Sabtu, 18 Oktober 2025

Reuni Para Lansia

 


50 Tahun Pesantren IMMIM
Reuni Para Lansia
Oleh Abdul Haris Booegies


     Tatkala mendengar ada reuni 50 tahun Pesantren IMMIM, saya cemas.  Ini reuni pertama seluruh lansia dari enam angkatan awal.  Ikhwal ini menandaskan bahwa mereka sudah berumur 60-65 tahun.  Inilah yang mencemaskan hati.
     Durasi perjalanan hidup sudah berada di lampu kuning.  Soalnya, di mata ada lensa, di rambut ada perak, di jantung ada cincin, di ginjal ada batu, di lutut ada nyeri, di telinga ada gema, di kantong celana ada kartu BPJS.  Kalau dulu tangguh bersepatu roda, sekarang loyo di atas kursi roda.  Bila dulu tegap berjalan, kini tertatih-tatih dengan tongkat.  Kondisi ini seyogianya menjadi kode bagi panitia reuni untuk menyiapkan ambulance.
     Lansia punya waktu, tetapi, tak punya kesempatan untuk menggunakannya.  Bahkan, mendengar tagihan listrik saja bisa bikin jantung berirama rock.
     Orang-orang dengan tenaga minim inilah yang bakal hadir di reuni 50 tahun Pesantren IMMIM.  Bukan cuma daya yang pupus, kulitnya pun penuh lipatan.  Garis keriput menghias sekujur tubuh.
     Alumni lansia tentu bersemangat datang reuni untuk menapak tilas kenangan.  Ada secuil, atau segenggam, atau separuh hatinya tertancap di almamater.  Ia ingin melihat kamarnya tatkala Duran Duran sedang naik daun.  Ia mau menatap gerbang besi yang dulu dilompati untuk kabur ke bioskop.  Ia masih menyimpan foto koki bahenol yang membuatnya mimpi basah.  Ia mau memandang letak koperasi yang pernah dijarahnya.  Ia tak tahan melihat bekas lapak Dg Raisa, tempatnya berutang atau nekat tak membayar kue.  Ini canda kehidupan dalam kampus IMMIM, canda vulgar yang mengasyikkan dilakoni di masa remaja.  Maklumlah, bukan anak IMMIM kalau tidak sinting sedikit.
     Alumni lansia pasti berusaha maksimal untuk tampil segar di reuni.  Ingin menggemakan berlaksa-laksa hikayat.  Mau melepas rindu yang berton-ton.
     Semua lansia alumni IMMIM menyiapkan diri jauh sebelumnya.  Ada yang saban hari memamerkan foto terbaru di media sosial.  Lengkap dengan destinasi berpanorama eksotis.  Ada yang mengkompilasi foto-fotonya dengan lagu.  Dengan bantuan aplikasi, suara sumbangnya terdengar serak-serak basah bak Vina Panduwinata.  Ada yang melakukan make up via FaceApp.  Foto wajahnya yang renta mendadak tampil belia, persis perawan jelita yang belum disentuh jejaka.  Semua berkat aneka aplikasi gratis yang iklannya menjamur di media sosial.  Ada pula yang menyebar foto masa lampau.  Dengan bantuan AI, foto-foto SMP menjelma hidup.
     Mengapa lansia Pesantren IMMIM memamerkan foto?  Ini bukan tentang kebanggaan memiliki keindahan ragawi, melainkan perlawanan terhadap usia.  Angka-angka yang membentuk umur seseorang ibarat mimpi buruk di tengah malam.  Ini fase liminal antara "saya yang dulu" dengan "saya yang tinggal dalam kenangan orang".
     Alumni 1981-1986 pasti risih disebut lansia.  Padahal, tak ada lagi yang dapat membuatnya tampil laksana remaja.  Reuni sekedar pengusir penat sementara.  Sesudah itu, para lansia kembali ke realitas untuk melakukan perawatan ekstra bagi dirinya agar encok tidak kambuh, supaya batuk di tengah malam tak mengusik tetangga.
     Perawatan khusus menandakan seseorang mulai mendekati zona "selamat tinggal dunia".  Inilah yang mencemaskan hati.  Inilah yang membuat saya dilanda lara tiada terperi.  Dengan usia 60-65 tahun, berarti reuni 50 tahun Pesantren IMMIM bisa menjadi pertemuan terakhir.
     Perpisahan dengan dunia niscaya datang.  Reuni ini semacam transisi menuju ke alam berikut.  Mari memaksimalkan reuni ini supaya menjadi kenangan terindah.  Kenangan yang senantiasa membuat nama kita hidup selamanya di hati sesama alumni Pesantren IMMIM.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Amazing People