Terorisme Tak Pernah Mati
(Kasus Pemboman di Kedutaan Australia)
Oleh Abdul Haris Booegies
Ledakan bom kembali mengguncang dunia di Kedutaan Australia di Jakarta. Indonesia menangis lagi dalam duka lara yang meremas-remas emosi. “Sampai sekarang, kepanikan tampak di lokasi. Kemungkinan besar, ledakan itu berasal dari ledakan bom yang berkekuatan raksasa” (Pedoman Rakyat, 10 September 2004).
Bom berdaya ledak tinggi (high explosive) tersebut, terjadi pada pukul 11.25 WITA pada Kamis 9 September 2004. Korban tewas tercatat enam orang. Sedangkan 161 lainnya luka-luka dalam peristiwa maut itu. Mayoritas korban tewas akibat luka bakar atau terkena serpihan bom.
Dunia langsung mengutuk peledakan bom yang dianggap tidak menghargai nyawa manusia tersebut. Semua orang yang punya hati nurani bertekad secepatnya menyingkap pelaku aksi yang merenggut banyak korban jiwa itu.
Tatkala bom meledak, maka, puluhan tanya berseliweran di benak. Mengapa mesti Jakarta menjadi sasaran? Apa latar belakang pemboman tersebut? Berapa nyawa harus meradang sebagai tumbal dari cita-cita kaum teroris?
Kala Amerika Serikat (AS) dirajam oleh teroris sampai babak belur di World Trade Center, tiba-tiba Presiden George Walker Bush menyemburkan amarah pada 20 September 2002. ”Americans are asking, why do they hate us? They hate our freedom, our freedom of religion, our freedom of speech, our freedom to vote and assembly and disagree with each other!”
Bush yang berpidato di depan Kongres lantas mengultimatum penduduk planet bumi “Every nation in every region now has a decision to make, either you are with us, or you are with the terrorist”.
Teroris di Mana-mana
Xenophone (430-349 SM), pakar sejarah Yunani antik pernah mengulas bibit teror yang masih berbentuk ancaman. Ia menjelaskan faedah sekaligus efektivitas perang urat syaraf untuk menanamkan rasa takut di pihak musuh.
Sekitar 300 tahun sebelum Masehi, Kekaisaran Roma meluluhlantakkan Kota Kartago. Serdadu Roma membunuh tiap penduduk Kartago. Teror yang teramat mengenaskan itu dilakukan demi menggiangkan rasa takut. Siapa saja yang memusuhi Roma, akan dibalas dengan kematian.
Pada 1793-1794, orang-orang Gallia membentuk departemen teror guna menyiksa penentang Revolusi Perancis 1789. Lembaran sejarah mencatat kalau ribuan manusia terkapar menemui ajal.
Jejak-jejak peradaban Barat serta tapak-tapak generasi lalu melahirkan organisasi yang melecehkan harkat kemanusiaan. Di Puerto Rico bergemuruh Commandos Armados de Liberacion (CAL). Kolumbia memiliki Fuerzas Armadas Revolucionaris de Colombia (FARC). Kemudian Sendero Luminoso di Peru. Di Kanada muncul Front de Liberacion du Quebec (FLQ). Di Venezuela malahan lahir teroris legendaris yang berjuluk Carlos the Jackal. Carlos yang bernama asli Illich Ramirez Sanchez pernah difilmkan dengan bintang Bruce Willis dan Richard Gere.
Di Jerman yang dihuni kelompok Neo-Nazi anti-Yahudi, juga ada gerombolan teroris yang dinamakan Baader-Meinhof. Sementara di Italia berdiri Brigade Rosse. Lantas ada lagi Rotee Armee Fraktion. Di Irlandia Utara, kelompok IRA tiada lelah mengganggu secara brutal Kerajaan Inggris. Di Spanyol eksistensi ETA tercatat sebagai suatu gerakan teroris.
Di Timur Tengah ditemukan Irgun Zvai Leami, Lahome Herut Israel serta as-Saiga. Sedangkan kelompok teroris di Jepang yakni Sekigun. Benua Hitam Afrika, tidak kalah pula. Di Angola mekar sebuah gerakan bersenjata yang dinamakan Unita.
Terorisme berpijak pada penyakit rasisme, nasionalisme dan fasisme. Dengan pola tersebut, mereka lalu menebar virus berbentuk praktek dehumanisasi. Eric Fromm dalam The Anatomy of Human Destructieveness menegaskan bahwa, makin dipinggirkan serta dirugikan, maka, kian kental resistensi dan energi kesumat mereka. Akumulasi keterhimpitan itu memicu penghancuran berasas dendam (vengeful destructieveness). Puncak kekerasan (the apex of violence) tersebut ialah merekahnya luapan permusuhan (sense of hatred).
Horor Tiada Henti
Peter Kloeppel dalam Krieg Gegen den Terror: Die Folgen des 11 September 2001, mendeskripsikan bila terorisme itu tanpa kawasan, tiada berwajah sekaligus minus moral.
Teori Kloeppel sulit dibantah. Pasalnya, terorisme tidak punya wilayah, wajah serta moral.
Terorisme bisa meruyak di AS yang militernya berjiwa Django, jagoan tanpa tanding. Terorisme sukar dilacak lantaran dilakukan oleh siapa saja. Mereka tak mengenal pria-wanita, tua-muda atau kaya-miskin.
Semua berpeluang menjadi teroris. Modus operandinya pun berbeda. Mereka kadang menggunakan pesawat terbang, mobil truk, motor maupun dokar yang ditarik sapi.
Teroris juga digolongkan oleh Kloeppel sebagai manusia amoral. Individu yang tak memiliki belas kasihan dalam bertindak.
Menyimak volume dehumanisasi yang terus-menerus menampar nilai-nilai kemanusiaan, maka, timbul kecurigaan. Boleh jadi maraknya teroris gara-gara Bush terlalu keras dan tergopoh-gopoh menerapkan pre-emptive self-defence (serang dulu demi mempertahankan diri). Jimat sakti pre-emptive terkesan sangat brutal lantaran menghamburkan peluru secara berdesing-desing ke arah mana saja.
Analis keamanan dari Singapura, Rohan Gunaratna menggarisbawahi jika penjajahan AS atas Irak, telah mengobarkan semangat terorisme global. Ancaman teroris meningkat sampai seratus kali lipat akibat terjadi kebencian yang menyala-nyala.
Richard A Clarke dalam kitab Against All Enemies, memaparkan kalau serangan ke Irak justru memperkuat gerakan massa fundamentalis Islam di seantero jagat. War against terrorism (perang melawan terorisme) yang disemburkan Bush, terbukti mengalami kebangkrutan visi. Soalnya, mengorbankan hak asasi manusia atas nama keamanan serta kepentingan AS. Bush berkehendak membinasakan teroris secara total tanpa menghiraukan moralitas dan humanitas. Akibatnya, bukan teror yang sirna di dunia, tetapi, puncak kemarahan menggelegak di tengah dunia yang berkapasitas nuklir. Hingga, horor tak berkesudahan sambung-menyambung serta bersahut-sahutan, terus bergemuruh!
Kini, dunia butuh ikatan buat saling memahami. Di jalan orang berteriak no war no racism, love not fear atau money for jobs, not wars.
Pekik tersebut menjadi simbol adanya perbedaan. Maklum, manusia dilahirkan telah terpola untuk saling berlainan. Perbedaan itu mutlak dicari jalan keluarnya agar tidak menimbulkan kepelikan yang runyam.
Kekerasan yang ditempuh guna meniadakan perbedaan satu sama lain, justru memicu perlawanan. Alhasil, terorisme bukannya lenyap, namun, unjuk taring menebar ancaman demi menakut-nakuti rasa kemanusiaan.
Pedoman Rakyat, Selasa, 14 September 2004
Tidak ada komentar:
Posting Komentar