50 Tahun Pesantren IMMIM
Sinema Santri
Oleh Abdul Haris Booegies
#50tahunpesantrenimmim
#immim
#iapim
#pesantrenimmim
Kamis 22 November 1984
Usai bersantap siang, kami kelas V Angkatan 80 berkumpul di masjid ath-Thalabah, Pesantren IMMIM. Ada ceramah khusus dari Haji Fadeli Luran untuk kami sebagai calon kelas VI. Tentu kami bangga karena bakal di level tertinggi kelas.
Wejangan Fadeli Luran mengudara. Mengalir bagai sungai jernih. Ceramahnya tajam, namun, hatiku melayang ke layar perak. Pikiranku pergi lebih jauh, menuju New Artis. Film memanggilku lebih keras daripada seruan sadar. Akibatnya, pukul 15.00, sepasang kakiku diam-diam memilih kabur. Menyelinap di antara terik dengan debu. Tidak ada yang mengejar, tidak juga rasa bersalah yang merintih di hati.
Malamnya menyusup ke New Artis untuk nonton Yor, the Hunter from the Future. Ini film sains fiksi fantasi Italia yang disutradarai oleh Antonio Margheriti. Bintangnya Reb Brown. Film ini merupakan adaptasi dari komik Argentina berjudul "Yor the Hunter".
Di keremangan gedung bioskop, kefanaan film Italia ini menyihirku dari tugas-tugas pesantren.
Sabtu, 29 Desember 1984
Di pagi cerah ini, saya kabur ke rumah. Arloji menunjukkan waktu mendekati jam sembilan saat tiba di rumah, di Jalan Veteran Selatan. Ini jalan yang hafal langkah pelarianku dari pesantren.
Pukul 14.00, balik lagi ke kampus. Saya ke Puskesmas. Memberi kado ke Ari atas kesuksesan pernikahannya. Dulu ia bibi (koki), kini berstatus istri Pak Mantri. Cinta mereka bersemi di dapur. Sekarang cinta syahdunya dieksekusi dengan stetoskop dan surat nikah.
Malam menyeruak, Makassar Theater yang penuh sorak memanggil. Saya kembali kabur dari pesantren. Di bioskop ini nonton Comin' at Ya! yang gila. Kacamata 3D dibagikan seperti wahyu. Efeknya mirip jendela ajaib, dunia melompat keluar layar. Tiap adegan hanya serasa sejauh lensa. Sebagai remaja dengan dosa kecil, saya untuk pertama kali melihat dunia dalam tiga dimensi.
Kacamata 3D menjadi saksi pelarianku. Semua karena dunia nyata terasa hambar. Di kacamata tersebut, tampak peluru meluncur ke wajahku. Ini efek inovatif, mirip ragaku yang meloncat dari satu bioskop ke bioskop lain. Batinku bertanya-tanya, apakah itu metafora dari hidupku. Apakah 3D adalah iman, kenakalan dan bioskop?
Ahad, 24 Maret 1985
Pukul 14.00, kabur dari pesantren. Tujuanku bioskop New Artis atau Mitra. Sesungguhnya tak penting ke mana, yang penting jauh dari tembok pucat pesantren.
Ada yang aneh dengan penampilanku. Sebab, saya sekenanya berpakaian. Biasanya memakai baju putih dengan jins dipadu sandal hitam. Hari ini, baju yang kukenakan lusuh persis lap. Celana juga kusam. Sementara sandal jepit yang kupakai bukan pasangannya. Seperti suami-istri yang tak pernah cocok, tetapi, tetap bersama. Sekali-sekala tak apalah tampil bak gembel biar jiwa bernapas bebas. Sebab, terkadang dunia perlu diguncang sedikit supaya waras. Namanya juga elegi jenaka ala santri IMMIM.
Di New Artis, karyawati bernama H (inisial), heran. Ia seolah tak mengenalku. Saat kami berdekatan, ia memperhatikan sandal jepitku yang berbeda warna laksana cerita tak selaras. Sorot matanya yang bingung lebih menyakitkan daripada nasihat pedas seribu kyai.
H mungkin merasa mimpi memandangku. Terpana menatap sandal jepit tak berjodoh di kakiku. Ia seolah berhadapan dengan alien dari Planet IMMIM atau makhluk halus dari belantara lobi-lobi di belakang pesantren. Cewek ini tak tahu bahwa bukan anak IMMIM kalau tidak sinting sedikit.
Tak ingin mempermalukan diri jadi tontonan rekan-rekan H yang staf New Artis, kualihkan langkah ke Mitra. Di sini nonton Midah Perawan Buronan. Film yang dibintangi oleh Eva Arnas serta George Rudy. Dialog di film ini, terkesan monoton seperti sebagian khutbah Jumat.
Di rentetan adegan yang menampilkan tubuh Eva Arnas yang ranum menawan, saya merasa bebas. Bahkan, bebas dari diriku yang serba salah.
Senin, 1 April 1985
Saya dikeluarkan dari Pesantren IMMIM. Ini gara-gara pelanggaranku tidak bisa lagi ditolerir. Saban hari ada saja yang membuatku berseteru dengan aturan. Bukan cuma dipecat, majalah dinding Superpower juga disita. Dicurigai corong Hollywood. Ustaz khawatir gaya Hollywood bisa menular ke santri-santri lewat tulisanku. Padahal, selaksa asa di sanubariku cuma ingin minta tanda tangan Madonna, syukur-syukur bila dikasih pakaian dalamnya yang wangi. Saya pasrah ketika dikeluarkan dari pesantren. Sudah takdirku.
Astaga, cuma mimpi. Beruntungnya nasibku. Saya berusaha tak memikirkan mimpi sialan tersebut. Tentu saja saya tak memungkiri jika ketakutan lantaran dibidik untuk dipecat. Rasa gentar itu merayap pelan bagai ular dingin. Siapa pula mau diusir! Ini sekolahku. Ini kampusku. Saya tak sudi digusur dari sepetak masa kecilku di Tamalanrea.
Pagi hari, terlihat kelas VI begitu khusyuk. Hari ini mereka Ebtanas. Saya menghitung detak detik, tahun depan giliranku tamat. "Bertahanlah, Haris! Tinggal setahun lagi kau bebas ke bioskop". Cihuy.
Bioskop merupakan tempat pelarian eksistensial. Sementara pesantren sebagai labirin moral yang kadang mirip studio film. Sayangnya, prosa liris ini khatam di sini karena sebagai figuran di sinema IMMIM, saya tak pernah hafal naskahnya. Semua terjadi karena saya cuma anak pesantren yang tersesat di antara doa dengan film.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar