Kronik Santri Bolos
Oleh Abdul Haris Booegies
Sabtu, 12 Februari 1983
Saya di rumah seharian penuh. Bersetia pada kemalasan yang membuatku ogah ke pesantren. Saya bersembunyi dari azan yang tak sempat kujawab. Lebih memilih membaca majalah yang huruf-hurufnya lebih fasih dari khutbah.
Menjelang Magrib, saya menyelinap menembus senja. Kakiku mengarah ke bioskop untuk nonton Star Wars: The Empire Strikes Back. Penonton dapat hadiah berupa Trillets Lozenges serta kalender mini.
Film Star Wars menyala di imajinasiku. Mempertontonkan takdir bertarung dengan takdir. Layar perak seolah memuntahkan galaksi. Saya suka sekali dongeng Hollywood bertabur kebohongan yang mahal ini. Betul-betul memuaskan. Dalam perjalanan pulang ke pesantren, kubiarkan fantasi berkelana.
Sebelum pukul 23.00, tiba di kampus , Muhammad Thanthawi bersama Muhammad Yunus menyambutku dengan wajah tegang. Roman mukanya mirip langit yang baru saja kehilangan bintang.
"Kamu gawat sekali, Haris! Qismul amni (seksi keamanan) mencarimu di mana-mana", ujar Thanthawi.
"Bukan cuma qismul amni, pimpinan kampus (pimkam) juga marah. Pergaulanmu dengan gadis itu terendus. Mantang ikut ditegur keras karena doyan memberimu ransum enak. Pimkam menunjukkan ke Mantang daftar pelanggaranmu yang bejibun. Rawan sekali, kamu!"
Malam ini, saya sulit tidur. Tiga persoalan sekaligus menghimpit dada, mementung pikiran. Daftar pelanggaranku yang terekam rapi, terurai. Ini setebal dosa yang membayang. Saya betul-betul terciduk oleh daftar dosa yang lebih panjang dari pelajaran al-Muthala'ah. Pertama, saya buronan qismul amni. Kedua, masalah asmara. Bagaimana bisa ketahuan? Angin malamkah yang menebar rahasia syahdu ini? Ketiga, bagaimana jika Mantang tidak lagi memanjakanku dengan hidangan lezat?
Mungkin ini hari-hari terakhirku sebagai santri. Barangkali sudah takdirku cuma sampai kelas III di Pesantren IMMIM.
Saya ingin berdoa agar terlepas dari belenggu sial ini. Masalahnya, apakah doaku mustajab? Soalnya, selama ini masjid jarang kukunjungi. Sudah berhari-hari lantai masjid tak kujamah. Apakah Tuhan masih mendengar, suara yang hanya datang saat genting?
Senin, 28 Maret 1983
Saat pelajaran Ekonomi dan Koperasi (Ekop), saya jadi kejutan. Guru tertegun bagai menatap statistik yang gagal dikalkulasi. Ia baru pertama kali melihat orang yang namanya Haris Bugis.
"Selama 12 kali mengajar, kamu baru kali ini datang".
Saya cengengesan seperti bocah yang dijanjikan gula-gula. Saya kemudian dinasihati supaya rajin. Sebenarnya saya juga bingung. Ke mana saya selama ini sampai gaib 11 kali di pelajaran Ekop. Apakah saya hantu Tamalanrea yang tidak andal membuka pintu kelas atau lupa caranya hidup di pesantren.
Sabtu, 24 September 1983
Malam ini, kami kelas IV belajar bahasa Inggris. Ustaz Ahmad Thib Raya memanggilku. Muhammad Bubu turut pula dipanggil. Ada sedikit problem sepele. Pasalnya, saya dengan Bubu baru dua kali masuk pelajaran bahasa Inggris. Padahal, sudah sembilan kali pertemuan.
Ustaz Thib Raya seolah heran. Bisa-bisanya ada santri tidak terdeteksi pelanggarannya dalam hal kehadiran di kelas. Saya heran juga, bisa-bisanya guru ini mau dipusingkan oleh ulahku. Mengapa pula ia repot-repot memusingkan kami. Dikiranya ini perkara suci. Mengapa kelas ini begitu peduli pada kehadiran. Padahal, yang hadir belum tentu hidup, yang absen belum tentu mati.
Sabtu, 14 September 1985
Saya bermuka masam gara-gara dituding tidak rajin masuk kelas. Menurut dugaanku, justru saya tekun sekali. Setidaknya, begitulah perkiraanku. Apalagi, saya menyusun kerajinan dalam bentuk yang mustahil dicatat.
Ustaz Abdul Kadir Massoweang akhirnya menyodorkan fakta. Bukti di tangannya menegaskan bahwa kehadiranku di kelas di bawah 50 persen. Rupanya catatan hadirku tak pernah penuh. Ini sungguh tiada terperikan. Bagaimana bisa? Ini membuatku menggaruk-garuk kepala yang tidak gatal? Saya mencoba mencari logika di pusaran absennya diriku.
Saya menjelajah untuk menemukan diriku di antara absen serta hadir. Barangkali saya memang tak pernah benar-benar ada. Mungkin saya sekedar bayangan yang terlupakan.
Bolos dari kelas maupun kabur dari kampus merupakan keahlian khusus saya selama di Pesantren IMMIM. Saya nyaris leluasa melanggar kapan pun mau. Tidak ada rantai yang tak kupatah. Ini berkat jeli memperhitungkan kesempatan. Fokus, tebak langkah ustaz sebelum ia bergerak. Kenanglah ini, yang jeli bertahan, yang beringas menang. Kiat ini yang membuatku sukses tamat kendati belepotan dengan pelanggaran berat bagai badai, bak bah. Ingat manifesto ini: "Jangan takut melanggar!"
Tidak ada komentar:
Posting Komentar