadi menara pengetahuan yang menjulang menyentuh cakrawala.  Distribusi ilmu demi kejayaan almamater merupakan kewajiban seluruh alumni.  Hingga, semua ceria bergandeng dalam ikhtiar menuju masa depan gemilang.
     Berikut susunan lulusan Pesantren IMMIM edisi 1977-1983.
Alumni putra:
Abdul Kadir Karim
Abdul Rahman Syatir
Abdul Rahman Umar
Ahmad Fathanah
Ahmad Thariq
Ali Kasim
Baharuddin Mambue
Hamzah
Hasanuddin Ishak
Jamiluddin Jamil
Kurnia Makkawaru
Masrur Latanro
Muhammadiyah Yunus
Muhammad Said
Muhammad Yusrah
Nasir Ameth
Saiful Alim Abidin
Taufan Badollahi
Zaenal Gani
Alumni putri:
A Kusuma Wardani
Hasnah AM
Mardianah
Nur Hijrah
Nur Hudayah
Rabiah Aliyah
Rosneli
Rusiah

Narasumber
Muhammad Ardis (7985)
Muhammad Yusrah
Nur Hudayah

Seluruh nama disusun secara alfabetis


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Amazing People