Amerika 2000 dan Islam X
(Bagian pertama dari dua tulisan)
Oleh Abdul Haris Booegies
Islam kembali menjadi perhatian masyarakat
Amerika Serikat setelah Spike Lee membuat film bertajuk Malcolm X. Sosok Malcolm X
yang diangkat ke layar putih merupakan figur pejuang yang gigih memasarkan
Islam di negara kapitalis liberal yang mengagungkan rasisme. Kulit putih Amerika saat itu masih memandang
sangat rendah kulit hitam. Hingga,
kehadiran Malcolm menjadi semacam martir demi mendobrak ideologi rasialisme. Apalagi, ia pun membawa panji Islam sebagai
agama yang mengajarkan kasih-sayang serta persamaan hak.
Malcolm dalam kehidupan masyarakat Amerika
menjadi tokoh keagamaan “lapis kedua” yang banyak dikisahkan sesudah pendeta
Martin Luther King Jr. Pesona, kharisma maupun
karakter bejat Malcolm membuat banyak penulis melirik riwayatnya. Alex Haley, penulis kitab Roots yang best seller merangkum
perjalanan Malcolm dalam The Autobiograpy
of Malcolm X. Kemudian Jack Rummel menulis
pula buku Malcom X: Militant Black
Leader.
Film Malcolm
X yang dijejali oleh sutradaranya dengan teriakan rasialis, secara sosial
politik mampu menyerbu pelosok dunia. Sebab,
mencerminkan refleksi sosial psikologis masyarakat hitam Amrik yang senantiasa
menjadi warga kelas dua. Hingga, dalam
waktu singkat, film tersebut melahirkan demam Malcolm X.
Remaja-remaja hitam yang memproklamasikan
diri sebagai Afro-America (keturunanAfrika) itu, terseret dalam pusaran Malcolmania
atau X-mania. Jaket, T-shirt, kaos
oblong, stiker, kaset video, poster, graffiti di tembok-tembok, potongan
rambut, tato maupun model brewokan, semua menunjukkan energi Malcolm.
Sewaktu kampanye pemilihan presiden pada
1992 atau ketika jogging, Bill
Clinton (William Jefferson Clinton) juga memakai topi berinisial X untuk menarik
simpati massa hitam.
Ledakan Islam (Islamic explosion) yang melanda Amerika, sebenarnya lazim terjadi.
Kekuatan spiritual Ayatullah Rohullah
Mossavi Khomeini, misalnya, adalah lonceng maut paling memalukan negara-negara
Barat. Imam Khomeini yang terlihat low profile, ternyata mampu menumbangkan
diktator Iran Mohammed Reza Shah Pahlavi yang punya militer terkuat kelima di
dunia. Misi rahasia Amerika berupa
operasi Blue Light pada 25 April
1980, malahan rontok sebelum membebaskan tawanan (seluruh staf Kedutaan Besar
Amerika) yang disandera mahasiswa militan di Teheran.
Imajinasi kentut Salman Rushdie yang
tertuang dalam The Satanic Verses,
membuat pula Barat, khususnyaAmerika, melirik Islam. Mereka terkejut bahwa sebuah hujatan terhadap sang
Maharasul bisa mengakibatkan musibah berskala internasional yang banyak mencecerkan
darah. Hingga, ada pemeo: “Orang boleh mengejek
tuhan, tetapi, Nabi Muhammad jangan!”
Pekik Islam juga memekakkan telinga
Amerika saat Perang Teluk II antara pasukan Saddam Hussein at-Takriti dengan
koalisi Amerika pimpinan Jenderal Norman H Schwarszkopf. Sebelum bara perang menggelegar, masyarakat Amrik
berduyun-duyun membeli buku ramalan Nostradamus (Michel de Nostradame)
sekaligus menyimak al-Qur’an dan kitab-kitab keislaman. Mereka mencari tahu kebenaran prediksi
futurolog Perancis Nostradamus (1503-1566) serta kekuatan transendental
masyarakat Irak yang mayoritas beragama Islam.
Ketika umat Islam Bosnia-Herzegovina
dibunuh dan kaum annisa diperkosa,
tiba-tiba pada 26 Februari 1993, terjadi peledakan gedung kembar World Trade Center (WTC) New York. Semula
yang menjadi kambing hitam adalah ekstremis Serbia yang bejat. Tuduhan bergeser. Islam akhirnya kembali menyentak Barat sesudah
Moslem Brotherhood Connection
(Ikhwanul Muslimin) dicurigai serta Mohammed Salameh ditangkap. Sebagian benak masyarakat Amerika percaya
bahwa Arab itu Islam dan Islam adalah teroris.
Awal Islam di Amerika
Pada hakikatnya, “ikatan batin” antara
Islam dengan Amerika telah terjalin sejak abad ke 18. Pasalnya, orang-orang Moor (Indo-Spanyol dari
etnik Arab, Sisilia, Turki atau Barbar yang merupakan penduduk asli Afrika Utara)
serta Aljazair yang bekerja pada pihak Perancis, ikut dalam revolusi Kemerdekaan
Amerika. Keturunan Moor dan Arab tersebut
mereka namakan sebagai kaum Estevan serta Mohammaden.
Bantuan Islam kemudian mencapai puncak
pada 4 Juli 1776. Kala itu, dikeluarkan
Deklarasi Kemerdekaan (Declaration of
Independence) sesudah diadakan Kongres Kontinental oleh 13 koloni pertama yang
memisahkan diri dari Britania Raya. Kongres tersebut juga mengangkat George
Washington menjadi Panglima Tertinggi.
Saat Amerika membebaskan diri dari
belenggu penjajahan Inggris, maka, Raja Maroko memberi pengakuan pertama atas
berdirinya negara Amerika pada 1783. Bahkan,
Menteri Luar Negeri Amerika memohon kesediaan Pemerintah Maroko untuk membujuk
Tunisia, Aljazair dan Libya agar membuka hubungan ekonomi serta diplomat dengan
Amrik.
Ahmad Ben Na’man, utusan Sultan Sayyed
Said dari Muscat dan Zanzibar, pada 1840 berkunjung ke Amerika. Sebagai tanda persahabatan, ia mempersembahkan
manik-manik permata, sebilah pedang emas, permadani Persia, selendang sutera
serta dua ekor kuda untuk Martin van Buren, Presiden Amerika ke 8. Lawatan itu lalu menjadi tonggak perhubungan
antara Kedaulatan Maghribi (Afrika Utara) dengan pemerintah Amerika.
Sejak 1875, selain dari Jazirah Arab
(Suriah, Yordania, Syria, Mesir, Lebanon dan negara Islam lainnya di Timur Tengah),
juga warga Muslim Eropa Timur ikut eksodus ke Amerika. Masyarakat Islam Balkan seperti Albania, Yugoslavia,
Bulgaria, Rumania, Hongaria, Polandia maupun Uni Soviet, hijrah ke Amerika
akibat belenggu polilik serta ekonomi.
Pada 1912, di Cedar Rapids, Amerika,
terdapat sekitar 35 orang muda Islam yang dikenal sebagai Syrian Peddlers (penjaja keliling asal Syria). Kelompok tersebut rupanya lebih senang
menamakan diri The Rose of Fraternity
Lodge (Pondok Persaudaraan Bunga Mawar). Orang muda itulah yang menjadi perintis pembangunan
masjid pertama di Amerika yang dibangun pada 1934.
Menjelang Perang Dunia Pertama (1914-1918)
yang dipicu teroris Serbia, di New York terbit media berbahasa Arab yang
dinamakan al-Bayan. Hadir juga al-Huda,
media yang gencar mendorong pembacanya melanglang ke Dunia Baru Amerika yang
menjadi Tanah Impian para imigran. Kini,
kalangan Muslim Amrik ditaksir sekitar lima juta atau dua persen dari jumlah
penduduk Amerika.
Sekalipun terjalin hubungan antara Sultan
Sayyed Said dari Kerajaan Maghribi dengan Presideri Amerika Martin van Buren
yang dianggap sebagai monumen awal persahabatan, juga ada “teori mungkin” kalau
Islam masuk ke Amerika bersamaan kedatangan Admiral Christopher Columbus. Ada dua dugaan tentang komunitas Islam yang turut
dalam pelayaran Columbus.
Pertama,
orang-orang Muslim yang dikurung dalam bunker akibat kokoh mempertahankan agamanya. Kedua,
kelompok Islam yang ahli pelayaran.
Beredar rumor otentik yang bukan gosip
palsu bahwa pendaratan Columbus di Benua Amerika dipandu oleh navigator Muslim
Andalusia yang tenaganya dibayar. Jasa
mereka justru tak disingkap sejarah.
Secara historis, yang terkuak ternyata Amerigo Vespucci (pendukung pelayaran), Rodrigo de Triana (awak pengintai
kapal Pinta), Adrian de Moxica (penindas suku Indian) dan Pinzon bersaudara
(Martin Alonzo Pinzon serta Vicente Yanez Pinzon) yang menjadi kapten kapal
karavel Nina berikut Pinta.
Pax Islamica
Sebelum kedatangan Islam, Semenanjung Iberia
(Spanyol, Portugal serta sebagian tanah Gallia atau Perancis), berada di bawah
kekuasaan etnis Vandal yang ganas mematikan. Suku Vandal kemudian ditaklukkan oleh Imperium
Romawi. Kemaharajaan Romawi rupanya tidak
bertahan lama. Bangsa Goth akhirnya mengambil-alih
pemerintahan. Dalam naungan Kekaisaran
Goth, terjadi kesenjangan di kalangan rakyat jelata Kristen dan Yahudi. Hatta, kehidupan mereka mengharukan nian.
Pada 711 Masehi, pasukan Islam datang
menumpas segala perbedaan harkat manusia di Jazirah Iberia di bawah pimpinan
Tharik bin Zyad al-Barbary. Tentara
Roderik, Raja Gothic Barat, kocar-kacir akibat serbuan pasukanTharik, seorang
panglima Musa bin Nuseir, Gubernur Daulat Bani Umayah di Afrika Utara.
Khalifah Walid bin Abdul Malik dari bani
Umayah yang berkedudukan di Damaskus, lalu membangun Kerajaan Islam di Daratan
Iberia (Eropa bagian barat daya) yang berbentuk untaian kesatuan negara adil
makmur sentosa (baldatan tayyibatun wa
rabbun ghafur).
Tatkala elit politik Islam terpesona keindahan
duniawi, maka, bangsa Goth, Navarro serta Salibia Eropa, mulai mengguncang Dar al-Islam (Pax Islamicus). Perpecahan di kalangan kaum Muslim membuat
celah-celah yang memungkinkan penggempur untuk menghabisi Kerajaan Islam.
Ekspansi terhadap Kekhalifahan Islam
akhirnya berkobar membara. Dalam perang
itu, Cristobal Colon atau Kristoforus Kolombus ikut ambil bagian sebagai
prajurit Ratu Isabella. Pertempuran yang
melelahkan tersebut kemudian memaksa Raja Abu Abdillah (Boabdillah) dari bani
Ahmar menyerahkan kunci Kota Grenada sebagai simbol kekalahan Kerajaan Islam di
Andalusia (Spanyol). Berakhirnya
kekuasaan kaum Muslim itu, gara-gara kuatnya pasukan Spanyol sesudah Ratu
Isabella yang Katolik dari Castilia menikah dengan Raja Ferdinando dari Aragon.
Christendom
(istilah Abad Pertengahan yang merujuk pada pengertian Eropa yang agama intinya
adalah Kristen), lalu berkembang pesat untuk mengembalikan iman Christianity dalam masyarakat Eropa. Sekalipun Christendom
kembali ditegakkan, tetapi, kaum Muslim Turki (Anatolia) mampu pula menaklukkan
Semenanjung Balkan yang berpenduduk Katolik sampai dua kali. Penggulingan kedaulatan kedua pada 1683,
membuat Kota Wina yang merupakan jantung Eropa, masuk ke dalam wilayah kekuasaan
Turki Usmani (Ottoman Empire). Penaklukkan
yang nyaris meruntuhkan wangsa Habsburg tersebut, dalam sejarah dikenal sebagai
The Day Before Yesterday. Kemenangan itu juga diikuti oleh Muslim Tartar
di bawah pimpinan Tartar Khan yang sukses menaklukkan Rusia.
Sesudah Dar al-Islam hancur di Andalusia, Salibia Eropa pun bersumpah bahwa
kaum Muslim tidak diperkenankan bermukim di Spanyol. Arkian, kesepakatan antara Sultan Abu Abdillah
dengan pihak pemenang perang untuk melindungi umat Islam sebagai syarat
penyerahan kunci Kota Grenada, dikhianati Ratu Isabella.
Saat Abu Abdillah meninggalkan puing-puing
kehancuran Kerajaan Islam Andalusia menuju ke Kota Fez (Maroko) sebagai tamu
agung Sultan Mahmud Syeikhul Wathasy, maka, Isabella pun menindas kaum Muslim. Umat Islam dipaksa meninggalkan agamanya. Mereka dibakar hidup-hidup bila berani
membangkang. Spanyol kemudian berubah
menjadi lautan darah sekaligus penuh kabut abu pembakaran jasad kaum Muslim.
Lonceng kematian bergema makin mengerikan sesudah di beberapa kota didirikan Pengadilan
Darah atau Mahkamat Taftisy (Inquisition).
Fakta yang digelapkan menjabarkan bahwa
umat Islam yang diseret dalam kehinaan itulah yang diambil oleh Columbus
sebagai pelengkap anak buah kapal (ABK). Mereka ditempatkan dalam perut Santa Maria yang
memuat 40 ABK. Sedangkan Pinta menampung
21 AKB dan Nina membawa 24 ABK.
Perekrutan tersebut terjadi karena banyak
penduduk Spanyol merasa ngeri untuk mengikuti hasrat Columbus mengarungi
lautan. Alhasil, sang admiral akhirnya
menarik tahanan yang menunggu hukuman sebagai pengikutnya, dengan imbalan
kebebasan!
Pasca pelayaran ke Amerika, Columbus menyewa
navigator ulung Islam demi menjinakkan samudera. Kaum Muslim ketika itu sangat terkenal
kepiawaian baharinya. Apalagi, dalam
prasasti sejarah tertera seorang pelaut sakti Islam bernama Sulaiman al-Mahiri. Ia hidup sekitar abad ke 10 serta pernah
menjejakkan kaki di benua Amerika. Anggota
suku Mahara yang hidup di daerah selatan, Jazirah Arab tersebut, menemukan
Amerika 500 tahun sebelum Columbus. Sulaiman
seorang pelaut Muslim yang hampir mengarungi seluruh samudera di planet ini. Ia sesungguhnya penemu rute yang digunakan
Vasco da Gama, orang Eropa pertama yang ke India pada 1498.
Selain Sulaiman, Islam pun memiliki
penjelajah antarbenua bernama Cheng Ho. Pendekar Tiongkok dengan ilmu silat tingkat
tinggi itu, tertoreh sebagai keturunan ke 37 Nabi Muhammad. Cheng Ho mengarungi lautan sebelum
Bartholomeus Diaz de Novaes, Columbus, Vasco da Gama maupun Ferdinand
Magelhaens, tahu asinnya air laut.
Inkarnasi Allah
Kehancuran Islam di Spanyol, menjadikan
Eropa sebagai kekuatan besar. Apalagi,
keberhasilan Columbus menembus Tanah Impian Amerika merupakan pancangan
superioritas Eropa. Sejak itu pula, umat
Islam hidup dalam penindasan materi serta moral. Harga diri kaum Muslim terus dicabik-cabik. Mereka hidup dalam tragedi paling memilukan
yang tidak terbayangkan pedihnya. Kejayaan
Columbus di lautan, ternyata titik awal kesengsaraan bagi mereka. Kepedihan bertambah akibat banyak umat Islam
Afrika yang diculik secara paksa untuk dijadikan budak di Amerika.
Sekitar pertengahan abad ke 17, jumlah
budak dari Afrika yang dikirim menyeberangi Samudera Atlantik mencapai 10.000
tiap tahun. Angka tersebut meningkat drastis
menjadi 60.000 per tahun menjelang abad ke 18. Sebagian budak yang didatangkan dari pantai
barat Afrika ke Amerika adalah masyarakat Muslim. Keturunan Afrika lalu menyebar ke segenap
pelosok Amerika. Mereka berbiak seraya
diperas tenaganya.
Pada 1913, Noble Drew Ali (Timothy Drew),
seorang kulit hitam yang berprofesi sebagai pengantar barang di Carolina Utara,
mendirikan Moorish Science Temple di
Newark, New Jersey. Warisan Moor serta
identitas Islam mewarnai langkah perjuangan Drew Ali. Pengikutnya kemudian dikenal sebagai “Amerika
Moor”. Energi Moorish Science Temple perlahan pudar sesudah Drew Ali wafat pada
1929. Bahkan, ajarannya lalu pecah
menjadi berbagai sekte.
Pada 1930, Fard Muhammad atau Wallace D
Fard muncul dengan gerakan The Lost Found
Nation of Islam. Tercetusnya The Lost Found Nation of Islam, karena
Fard beranggapan bahwa kulit hitam Amerika beragama Islam secara turun-temurun.
Pergantian zaman dari waktu ke waktu
yang membuat mereka kehilangan kontak dengan sejarah maupun Tuhan. Untuk merebut kembali identitas historik
religius itu, maka, The Lost Found Nation
of Islam pun dibentuk.
Keberadaan Fard Muhammad di sekeliling
pengikutnya, penuh asap kekaburan. Ia mengaku lahir di Mekkah dari pasangan
ayah Arab serta ibu Eropa. Pengetahuan
Islam di kalangan umatnya yang minim dan tipisnya iman Fard Muhammad, membuat
ia membaiat diri sebagai Imam Mahdi.
Bahkan, sangat berani mendakwahkan diri sebagai tuhan yang menjelma
manusia alias inkarnasi Allah. Setelah
berkhotbah di atas asas sesat gerakan The
Lost Found Nation of Islam selama tiga tahun, Fard Muhammad tiba-tiba
menghilang bak ditiup angin malam pada 1934. Ia lenyap secara mencengangkan sebagaimana
kedatangannya yang misterius di awal penjelajahan dakwahnya.
Sepeninggal Fard Muhammad, maka, Elijah
Muhammad pun tampil menggantikan kepemimpinan The Lost Found Nation of Islam. Ia kemudian mengibarkan Nation of Islam yang sarat nafas rasialisme. Hingga, Elijah yang lahir pada 7 Oktober 1897
di Sanderville, Georgia, dengan nama Elijah Poole, dikenal sebagai tokoh Black Moslem (istilah yang diperkenalkan
oleh Dr Eric D Johnson).
Dakwah Elijah yang mempersoalkan warna
kulit lalu tergiang di pemukiman-pemukiman miskin kaum Negro. Getaran dakwahnya malahan mampu menembus
tembok-tembok penjara tempat pelaku kriminal dari golongan kulit hitam terpasung
merana. Elijah yang sangat rasialis,
terus menggerakkan massa Nigger dengan memompakan paham supremasi kulit
hitam. Ia mendengungkan bahwa manusia
pada awalnya berkulit gelap serta menganut iman Islam. Segalanya berubah gara-gara ilmuwan setan menciptakan
manusia putih yang beragama Kristen. Sekalipun
khotbahnya buram, tetapi, Elijah juga memiliki visi yang mengharukan. Ia mendorong anggota Nation of Islam agar mandiri secara ekonomi dan menjaga integritas
etnik kulit hitam.
Sesudah Elijah wafat pada 25 Februari
1974, maka, Nation of Islam
diambil-alih putranya, Warith Deen Muhammad. Ia lalu memperbarui ajaran ayahnya yang miring. Warith mengimbau Afro-America untuk menjadi
warga negara Amrik yang baik serta bertanggung jawab.
Pada Oktober 1976, Nation of Islam diubah menjadi World
Community of Islam in the West. Pada
30 April 1980, diganti lagi dengan nama American
Muslim Mission. Warith malahan membubarkan
The Fruit of Islam yang menjadi
kelompok pengawal. Sedangkan surat kabar
Muhammad Speaks diubah menjadi The Bilalian News yang diambil dari nama
Bilal bin Rabah alias Bilal Muazzinurrasul.
Koran The Bilalian News pada
akhirnya kembali diganti dengan logo American
Muslim Journal.
Sukses American
Muslim Mission kemudian diramaikan oleh Louis Farrakhan sebagai tokoh yang
bertolak belakang dengan Warith. Sosok
Farrakhan yang setia pada ajaran Elijah, tidak menerima kalau Nation of Islam dimatikan.
Konflik keduanya sulit didamaikan. Apalagi, Warith dan Farrakhan berhasil meraih
pengikut. Warith dengan American Muslim Mission (ogranisasi ini
tamat pada 1985), memperoleh simpati dari golongan menengah. Sedangkan Farrakhan dengan Nation of Islam mampu menebar dakwah di
kalangan bawah.
Banyaknya wadah Islam di Amerika dengan
ragam aliran yang berbeda, lalu dipererat tali persaudaraannya di The Islamic Society of North America (ISNA).
Organisasi yang mencakup seluruh Amerika
Utara tersebut, didirikan pada 1983 sebagai kelanjutan Muslim Students Association (MSA) of the United States of America and
Canada.
MSA yang berdiri pada 1 Januari 1963 di
University of Illinois, Urbana, bersama The
Federation of Islamic Association yang dibentuk pada 1954, sebelumnya telah
menjadi wadah pemersatu potensi umat sekaligus pelurus pemahaman mengenai
Islam.
Karier Kriminal
Elijah Muhammad mendelegasikan Nation of Islam sesudah wafat kepada
Warith, anaknya. Sesungguhnya, semasa
hidupnya, Elijah juga mewariskan Malcolm X kepada umat Islam Amerika. Malcolm yang menjadi sahabat diskusi Warith,
adalah murid Elijah yang paling dinamis.
Malcolm lahir dari rahim Louise pada 19 Mei
1925 di Omaha, Nebraska. Ia diberi nama
Malcolm Little. Earl Little, ayahnya
adalah pendeta Baptis bermata satu yang juga aktivis Himpunan Perbaikan Negro Semesta pimpinan Marcus Garvey.
Earl
yang nasionalis banyak dikritik oleh kelompok anti-kulit hitam semacam Ku Klux
Klan. Earl dituding sebagai penghalang
supremasi kulit putih. Untuk menjatuhkan
mentalnya, maka, pada 1929, Black Legion,
bandit lokal anti-Negro membakar rumah Earl.
Pada 1931, Earl digilas dengan mobil sampai mati oleh Black Legion.
Kehidupan keluarga Earl pun
morat-marit. Janda Louise yang cantik,
kemudian berkenalan dengan seorang bujangan kulit putih. Pria itu sulit mengawini Louise yang punya
delapan anak.
Kegagalan menempuh hidup baru dan
pembantaian atas suaminya, membuat Louise stres berat. Ia mengalami kehancuran mental sampai
akhirnya gila. Di Rumah Sakit Jiwa di
Kalamazoo, ibu malang tersebut dirawat.
Sejak itu, putra-putri Earl, terguncang-guncang. Hingga, mereka tercerai-berai dalam mengais
hari esok.
Nasib Malcolm berubah saat bertemu Shorty
yang pendek. Malcolm yang dipanggil Red
oleh Shorty karena rambutnya yang kemerahan, lalu bekerja sebagai shoe shine boy (tukang semir sepatu) di Roseland State Ballroom atas pertolongan
Shorty. Di tempat dansa khusus bule
tersebut, Malcolm mengenal dunia hitam.
Pada
1942, di usia 17 tahun, Malcolm mengganggu di jalan-jalan New York City. Ia menjadi germo sekaligus doyan menggauli
cewek bule. Dosanya kian berbuih akibat
akrab dengan minuman keras. Malcolm
menjadi pengedar narkotika, berjudi maupun kurir nomor taruhan di Harlem. Ia terlibat pula pencurian untuk membiayai
kecanduannya terhadap morfin yang senilai 20 dolar sehari. Bajingan Malcolm yang dijuluki “Detroit Red”,
malahan menambah rasa percaya dirinya dengan menyelipkan pistol dibalik jaketnya.
Selama menjalani karier sebagai bandit di
Boston serta Harlem, Malcolm didampingi Sophia kekasihnya yang berkulit putih
merangsang bersama Shorty dengan pacarnya. Prestasi kriminal mereka, akhirnya tercium. Alhasil, empat serangkai perampok belia itu kemudian
dijebak oleh polisi setelah banyak pengaduan kehilangan. Pada 1946, Malcolm bersama tiga konconya
diringkus. Malcolm dan Shorty dihukum 10 tahun penjara. Sedangkan teman wanitanya lima tahun.
Malcolm mendekam di penjara Charlestown
sebagai seorang pesakitan yang bermoral bejat. Dalam menjalani hari-hari
gelapnya, Malcolm selalu memaki kulit putih yang duduk di pemerintahan. Bahkan, Tuhan pun ia hina. Hingga, berandalan tersebut dipanggil “Malcolm
si Setan” oleh rekan-rekannya.
Pada 1948, Malcolm dipindahkan ke penjara
Concord. Di sana, ia tahu jika Philbert
serta Reginald, kakaknya, telah bergabung dengan Nation of Islam. Hilda,
saudaranya, lalu memicu Malcolm untuk ikut kursus bahasa Inggris dan
korespondensi di dalam bui. Malcolm pun
berubah dari sosok setan bertubuh manusia menjadi narapidana intelektual yang
senang berdiskusi. Atas usaha Ella,
kakaknya, ia kemudian dibawa ke penjara Colony di Norfolk, Massachusetts, yang
lebih baik sekaligus mudah dijangkau oleh saudara-saudaranya.
Militan Gila
Pada 1949, Malcolm menyurat kepada Elijah.
Beruntung, surat-suratnya selalu dibalas
oleh pimpinan Nation of Islam itu. Wejangan-wejangan Elijah pun menggugah hati
nurani Malcolm. Atas rahmat Tuhan, ia
akhirnya mengucap kalimat syahadat.
Setelah masuk Islam, Malcolm langsung
berhenti merokok, makan daging babi maupun omongan jorok. Namanya pun di ubah dari Malcolm Little
menjadi Malcolm X.
Di balik terali besi, ia lalu menulis
surat kepada sahabat-sahabatnya di ghetto,
bahwa kaum bule adalah iblis yang menjadi sumber malapetaka. Malcolm. juga menyampaikan surat kepada
beberapa politisi serta Presiden Harry S Truman. Isi suratnya menghujat para bule akibat
dominasinya yang menyebabkan negro hidup dalam kesengsaraan.
Di musim semi 1952, setelah menjalani
hukuman 6,5 tahun, Malcolm pun dibebaskan. Setahun berikutnya, ia menjadi guru
agama bagi umat Islam sekaligus sebagai pembantu juru dakwah di Temple Number One, Detroit.
Pada 1954, Malcolm diangkat sebagai
pemimpin umat lslam di New York City. Sejak itu, ia membaktikan diri secara total (a comprehensive commitment) di Temple Seven, New York. Dakwah Islamnya yang membonceng sikap rasial
terasa menyentuh sanubari masyarakat Negro.
Malcolm sangat bersemangat menggemakan gerakan emansipasi hak-hak
keturunan kulit hitam Amerika. Ia
mendorong kaum Nigger untuk percaya diri akan keberadaannya yang sederajat
dengan kulit putih. Sekalipun tahu para
bule lebih terdidik, tetapi, Malcolm tidak punya secuil pun rasa percaya kepada
mereka. Hingga, ia dengan tegas menolak
paham integrasi ke dalam masyarakat Amerika yang didominasi kulit putih.
Pada 1958, Malcolm menikah dengan Sister
Betty X (Betty Shabazz). Selain
membangun mahligai rumah tangga, ia menjulang pula sebagai dai. Nama Malcolm kemudian marak dibicarakan
sesudah Mike Wallace dari Columbia
Broadcasting System (CBS) menayangkan film The Hate that Hate Produced pada 1959. Dalam film dokumenter tersebut, Malcolm tampak
bersemangat memompa kebangkitan ras hitam. Jiwanya yang berapi-api, membuat ia
digelari militan gila. Puncak kariernya
di bawah panji Nation of Islam diraih
ketika ia dinobatkan sebagai pemimpin seluruh umat Islam di Amerika pada 1963.
Pada 1 Desember 1963, sepekan sesudah
Presiden John Fitzgerald Kennedy tertembak mati di Dallas, Texas, media massa
meminta komentar Malcolm. Pernyataannya
ternyata diselewengkan. Akibatnya, lagu
kebencian antara putih serta hitam kembali tersulut ramai. Elijah lalu menghukum Malcolm dengan larangan
“berbicara” selama 90 hari.
Merasa langkahnya terkekang dan kecewa
dengan Elijah atas skandalnya dengan Miss Rosary serta Miss William, dua mantan
sekretarisnya, membuat Malcolm memisahkan diri dari Nation of Islam. Ulahnya
meninggalkan organisasi itu ternyata berbuntut panjang. Ancaman akhirnya selalu mengiringi langkah
Malcolm.
Pasca Mekkah
Di tengah rintangan teror, Malcolm naik
haji. Di Tanah Suci Mekkah, pandangannya
berubah total. Kulit putih yang selama
ini dianggapnya iblis, ternyata sama derajat dengan semua warna kulit di sisi
Allah. Malcolm pun menghilangkan paham
ultranasionalisme hitam yang mendoktrinnya. Namanya juga berubah dari Malcolm X menjadi
El-Hajj Malik el-Shabazz.
Nama “X” pemberian Elijah ia kubur. Padahal, “X” bagi Malcolm maupun Elijah adalah
perwujudan budak-budak Afrika yang tidak dipedulikan ketika menginjakkan kaki
di Amerika. Sedangkan “Little” nama kecilnya dipandang sebagai nama panggilan
untuk budak.
Malcolm yang sewaktu bocah dipanggil
Rastus, teramat terkesan dengan ukhuwah
Islamiyah yang dilihatnya di Mekkah.
Dakwahnya kemudian berputar haluan dari “Islam Rasialis” menjadi “Islam
Silaturrahmi”. Malcolm tidak lagi garang
dengan menyisipkan superioritas ras hitam dalam khotbahnya. Ia justeru memilih jalan non-violence (antikekerasan) sambil mengajarkan warga hitam untuk
menghargai manusia sembari menghapus segala prasangka buruk. Malcolm malahan
bercerita bahwa siapa saja
yang bekerjasama dengannya, maka, mereka termasuk saudaranya.
Perilaku Malcolm yang berubah drastis
tersebut, dilihat lain oleh media massa. Penyebar agama Islam yang efektif itu lalu
digelari The Angriest Negro in America
(Empu Penggerak Kerusuhan di Amerika).
Untuk memperkuat persaudaraan sesama kulit
hitam, Malcolm membentuk Black
Nasionalists sebagai organisasi kesatuan Afro-America. Malcolm mendirikan pula Muslim Mosque. Istilah
“mosque” dipakai untuk menggantikan sebutan “temple” atas saran utusan Mesir.
Prestasi demi prestasi direguk Malcolm atas
kegigihannya mendakwahkan energi Islam. Makin tinggi nama Malcolm, maka, kian
kencang pula iri hati menerpanya. Pada
13 Februari 1965, ia bersama keluarganya menyelamatkan diri akibat rumah mereka
dilalap si jago merah. Kobaran api
tersebut dianggap ulah Black Moslem
yang dimotori sendiri oleh Elijah.
Puncak teror maut yang menimpa Malcolm
terjadi pada 21 Februari 1965 di Audubon
Ballroom, Harlem Teater. Tubuhnya
menggelepar akibat terkoyak oleh 16 peluru kaliber 45 yang muntah dari senjata
angkuh tiga anggota Black Moslem. Ia mati syahid di hadapan pengikutnya yang
baru saja menjawab salamnya.
Dalam hidupnya, Malcolm tak putus
dirundung nasib tragis. Saat masih dalam
kandungan ibunya, ia sudah jeri oleh berondongan senjata api Ku Klux Klan. Ketika itu, gerombolan anti-ras hitam berniat
menyayat nyali Earl Little, sang bapak.
Sesudah ayahnya dibunuh Black Legion, maka, Malcolm hidup berpindah-pindah.
Ia menetap di rumah yatim, keluarga asuh
serta menghuni pusat rehabilitasi anak-anak nakal pada usia 12 tahun. Setelah meninggal, nama tokoh radikal itu
malahan digunakan untuk menakut-nakuti para bocah.
Peninggalan Malcolm yang saat kecil
bercita-cita menjadi pengacara itu hanya “petuah hikmah” berbunyi: “By all means necessary” (dengan segala
cara yang perlu). Di luar dugaan,
sebagian pendukungnya justru menafsirkan secara gegabah “warisan mantra”
tersebut. Mereka memahaminya sebagai
wacana untuk melakukan apa saja demi mengangkat harkat kulit hitam. (Bersambung)
Abdul Haris Booegies adalah Pemimpin Redaksi Majalah LEKTURA Universitas Hasanuddin
(PANJI
MASYARAKAT NO.753 TAHUN XXXV, 28 SYAWAL, 8 ZULQAIDAH, 21-30 APRIL 1993)
Amerika 2000 dan Islam X
(Bagian terakhir dari dua tulisan)
Oleh Abdul Haris Booegies
Amerika yang masyarakatnya terkenal
memiliki civilized culture (budaya
manusia modern), merupakan negara yang penduduknya terdiri atas pelbagai wajah
campuran (meltingpot). Aspek itu tertera pula pada lambang
kedaulatan yang berbunyi e pluribus unum
(dari banyak menjadi satu).
Amerika, kini dihuni 29 juta jiwa penduduk
kulit hitam, 17 juta keturunan Spanyol (Hispanik) serta tujuh juta keturunan
Asia di seluruh Amrik menurut data resmi US
Cencus Bureau. Majalah Time edisi 9 April 1990, meramalkan
bahwa pada tahun 2056, kulit putih bakal menjadi kelompok minoritas. Pasalnya, data 1980 sampai 1988 menunjukkan
tingkat pertumbuhan kulit hitam mencapai 13 persen. Hispanik mencapai 32 persen dan keturunan Asia
serta lainnya mencapai 55 persen. Sedangkan
bule cuma empat persen.
Dalam kehidupan sebagai warga minoritas
yang bergolongan lemah (dhu’afa),
orang Negro banyak mengalami perlakuan diskriminasi. Sepanjang sejarah sosial politik, mereka
masih belum mendapatkan hak untuk mengikuti pemilihan umum.
Representase dalam keanggotaan Kongres
maupun Senat bagi Afro-America, juga sangat minim. Padahal, dari segi hukum, persamaan hak sudah
dijamin dalam amandemen Konstitusi Amerika yang diratifikasi semua negara
bagian pada 1868. Presiden Lyndon Baines
Johnson lalu menegaskan lagi dalam Omnibus
Civil Right Bill 1964, yang melarang semua bentuk diskriminasi. Kendati secara hukum sudah dinaturalisasi
untuk sama haknya, tetapi, dalam realitas kehidupan sehari-hari, mereka tetap
disebut minority atau ethnic groups. Hingga, fenomena kefrustrasian terus menguat dalam
diri kulit hitam akibat asas double standart
kaum kulit putih sebagai pihak mustakbirun
(para penguasa).
Sikap rasisme para bule yang mengakibatkan
mencuatnya rasa frustasi warga Negro, berawal dari paham kuno tentang mitologi
ras unggul. Sebagai perlawanan untuk
mengangkat wibawa, maka, kaum Nigger terus mencari lorong pelepasan
kekesalan. Sebab, mereka sudah jenuh
oleh kecurigaan dan muak atas antipati ras kulit putih terhadap eksistensinya. Alhasil, ada yang berkeyakinan bila “by all means necessary” (dengan segala
cara yang perlu), yang diwariskan Malcolm X, pada hakikatnya merupakan inspirasi
alternatif untuk meredam rasa frustasi.
Struktur tafsir yang didasarkan pada cita-cita
pendekar Islam tersebut ketika ia masih, bisa begitu fatal dampaknya. Soalnya, sebelum naik haji, Malcolm sangat
terbius oleh persepsi populer Negro yang pesimis-negatif terhadap bule yang
dianggapnya setan berbentuk manusia. Penilaian
ini muncul gara-gara minimnya pengalaman keagamaan (religious experience) Malcolm.
Semua berubah pasca-Mekkah. Ia tidak lagi ganas demi memaksakan niat revolusi
global masyarakat hitam untuk memangkas habis roh jahat kulit putih yang
berjiwa tiran (zhalimun). Arkian, kalau “by all means necessary” diinterpretasikan di atas pijakan ekstrem
penduduk hitam Amerika yang 40 persen diselimuti budaya kemiskinan (culture of poverty), berarti,
mengembalikan semangat Malcolm ke haluan nasionalisme hitam radikal (segregasi)
yang cenderung pada permusuhan.
Paham nasionalisme hitam yang tidak menggalang
sistem sosial antar-warga Amerika tersebut, hanya berfungsi untuk
mempertentangkan keberadaan suatu ras yang tertindas (mustadh’afin). Pengikut,
pendukung atau pemuja Malcolm yang masih frustasi terhadap bule, pada akhirnya
bisa menyelewengkan energi akidah pelayan Allah keturunan Afro-America itu
menjadi sekte militan. Mereka berjuang
atas nana agama, namun, tujuannya jelas untuk mengangkat harkat kaum Negro yang
dinomorduakan atau melampiaskan kepentingan pribadi tertentu. Aliran-aliran semacam itu yang akhirnya memperkaya
keragaman ajaran-ajaran di Amerika.
Di negara Paman Sam, kelompok agama terbagi
tiga. Pertama, agama yang dianut secara turun-temurun. Fase ini yang membentuk kelompok masyarakat
besar. Kedua, sekte atau paham yang memisahkan diri dari agama. Golongan ini lebih keras dalam menerapkan permenungan
doktrinnya. Ketiga, pemuja (cult),
yang tata cara ibadahnya aneh serta terkesan sebagai penemuan baru. Mazhab pemuja terdiri dari pengikut sekte yang
melepaskan diri ajaran kelompok sempalan (splinter
group) di Amerika. Sebagian besar ibadah
mereka sangat vulgar dan terkesan bengkok akidahnya. Sebab, untuk ritual pertobatan, umpamanya,
mereka bisa leluasa making love
sebagai syarat ibadah. Lalu ada flirty fishing, ajakan bersetubuh untuk
menarik pengikut. Saat ini, ada sekitar
3.000 aliran sesat nan bejat di Amerika.
Kelompok-kelompok ajaran sinting yang
pernah menghentak antara lain Teens of
Christ yang dipimpin David Berg. Sekte
pemuja seks di kalangan remaja tersebut, kemudian berganti nama menjadi Children of God. Sedangkan kiai memblenya mengubah nama sebagai
David Moses.
Lalu ada The World of Christ is Kingdom, sempalan dari Organisasi Teokratis
atau Persekutuan Dunia Baru (New World
Society). Juga muncul Gereja Mormon
(Joseph Smith), Gereja Reunifikasi Moon (Sun Myung Moon), Pencerahan Masyarakat
Internasional Krishna (Bhaktivedanta Swami Prabhupada), Kuil Rakyat (James
Warren Jones) serta Yayasan Internasional Rajnesh (Bhagwan Shree Rajnesh).
Sekte paling fresh from the oven yaitu mazhab Branch Davidians di Waco. Pemimpinnya mengaku titisan Yesus Kristus. Ia seorang penganut paham free sex serta jawara untuk urusan
menenggak bir. Sedangkan Jim Bakker
bersama Jimmy Swaggart, dua penginjil terkemuka televisi Amerika dari sekte
Pantekosta, hancur wibawanya akibat nafsu syahwatnya bocor. Bakker tersungkur dalam kehangatan tubuh Jessica
Hahn (popularitas affair tersebut
membuatnya tampil sebagai gadis sampul majalah Playboy). Swaggart lebih parah
lagi, karena terpuruk di kaki pelacur!
Berhala Era Postmodern
Agama-agama menjadi barang loak K-5 (kaki
lima) di Barat setelah Kekhalifahan Islam dicaplok satu demi satu oleh Inggris,
Perancis, Belanda, Rusia serta beberapa negara agresor lainnya dari percaturan
politik dunia. Apalagi, ada ungkapan, religion is for God and nation for all
(agama serahkan pada Tuhan, negara untuk kita semua). Diktum ini disisipkan antek-antek Yahudi
(Zionisme Internasional) sejak Revolusi Perancis (1789).
Dalam beberapa hal, Barat memoles agama-agama
pra-Islam supaya cocok dengan kebutuhan mereka. Sebab, ada pemeo bahwa ecclesia semper refor manoa (gereja selalu mutlak diperbarui). Walau
demikian, sistem interpretasi yang mereka terapkan justru menghilangkan unsur
“imanen agama”. Hatta, menimbulkan
musibah berskala dunia. Lebih memprihatinkan
lagi karena sudah tak terhitung berapa orang tipe “IQ jongkok” yang memproklamasikan
diri sebagai titisan Allah atau Imam Mahdi. Selain tergiang bak “pengakuan kentut”, juga
banyak kaum sesat dari “negeri antah berantakan moral” yang mempersetankan Tuhan.
Agama yang telah direkayasa, sebenarnya
memacu manusia untuk mengingkari eksistensi Allah. Penyakit tersebut sudah menjangkiti Barat yang
terpesona oleh mazhab sains-teknologi seraya mengejar kemajuan material. Kristalisasi situasi sejarah (historically situated) tidak lelah
melahirkan isme-isme. Paham baru yang muncul
berseliweran senantiasa berkelindan dengan ideologi vulgar lainnya.
Di tengah kehadiran mazhab-mazhab itu,
menyembul pascamodern sebagai tata perubahan
totalitas serta prinsip yang melahirkan epistemologi baru. Penampilan postmodern
sebagai berhala zaman, merupakan lonceng kematian era modern.
Elemen era modern dipandang sudah
kehabisan energi untuk melayani kehidupan manusia. Michel Foucalt, pemikir Perancis kontemporer
menganggap bahwa dalam perkembangan dunia, terlihat jika alam dan manusia
menjadi organisme yang terus mengalami perubahan. Sedangkan tingkat prestasi rasio yang sistematik,
sangat terbatas menyelesaikan masalah.
Ketidaksanggupan rasio menyerap persoalan
secara utuh itu akhirnya memunculkan pascamodern. Paham itu menyeruak guna menghargai misteri
di balik permasalahan. Postmodern (istilah yang pertama kali digunakan
oleh Federico de Onis pada 1930-an), kemudian menggiurkan banyak peminat dialektika
keilmuan.
Sekalipun abad pencerahan baru berupa pascamodern tersebut menjanjikan
perubahan-perubahan, namun, pendewaan kebendaan serta unsur penindasan nilai
kemanusiaan atau spiritual, tetap jamak di belahan negara-negara Barat. Maklum, sistem etika yang mencengkeram kehidupan
mereka dilandasi prinsip esensial sektor keduniawian.
Kehadiran ratu pop rock Madonna yang dalam konsernya suka mempertontonkan
keranuman buah dadanya sampai nyaris jatuh melenting, tiba-tiba menjadi simbol
hedonisme masyarakat Barat. Material Girl itu dianggap candu remaja
di Planet Bumi. Sedangkan superioritas
keperkasaan dan keganasan dalam menginvasi “negara militer tomat” seperti
Panama, Libya maupun Irak yang menjadi gaya Amerika pada akhir abad ke 20,
diperankan Sylvester Stallone lewat John Rambo.
Figur dari belantara Hollywood. tersebut, menjadi pahlawan besar Amerika yang
nyaris sekelas George Washington.
Dalam menggeledah serta mengacak-acak
angkasa luar, maka, Paman Sam punya proyek Star
Wars dan hiburan Star Trek. Film Star
Trek (dari layar gelas sampai ke layar perak) hasil imajinasi Gene
Roddenberry, merupakan lambang kepongahan Amerika di atas derita negara-negara
Dunia Ketiga yang selalu divonis merobek ozon.
Keunggulan-keunggulan Amerika di bidang
militer serta kebudayaan populer mutakhir maupun kelihaian mengeksploitasi
badan dunia Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) yang senantiasa menelantarkan
negara Islam, membuat Amerika bertingkah makin sadis.
Aspek itu menunjukkan bahwa insan Amrik
sudah kehilangan sikap dasar (basic
attitudes) universal sebagai khalifatun
fil ardy yang dalam Kristen disebut Child
of God. Hingga, negara raksasa nuklir
itu tidak gentar mencecar bejat siapa saja yang berani mengancam kepentingannya.
Pasalnya, serbuan dari negara mana pun
atau sekalipun blitzkrieg (serangan
kilat) dari Planet Mars, bakal bisa diatasi dengan gaya cowboy. Menurut sahibul gosip, proyek Ronald Wilson
Reagan berupa Star Wars alias Strategic Defense Initiative (SDI),
memang disiapkan untuk melabrak serbuan makhluk angkasa luar (The Extraterrestrial) atau piring
terbang (Flying Saucer) yang dikenal
sebagai Unidentied Flying Object
(UFO).
Ketatnya perlindungan militer untuk
membekuk pukulan telak dari mana saja, membuat Amerika tetap numero uno. Alhasil, diperlukan gerakan fundamentalis atau
aksi militan dalam negeri untuk memutar arah ideologi Amrik. Sebagai contoh ialah Uni Soviet yang dicerca Ronald
Reagan sebagai Kerajaan Iblis dengan perangkat persenjataan mahadahsyat. Negara Beruang Merah yang mengerikan tersebut,
ternyata bisa hancur-berhamburan akibat pergolakan dalam negeri antara Komunisme
Sosialisme versus Glasnost Perestroika (keterbukaan).
Sekalipun Paman Sam mashur dalam pemujaan
sebagai Pax Americana dengan pesona
atribut superpower dan globo cop, tetapi, ekonomi mereka
sungguh rapuh. Ekonomi Amerika dengan
lilitan laju inflasi yang terus memberatkan kehidupan rakyat pembayar pajak
maupun belitan hutang terbanyak di dunia yang mencapai 4.000 miliar dollar,
merupakan momok yang dapat membuatnya terkulai sebagai penguasa tunggal bumi. Apalagi, dollar Amerika malahan dianggap sudah
koyak berkeping-keping akibat tebasan yen Jepang. Hingga, ekonomi Amerika yang
sudah berdarah-darah tersebut, tinggal menunggu maut atau semacam mukjizat
untuk menopangnya. Bila Amerika ambruk
secara intern, maka, Tanah Impian itu akan menjadi “Dunia Baru II” (bagian kedua
setelah Columbus mendarat).
Di saat terjadi huru-hara politik serta
fakir ideologi akibat gugurnya prinsip-prinsip moralitas alamiah oleh suara
hati keseimbangan batin yang merindukan eksistensi transendental sejati, maka,
Islam bisa menjadi pegangan alternatif. Sebagai
obat penawar kekosongan jiwa, Islam memiliki singgasana kemuliaan manusia dan
komunikasi kerohanian dengan sang Khalik
yang selama ini lenyap ditelan gelombang Kapitalisme Liberalisme.
Kebangkitan Islam di Uncle Sam pada abad ke 21, akan bersamaan pula dengan mekarnya
ekonomi negara-negara pasifik atau Pacific
Century yang kian perkasa untuk mendepak posisi Amerika.
Di masa itu, Islam Amerika masih ibarat “agama
laboratorium” untuk mencari bentuk ajaran Rasulullah yang tepat diaplikasikan
sembari membasmi kerontokan spiritual. Pasalnya,
perubahan dari ideologi vulgar ke agama alternatif akan membuat perasaan krisis
(entzauberung). Di samping itu, masih tertanam perspektif pemikiran
yang terbentur pada doktrin warisan. Konfrontasi
tersebut lalu melahirkan pribadi yang terbelah (split personality). Elemen
itu terjadi akibat pertentangan antara pekik kebenaran serta rintihan
ketololan. Pertarungan Islam dengan pola
demokrasi liberal Amerika yang dianggap sebagai keberhasilan manusia dalam
menata struktur peradaban itu, bakal melahirkan mazhab “Liberalisme
Silaturrahmi”.
Liberalisme sebagai paham yang mengutamakan
kemerdekaan individu dalam berbagai masalah, akan lebih elastis memandang
persoalan kalau disepuh bisikan kalbu Theisme
yang dibalut dengan ukhuwah Islamiyah.
Gerakan spiritual “Liberalisme Silaturrahmi”
yang kelak berkembang, merupakan personifikasi Bilalian People atau Bilalian
America (istilah Warith Deen Muhammad untuk Muslim Amerika) pada era
postmodern yang berada dalam syahadat keimanan “Islam X”.
Penamaan sebagai “Islam X”, dipicu berkat
agama yang diwahyukan kepada Nabi Muhammad itu masih dalam jihad fi sabilillah untuk menggempur habis saripati kebebasan budaya
populer yang identik dengan citra tai. Umat
“Islam X” masih meraba dengan analisis yang realistis mengenai inna dina indallahil Islam (agama di
sisi Allah ialah Islam) yang termaktub dalam al-Qur’an (Ali Imran: 19).
Impuls spiritual dalam mencari jati diri Amerika
serta identitas Islam pada abad ke 21 untuk mewujudkan insan kamil di negeri Paman Sam tersebut, merupakan gong 2000. Maklum, cahaya iman dan nur Ilahi yang
menembus samudera atmosfir kebekuan nurani manusia, telah mencairkan Islam
dalam masyarakat sekular (unreligious) di
masa depan.
Figur yang berpengaruh atas kehadiran
Islam di Imperium Amerika, tidak lepas dari kekokohan jaringan dakwah Malcolm X
alias El-Hajj Malik el-Shabazz. Ia
merupakan sosok yang mengalami konversi religius. Figurnya yang pernah menebar nafas kemesuman
serta nafsu kejahatan di lorong-lorong New York City, bakal menjadi monumen
legendaris bagi kaum Negro dan umat Islam.
Malcolm yang bermetamorfosis dari penjahat
menjadi pendakwah maupun Amerika yang dikarunia iman Islam, cuma merupakan
secuil rahmat dari sinar keagungan pemilik sejati makhluk di alam raya serta benda
yang tergantung di angkasa luar. Kulluna abidullah (kita semua hamba
Allah) yang wajib tunduk dan bersaksi bahwa tiada Tuhan selain Allah serta Nabi
Muhammad adalah Maharasul Allah.
Kalau panji Islam sebagai agama orisinal
serta otentik berkibar di Amerika, maka, itulah mukjizat supernatural tahun
2000. Apalagi, anything can happen in United States (segala sesuatu bisa terjadi
di Amerika). Allahu Akbar!
Abdul Haris Booegies adalah Pemimpin Redaksi Majalah LEKTURA Universitas Hasanuddin
PANJI MASYARAKAT
NO. 754 TAHUN XXIV, 9-16 ZULQAIDAH, 1-10 APRIL 1993