Kamis, 30 Oktober 2025

Bayang-Bayang Masa Silam


50 Tahun Pesantren IMMIM
Bayang-Bayang Masa Silam
Oleh Abdul Haris Booegies


     Selama belajar di Pesantren IMMIM, ada beberapa momen-momen indah, berkesan atau merajam rasa.  Selama empat tahun sejak kelas III, saya mencatat peristiwa-peristiwa bersejarah atau mungkin memalukan.  Kini, kejadian sepele tersebut menjelma sebagai bayang-bayang masa lampau.  Bayang-bayang yang menorehkan jika santri hidup di antara yang sakral dan yang terlarang
     Di era 80-an, Pesantren IMMIM boleh jadi angker di mata remaja nonsantri.  Soalnya, mereka membayangkan santri cuma mengaji atau mengkaji kitab gundul.  Mereka lupa bahwa Pesantren IMMIM punya embel-embel sebagai "pesantren modern".  Hingga, santri memiliki dimamika dalam tradisi ketat pesantren.  Ini memicu segelintir santri leluasa membaca majalah semacam Vista, Ria Film, Team, Varianada atau Variasi.
     Pada hakikatnya, santri IMMIM andal membaca kitab kuning sekaligus koran kuning semisal Intijaya atau Sentana.  Dua surat kabar ini banyak mengulas perkosaan.  Lembaran-lembarannya menegaskan bahwa dosa punya seribu wajah.
     Bila ada senandung "madu di tangan kanan, racun di tangan kiri", maka, santri IMMIM layak berdendang: "Kitab kuning di tangan kanan, koran kuning di tangan kiri".  Santri fasih membaca yang suci serta yang cabul.  Tidak ada yang mustahil bagi santri IMMIM.  Pasalnya, bukan santri IMMIM kalau tidak sinting sedikit.
     Dalam hal film, santri IMMIM juga jago.  Ada santri yang kerjanya berkeliaran di midnite show di malam Ahad.  Nonton pertunjukan tengah malam ibarat zikir di madrasah kedua.  Andai ada lomba cerdas cermat tingkat SMP-SMA se-Indonesia Timur tentang film, bisa dipastikan santri IMMIM yang juara I.

Senin, 28 Maret 1983
     Bakda Zhuhur, ustaz Saifullah Mangun Suwito mewartakan bahwa besok ada tamu VIP.  Di kesempatan ini, ustaz Saifullah juga mengimbau agar santri tidak ke taman di depan pesantren.  Ada instruksi dari lingkungan agar santri tidak bergerombol di taman saat siang.  Bunga-bunga harus selamat dari pijakan liar santri.
     Sejak ada penjual pisang di seberang jalan di sudut Kavaleri, banyak santri ke sana sekitar pukul 13.00-15.00.  Pisang di seberang menggoda laksana khuldi, buah pemicu dosa pertama.  Pisang-pisang diedarkan, di makan bersama di taman.  Menyisakan kulit-kulit yang tak sempat dibungkus.

Sabtu, 13 Agustus 1983
     Ke dapur kakiku melangkah.  Mataku sekilas menatap sesosok siluet gadis belia.  Ada bibi (koki) baru.  Saya memperhatikannya, mendadak terguncang.  Dunia seolah terhenti sejenak.  Wajahnya yang cukup manis mengingatkanku dengan seseorang.  Beberapa detik saya kehilangan kendali, tidak bisa menguasai diri.  Merasa seperti lupa cara bernapas.
     Belakangan, kami akrab.  Kami sefrekuensi karena sebaya.  Ia merasa nyaman bergaul denganku.  Maklum, saya menganggap diri sebagai santri tersabar sekaligus calon santri teladan.

Rabu, 17 Agustus 1983
     Pesantren IMMIM terlihat bersih.  Apakah malaikat akan lewat sembari menilai siapa yang paling suci dari debu, siapa yang paling suci dari dosa?  Saya termangu campur bangga menyaksikan kampusku.  Baru kali ini tampak asri.
     Hari ini kami merayakan kemerdekaan Indonesia.  Kesibukan tampak di asrama serta majelis guru.  Untuk pertama kali, peringatan 17 Agustus dirayakan kolosal di Pesantren IMMIM.  Ini pertama kali ada pasukan Bhineka Tunggal Ika.  Sejumlah santri mengenakan pakaian adat persis mannequin di museum.
     Isu yang lebih panas ketimbang sinar Matahari pagi ialah santriwati segera tiba dari Minasa Te'ne.  Begitu pula jurnalis TVRI diundang untuk mengawetkan kenangan.  Sebelum santriwati serta wartawan datang, saya sudah kabur dari kampus.  Saya memilih berkeliling kota dengan motor.  Ini serupa mengejar kemerdekaan yang tidak diajarkan dalam fiqh.  Kenanglah kata-kata ini; kemerdekaan adalah ketika kau bisa melarikan diri dari perayaan kemerdekaanmu.

Ahad, 21 Agustus 1983
     Ada suasana baru di Pesantren IMMIM.  Mulai malam ini, kami tidak bebas lagi di kelas selama pukul 20.00-22.00.  Kebebasan kecil kami dipasung.
     Santri diperkenalkan dengan istilah "belajar terpimpin".  Tiap kelas diawasi oleh kakak kelas.  Bahkan, diabsen layaknya tahanan di penjara beratap jerami.  Ini untuk mengendus siapa yang bolos.
     Gerak-gerikku agak terganggu dengan ritus "belajar terpimpin".  Saya tidak merdeka, namun, tetap tegar di antara rasa patuh serta pasrah.  "Belajar terpimpin" tiada lain pembunuhan kecil terhadap kebebasan.  Sebab, merepotkanku ke kamar untuk berbaring-baring atau kongkow dengan santri badung.

Kamis, 29 September 1983
     Tatkala pelajaran olahraga, kami diajar main basket.  Maklum, lapangan basket sudah jadi.  Kami santri kelas III termasuk yang pertama mencobanya.
     Saya tidak paham permainan basket.  Kami diajar melempar bola, tetapi, yang kutangkap justru sunyi.  Kala bola memantul, saya berdiri bingung saja.  Tidak ada reaksi.
     Olahraga ini bukan bakatku sebagaimana aturan pesantren bukan bakatku untuk mematuhinya.  Saya lebih suka bebas laksana burung yang melayang di cakrawala.  Biarlah santri alim serta santri cerdas yang menaati peraturan atau perintah karena mereka sefrekuensi.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Amazing People