Fahrenheit 9/11
Oleh Abdul Haris Booegies
Selama beberapa hari George Walker Bush, gelisah. Tidurnva tak lagi lelap. Dunia di luar tapal batas Amerika Serikat (AS) mengecamnya. George Soros malahan menyumbangkan Rp 12 miliar ke golongan independen yang anti-Bush. Hal tersebut dilakukan agar Bush kalah dalam pemilihan presiden (pilpres) pada November 2004 mendatang.
Kegalauan Bush bertambah lantaran Michael Moore, pria tambun bercambang bauk dari Michigan itu, mencelanya dalam Fahrenheit 9/11. Film yang dirilis pada 23 Juni 2004 tersebut,
dibuat supaya Bush jadi pecundang dalam pilpres.
Fahrenheit 9/11 meraih anugerah tertinggi Palm d’Or di Festival Film Cannes pada Mei 2004. Selain mendeskripsikan koneksi bisnis serta finansial keluarga Kerajaan Arab Saudi dengan Bush, Fahrenheit 9/11 juga meneropong tragedi gedung kembar WTC. Sampai hari ini, Bush masih selalu gagap bila menyinggung peristiwa WTC.
Ihwal tersebut terjadi karena Bush mafhum grand design penghancuran WTC. Hanya saja, Bush tak mampu bersuara lantaran berasal dari jenis pemimpin yang bingung bertindak di saat genting.
Menurut mantan Menteri Ekonomi Paul O’Neill, political mindset Bush lebih mengedepankan asumsi dan dugaan. Akibatnya, terjadi broken process dalam pemerintahan Bush. Apalagi, Bush lebih suka duduk terdiam kalau berlangsung diskusi yang membahas perkara penting. Bush ibarat orang buta di ruang yang penuh orang tuli.
Presiden Perang
Michael Moore dalam kitab Stupid White Men melukiskan Bush sebagai thief in chief (kepala garong). Penistaan Moore kian gila gara-gara menggunjingkan Bush tidak bisa membaca laiknya orang dewasa (functional illiteracy).
Bush dituduh kepergok mencuri (a thief) serta pernah mengemudi dalam keadaan mabuk (a drunk). Ia pun teramat tergantung pada kesuksesan sang ayah (a cry baby). Kemudian Commander of Crusade itu, desersi pula dari dinas militer (an unconvicted deserter). Bush yang menganggap diri “presiden perang” (I am a war president), mangkir dari wajib militer di Alabama pada periode Mei 1972 sampai Mei 1973.
Buku Moore yang meraih penghargaan Book of the Year British Award 2003, juga mempersoalkan jika Bush memenangkan kursi kepresidenan berkat memanipulasi proses pemungutan suara. Ia dibantu teknologi komputer dan sejuta aksi tipu guna mengelabui rakyat AS. Hingga, menutup kemenangan Gore. Moore menilai bila kemenangan Bush identik dengan kudeta khas Paman Sam (a very American coup).
Tuduhan Moore diperkuat oleh kenyataan bahwa kemenangan Bush sangat ditentukan dukungan dana maupun jarigan politik fundamentalis Kristes (right wing networks).
Douglas Kellner dalam kitab Grand Theft 2000: Media Spectacle and a Stolen Election menggarisbawahi perangai Bush. Ia menuding Bush merampok suara rakyat AS ketika pemilihan presiden. Kellner melecehkan Bush yang berasal dari Partai Republik lantaran senang bersolek dengan doublespeak.
Konsep doublespeak diperkenalkan oleh sastrawan George Orwell. Bahasa dengan makna kabur tersebut, tertoreh dalam novel 1984.
Doublespeak adalah eufemisme bahasa semu yang tidak komunikatif. Struktur bahasa itu cuma berputar pada permainan semantik demi menyelimuti realitas yang terjadi. Sebagai contoh, di era Orde Baru yang represif sekaligus otoriter, terdapat ungkapan “ditangkap”. Kata tersebut lantas diperhalus “diamankan”. Korupsi dimanusiawikan dengan istilah “komersialisasi jabatan”. Penjara diperkenalkan sebagai “lembaga pemasyarakatan”. Wacana konyol seperti itu dicibir Kellner sebagai republican post-modern sophistry.
9/11 2001
Fahrenheit 9/11 meraup pendapatan Rp 202 miliar selama tiga hari pemutarannya. Hasil yang sangat fantastis untuk ukuran film dokumenter. Alhasil, makin melambungkan nama Michael Moore. Sebaliknya, posisi Bush makin terpuruk-tenggelam.
Sebagai pemimpin, Bush tak sanggup melindungi rakyatnya. Kala WTC remuk-redam, ia justru tak bereaksi sebagai presiden. Di sekolah dasar Saratosa, Florida, Bush hanya bengong bin bingung saat diberitahu WTC diserang. Selama lima menit, ia duduk-duduk di depan murid-murid sambil membolak-balik buku My Pet Goat (Kambing Kesayanganku). Memasuki tahun keempat aksi teror 11 September, perilaku Bush tetap diam, hening serta senyap. Padahal, rahasia tragedy 9/11 (nine-eleven) berada di pelupuk matanya.
Serangan atas WTC, pada hakikatnya bermula dari gerombolan Hawkish (elang pemangsa dari ras Yahudi). Kelompok fanatik dan intoleran yang doyan memakai kekuatan militer itu, menghendaki pembentukan Proyek Abad Baru Amerika (Project for New American Century). Tokoh Hawks yang pro-Israel antara lain Richard (Dick) Cheney, Donald H Rumsfeld, Paul D Wolfowotz, Richard Perle serta Douglas J Feith.
Jemaah oportunis tersebut, mengusulkan agar kebijakan politik luar negeri AS yang lamban di Timur Tengah digenjot. Pemantiknya ialah huru-hara tragis serupa Pearl Harbor pada 1941.
Ketika Bush melaju ke Gedung Putih, maka, Hawkish pun menjadi girang. Sebab, ia diyakini sosok koboi idiot yang tak mau peduli dengan urusan detail. Bush enteng disetir sesuai konsep sayap kanan (right wing) yang mendahulukan gugus kerjasama efisien dan jaringan Washington yang efektif.
Philip Golub dari Universitas Paris menggambarkan watak politik Bush yang riskan. Menurutnya, Bush merupakan kendaraan Neo-Konservatif buat mewujudkan Project for New Arnerican Century.
Pola Neo-Konservatif didasarkan pada unilateralisme, mobilisasi permanen serta pre-emptive war (gempur dulu). Tragedi 9/11 dengan nama Sandi Millenium Plot, dirancang sarat ketelitian dan kesabaran oleh intelijen Yahudi.
Keterlibatan Mossad, agen rahasia Israel, sangat transparan. Mereka bergerilya agar di hari naas itu orang Yahudi tidak ke WTC. Upaya tersebut sukses. Arkian, tak satu pun Yahudi yang mati di Selasa kelabu itu. Di hari pembantaian tersebut, justru sekitar 700 umat Islam wafat di antara tiga ribu korban tewas.
Dehumanisasi di WTC, kini makin menyiksa Bush. Apalagi, Michael Moore datang memperkeruh suasana dengan mengeritik seluruh kebijakan Bush.
Fahrenheit 9/11, laksana titik balik segala tindakan Bush. Ia menuduh Irak, Iran serta Korea Utara sebagai poros kejahatan (axis of evil). Sementara Bush sendiri bersemayam di the evil empire (kerajaan iblis) yang merusak mekanisme internasional. Ia mengekspor demokrasi ke Irak, namun, skandal penjara Abu Ghraib membuktikan lain.
Begitulah hikayat Bush, petualangannya cuma seputar anarki dan teror. Ia bagai orang buta di tengah kerumunan orang tuli.
Tribun Timur, Senin, 5 Juli 2004
Tidak ada komentar:
Posting Komentar