Kamis, 30 Oktober 2025

Bayang-Bayang Masa Silam


50 Tahun Pesantren IMMIM
Bayang-Bayang Masa Silam
Oleh Abdul Haris Booegies


     Selama belajar di Pesantren IMMIM, ada beberapa momen-momen indah, berkesan atau merajam rasa.  Selama empat tahun sejak kelas III, saya mencatat peristiwa-peristiwa bersejarah atau mungkin memalukan.  Kini, kejadian sepele tersebut menjelma sebagai bayang-bayang masa lampau.  Bayang-bayang yang menorehkan jika santri hidup di antara yang sakral dan yang terlarang
     Di era 80-an, Pesantren IMMIM boleh jadi angker di mata remaja nonsantri.  Soalnya, mereka membayangkan santri cuma mengaji atau mengkaji kitab gundul.  Mereka lupa bahwa Pesantren IMMIM punya embel-embel sebagai "pesantren modern".  Hingga, santri memiliki dimamika dalam tradisi ketat pesantren.  Ini memicu segelintir santri leluasa membaca majalah semacam Vista, Ria Film, Team, Varianada atau Variasi.
     Pada hakikatnya, santri IMMIM andal membaca kitab kuning sekaligus koran kuning semisal Intijaya atau Sentana.  Dua surat kabar ini banyak mengulas perkosaan.  Lembaran-lembarannya menegaskan bahwa dosa punya seribu wajah.
     Bila ada senandung "madu di tangan kanan, racun di tangan kiri", maka, santri IMMIM layak berdendang: "Kitab kuning di tangan kanan, koran kuning di tangan kiri".  Santri fasih membaca yang suci serta yang cabul.  Tidak ada yang mustahil bagi santri IMMIM.  Pasalnya, bukan santri IMMIM kalau tidak sinting sedikit.
     Dalam hal film, santri IMMIM juga jago.  Ada santri yang kerjanya berkeliaran di midnite show di malam Ahad.  Nonton pertunjukan tengah malam ibarat zikir di madrasah kedua.  Andai ada lomba cerdas cermat tingkat SMP-SMA se-Indonesia Timur tentang film, bisa dipastikan santri IMMIM yang juara I.

Senin, 28 Maret 1983
     Bakda Zhuhur, ustaz Saifullah Mangun Suwito mewartakan bahwa besok ada tamu VIP.  Di kesempatan ini, ustaz Saifullah juga mengimbau agar santri tidak ke taman di depan pesantren.  Ada instruksi dari lingkungan agar santri tidak bergerombol di taman saat siang.  Bunga-bunga harus selamat dari pijakan liar santri.
     Sejak ada penjual pisang di seberang jalan di sudut Kavaleri, banyak santri ke sana sekitar pukul 13.00-15.00.  Pisang di seberang menggoda laksana khuldi, buah pemicu dosa pertama.  Pisang-pisang diedarkan, di makan bersama di taman.  Menyisakan kulit-kulit yang tak sempat dibungkus.

Sabtu, 13 Agustus 1983
     Ke dapur kakiku melangkah.  Mataku sekilas menatap sesosok siluet gadis belia.  Ada bibi (koki) baru.  Saya memperhatikannya, mendadak terguncang.  Dunia seolah terhenti sejenak.  Wajahnya yang cukup manis mengingatkanku dengan seseorang.  Beberapa detik saya kehilangan kendali, tidak bisa menguasai diri.  Merasa seperti lupa cara bernapas.
     Belakangan, kami akrab.  Kami sefrekuensi karena sebaya.  Ia merasa nyaman bergaul denganku.  Maklum, saya menganggap diri sebagai santri tersabar sekaligus calon santri teladan.

Rabu, 17 Agustus 1983
     Pesantren IMMIM terlihat bersih.  Apakah malaikat akan lewat sembari menilai siapa yang paling suci dari debu, siapa yang paling suci dari dosa?  Saya termangu campur bangga menyaksikan kampusku.  Baru kali ini tampak asri.
     Hari ini kami merayakan kemerdekaan Indonesia.  Kesibukan tampak di asrama serta majelis guru.  Untuk pertama kali, peringatan 17 Agustus dirayakan kolosal di Pesantren IMMIM.  Ini pertama kali ada pasukan Bhineka Tunggal Ika.  Sejumlah santri mengenakan pakaian adat persis mannequin di museum.
     Isu yang lebih panas ketimbang sinar Matahari pagi ialah santriwati segera tiba dari Minasa Te'ne.  Begitu pula jurnalis TVRI diundang untuk mengawetkan kenangan.  Sebelum santriwati serta wartawan datang, saya sudah kabur dari kampus.  Saya memilih berkeliling kota dengan motor.  Ini serupa mengejar kemerdekaan yang tidak diajarkan dalam fiqh.  Kenanglah kata-kata ini; kemerdekaan adalah ketika kau bisa melarikan diri dari perayaan kemerdekaanmu.

Ahad, 21 Agustus 1983
     Ada suasana baru di Pesantren IMMIM.  Mulai malam ini, kami tidak bebas lagi di kelas selama pukul 20.00-22.00.  Kebebasan kecil kami dipasung.
     Santri diperkenalkan dengan istilah "belajar terpimpin".  Tiap kelas diawasi oleh kakak kelas.  Bahkan, diabsen layaknya tahanan di penjara beratap jerami.  Ini untuk mengendus siapa yang bolos.
     Gerak-gerikku agak terganggu dengan ritus "belajar terpimpin".  Saya tidak merdeka, namun, tetap tegar di antara rasa patuh serta pasrah.  "Belajar terpimpin" tiada lain pembunuhan kecil terhadap kebebasan.  Sebab, merepotkanku ke kamar untuk berbaring-baring atau kongkow dengan santri badung.

Kamis, 29 September 1983
     Tatkala pelajaran olahraga, kami diajar main basket.  Maklum, lapangan basket sudah jadi.  Kami santri kelas III termasuk yang pertama mencobanya.
     Saya tidak paham permainan basket.  Kami diajar melempar bola, tetapi, yang kutangkap justru sunyi.  Kala bola memantul, saya berdiri bingung saja.  Tidak ada reaksi.
     Olahraga ini bukan bakatku sebagaimana aturan pesantren bukan bakatku untuk mematuhinya.  Saya lebih suka bebas laksana burung yang melayang di cakrawala.  Biarlah santri alim serta santri cerdas yang menaati peraturan atau perintah karena mereka sefrekuensi.


Minggu, 26 Oktober 2025

Kronik Santri Bolos


Kronik Santri Bolos
Oleh Abdul Haris Booegies


Sabtu, 12 Februari 1983
     Saya di rumah seharian penuh.  Bersetia pada kemalasan yang membuatku ogah ke pesantren.  Saya bersembunyi dari azan yang tak sempat kujawab.  Lebih memilih membaca majalah yang huruf-hurufnya lebih fasih dari khutbah.
     Menjelang Magrib, saya menyelinap menembus senja.  Kakiku mengarah ke bioskop untuk nonton Star Wars: The Empire Strikes Back.  Penonton dapat hadiah berupa Trillets Lozenges serta kalender mini.
     Film Star Wars menyala di imajinasiku.  Mempertontonkan takdir bertarung dengan takdir.  Layar perak seolah memuntahkan galaksi.  Saya suka sekali dongeng Hollywood bertabur kebohongan yang mahal ini.  Betul-betul memuaskan.  Dalam perjalanan pulang ke pesantren, kubiarkan fantasi berkelana.
     Sebelum pukul 23.00, tiba di kampus , Muhammad Thanthawi bersama Muhammad Yunus menyambutku dengan wajah tegang.  Roman mukanya mirip langit yang baru saja kehilangan bintang.
     "Kamu gawat sekali, Haris!  Qismul amni (seksi keamanan) mencarimu di mana-mana", ujar Thanthawi.
     "Bukan cuma qismul amni, pimpinan kampus (pimkam) juga marah.  Pergaulanmu dengan gadis itu terendus.  Mantang ikut ditegur keras karena doyan memberimu ransum enak.  Pimkam menunjukkan ke Mantang daftar pelanggaranmu yang bejibun.  Rawan sekali, kamu!"
     Malam ini, saya sulit tidur.  Tiga persoalan sekaligus menghimpit dada, mementung pikiran.  Daftar pelanggaranku yang terekam rapi, terurai.  Ini setebal dosa yang membayang.  Saya betul-betul terciduk oleh daftar dosa yang lebih panjang dari pelajaran al-Muthala'ah.  Pertama, saya buronan qismul amni.  Kedua, masalah asmara.  Bagaimana bisa ketahuan?  Angin malamkah yang menebar rahasia syahdu ini?  Ketiga, bagaimana jika Mantang tidak lagi memanjakanku dengan hidangan lezat?
     Mungkin ini hari-hari terakhirku sebagai santri.  Barangkali sudah takdirku cuma sampai kelas III di Pesantren IMMIM.
     Saya ingin berdoa agar terlepas dari belenggu sial ini.  Masalahnya, apakah doaku mustajab?  Soalnya, selama ini masjid jarang kukunjungi.  Sudah berhari-hari lantai masjid tak kujamah.  Apakah Tuhan masih mendengar, suara yang hanya datang saat genting?

Senin, 28 Maret 1983
     Saat pelajaran Ekonomi dan Koperasi (Ekop), saya jadi kejutan.  Guru tertegun bagai menatap statistik yang gagal dikalkulasi.  Ia baru pertama kali melihat orang yang namanya Haris Bugis.
     "Selama 12 kali mengajar, kamu baru kali ini datang".
     Saya cengengesan seperti bocah yang dijanjikan gula-gula.  Saya kemudian dinasihati supaya rajin.  Sebenarnya saya juga bingung.  Ke mana saya selama ini sampai gaib 11 kali di pelajaran Ekop.  Apakah saya hantu Tamalanrea yang tidak andal membuka pintu kelas atau lupa caranya hidup di pesantren.

Sabtu, 24 September 1983
     Malam ini, kami kelas IV belajar bahasa Inggris.  Ustaz Ahmad Thib Raya memanggilku.  Muhammad Bubu turut pula dipanggil.  Ada sedikit problem sepele.  Pasalnya, saya dengan Bubu baru dua kali masuk pelajaran bahasa Inggris.  Padahal, sudah sembilan kali pertemuan.
     Ustaz Thib Raya seolah heran.  Bisa-bisanya ada santri tidak terdeteksi pelanggarannya dalam hal kehadiran di kelas.  Saya heran juga, bisa-bisanya guru ini mau dipusingkan oleh ulahku.  Mengapa pula ia repot-repot memusingkan kami.  Dikiranya ini perkara suci.  Mengapa kelas ini begitu peduli pada kehadiran.  Padahal, yang hadir belum tentu hidup, yang absen belum tentu mati.

Sabtu, 14 September 1985
     Saya bermuka masam gara-gara dituding tidak rajin masuk kelas.  Menurut dugaanku, justru saya tekun sekali.  Setidaknya, begitulah perkiraanku.  Apalagi, saya menyusun kerajinan dalam bentuk yang mustahil dicatat.
     Ustaz Abdul Kadir Massoweang akhirnya menyodorkan fakta.  Bukti di tangannya menegaskan bahwa kehadiranku di kelas di bawah 50 persen.  Rupanya catatan hadirku tak pernah penuh.  Ini sungguh tiada terperikan.  Bagaimana bisa?  Ini membuatku menggaruk-garuk kepala yang tidak gatal?  Saya mencoba mencari logika di pusaran absennya diriku.
     Saya menjelajah untuk menemukan diriku di antara absen serta hadir.  Barangkali saya memang tak pernah benar-benar ada.  Mungkin saya sekedar bayangan yang terlupakan.
     Bolos dari kelas maupun kabur dari kampus merupakan keahlian khusus saya selama di Pesantren IMMIM.  Saya nyaris leluasa melanggar kapan pun mau.  Tidak ada rantai yang tak kupatah.  Ini berkat jeli memperhitungkan kesempatan.  Fokus, tebak langkah ustaz sebelum ia bergerak.  Kenanglah ini, yang jeli bertahan, yang beringas menang.  Kiat ini yang membuatku sukses tamat kendati belepotan dengan pelanggaran berat bagai badai, bak bah.  Ingat manifesto ini: "Jangan takut melanggar!"


Kamis, 23 Oktober 2025

Sinema Santri


50 Tahun Pesantren IMMIM
Sinema Santri
Oleh Abdul Haris Booegies


#50tahunpesantrenimmim
#immim
#iapim
#pesantrenimmim

Kamis 22 November 1984
     Usai bersantap siang, kami kelas V Angkatan 80 berkumpul di masjid ath-Thalabah, Pesantren IMMIM.  Ada ceramah khusus dari Haji Fadeli Luran untuk kami sebagai calon kelas VI.  Tentu kami bangga karena bakal di level tertinggi kelas.
     Wejangan Fadeli Luran mengudara.  Mengalir bagai sungai jernih.  Ceramahnya tajam, namun, hatiku melayang ke layar perak.  Pikiranku pergi lebih jauh, menuju New Artis.  Film memanggilku lebih keras daripada seruan sadar.  Akibatnya, pukul 15.00, sepasang kakiku diam-diam memilih kabur.  Menyelinap di antara terik dengan debu.  Tidak ada yang mengejar, tidak juga rasa bersalah yang merintih di hati.
     Malamnya menyusup ke New Artis untuk nonton Yor, the Hunter from the Future.  Ini film sains fiksi fantasi Italia yang disutradarai oleh Antonio Margheriti.  Bintangnya Reb Brown.  Film ini merupakan adaptasi dari komik Argentina berjudul "Yor the Hunter".
     Di keremangan gedung bioskop, kefanaan film Italia ini menyihirku dari tugas-tugas pesantren.

Sabtu, 29 Desember 1984
     Di pagi cerah ini, saya kabur ke rumah.  Arloji menunjukkan waktu mendekati jam sembilan saat tiba di rumah, di Jalan Veteran Selatan.  Ini jalan yang hafal langkah pelarianku dari pesantren.
     Pukul 14.00, balik lagi ke kampus.  Saya ke Puskesmas.  Memberi kado ke Ari atas kesuksesan pernikahannya.  Dulu ia bibi (koki), kini berstatus istri Pak Mantri.  Cinta mereka bersemi di dapur.  Sekarang cinta syahdunya dieksekusi dengan stetoskop dan surat nikah.
     Malam menyeruak, Makassar Theater yang penuh sorak memanggil.  Saya kembali kabur dari pesantren.  Di bioskop ini nonton Comin' at Ya! yang gila.  Kacamata 3D dibagikan seperti wahyu.  Efeknya mirip jendela ajaib, dunia melompat keluar layar.  Tiap adegan hanya serasa sejauh lensa.  Sebagai remaja dengan dosa kecil, saya untuk pertama kali melihat dunia dalam tiga dimensi.
     Kacamata 3D menjadi saksi pelarianku.  Semua karena dunia nyata terasa hambar.  Di kacamata tersebut, tampak peluru meluncur ke wajahku.  Ini efek inovatif, mirip ragaku yang meloncat dari satu bioskop ke bioskop lain.  Batinku bertanya-tanya, apakah itu metafora dari hidupku.  Apakah 3D adalah iman, kenakalan dan bioskop?

Ahad, 24 Maret 1985
     Pukul 14.00, kabur dari pesantren.  Tujuanku bioskop New Artis atau Mitra.  Sesungguhnya tak penting ke mana, yang penting jauh dari tembok pucat pesantren.
     Ada yang aneh dengan penampilanku.  Sebab, saya sekenanya berpakaian.  Biasanya memakai baju putih dengan jins dipadu sandal hitam.  Hari ini, baju yang kukenakan lusuh persis lap.  Celana juga kusam.  Sementara sandal jepit yang kupakai bukan pasangannya.  Seperti suami-istri yang tak pernah cocok, tetapi, tetap bersama.  Sekali-sekala tak apalah tampil bak gembel biar jiwa bernapas bebas.  Sebab, terkadang dunia perlu diguncang sedikit supaya waras.  Namanya juga elegi jenaka ala santri IMMIM.
     Di New Artis, karyawati bernama H (inisial), heran.  Ia seolah tak mengenalku.  Saat kami berdekatan, ia memperhatikan sandal jepitku yang berbeda warna laksana cerita tak selaras.  Sorot matanya yang bingung lebih menyakitkan daripada nasihat pedas seribu kyai.
     H mungkin merasa mimpi memandangku.  Terpana menatap sandal jepit tak berjodoh di kakiku.  Ia seolah berhadapan dengan alien dari Planet IMMIM atau makhluk halus dari belantara lobi-lobi di belakang pesantren.  Cewek ini tak tahu bahwa bukan anak IMMIM kalau tidak sinting sedikit.
     Tak ingin mempermalukan diri jadi tontonan rekan-rekan H yang staf New Artis, kualihkan langkah ke Mitra.  Di sini nonton Midah Perawan Buronan.  Film yang dibintangi oleh Eva Arnas serta George Rudy.  Dialog di film ini, terkesan monoton seperti sebagian khutbah Jumat.
     Di rentetan adegan yang menampilkan tubuh Eva Arnas yang ranum menawan, saya merasa bebas.  Bahkan, bebas dari diriku yang serba salah.

Senin, 1 April 1985
     Saya dikeluarkan dari Pesantren IMMIM.  Ini gara-gara pelanggaranku tidak bisa lagi ditolerir.  Saban hari ada saja yang membuatku berseteru dengan aturan.  Bukan cuma dipecat, majalah dinding Superpower juga disita.  Dicurigai corong Hollywood.  Ustaz khawatir gaya Hollywood bisa menular ke santri-santri lewat tulisanku.  Padahal, selaksa asa di sanubariku cuma ingin minta tanda tangan Madonna, syukur-syukur bila dikasih pakaian dalamnya yang wangi.  Saya pasrah ketika dikeluarkan dari pesantren.  Sudah takdirku.
     Astaga, cuma mimpi.  Beruntungnya nasibku.  Saya berusaha tak memikirkan mimpi sialan tersebut.  Tentu saja saya tak memungkiri jika ketakutan lantaran dibidik untuk dipecat.  Rasa gentar itu merayap pelan bagai ular dingin.  Siapa pula mau diusir!  Ini sekolahku.  Ini kampusku.  Saya tak sudi digusur dari sepetak masa kecilku di Tamalanrea.
     Pagi hari, terlihat kelas VI begitu khusyuk.  Hari ini mereka Ebtanas.  Saya menghitung detak detik, tahun depan giliranku tamat.  "Bertahanlah, Haris!  Tinggal setahun lagi kau bebas ke bioskop".  Cihuy.
     Bioskop merupakan tempat pelarian eksistensial.  Sementara pesantren sebagai labirin moral yang kadang mirip studio film.  Sayangnya, prosa liris ini khatam di sini karena sebagai figuran di sinema IMMIM, saya tak pernah hafal naskahnya.  Semua terjadi karena saya cuma anak pesantren yang tersesat di antara doa dengan film.


Senin, 20 Oktober 2025

Reuni Kupu-Kupu


50 Tahu Pesantren IMMIM
Reuni Kupu-Kupu
Oleh
Abdul Haris Booegies

 
     Syahdan di suatu siang nan cerah di depan asrama Aisyah, Pesantren IMMIM Putri, Minasa Te'ne, Pangkep.  Lima kupu-kupu betina cantik bersua di dahan pohon akasia yang rindang.
     "Besok kita bertemu lagi di sini", pinta Pieris Rapae, si putih mungil dengan sayap lembut berpola halus.
     "Setuju, kita merayakan pertemuan hari ini dengan reuni besok", ujar Danaus Plexippus, ratu migran yang anggun.
     "Kita isi acara dengan terbang ke sungai Leang Kassi", usul Papilio Spp, sang penari liar dengan ekor sayap yang panjang.
     "Terbang di atas sungai membuat gairahku membuncah", timpal Nymphalus Antiopa sambil menyeringai genit, mata hitamnya berkedip-kedip.
     "Mengapa tidak sekarang kita ke Leang Kassi?" Bertanya Vanessa Cardui dengan suara penuh semangat polos.  Ini kupu-kupu termuda.
     "Besok Jumat.  Banyak santriwati ke Leang Kassi untuk mandi sekaligus mencuci.  Kita bisa menguping senda-gurau mereka", tegas Danaus sambil mengibaskan sayap jingga-hitamnya.
     Vanessa menggeleng pelan.
     "Sesungguhnya, bukan bagaimana menyelinap untuk mengintip gerak-gerik atau mendegar senda-gurau.  Sebab, kita dapat menciptakan kenangan manis di mana saja dengan memberi sentuhan makna pada momen apa pun yang terjadi", gumam Vanessa lirih.  Suaranya hampir hilang di hembusan angin.
     Mendadak hening merayap.  Pieris, Danaus, Papilio maupun Nymphalis hanya saling pandang.
     "Tunggu saja kami besok", tandas Papilio yang paling senior.  Keempatnya lantas mengepakkan sayap secara pelan.  Mereka terbang pergi.  Meninggalkan Vanessa sendiri di dahan akasia.
     Fajar menyingsing.  Hari berganti.  Vanessa tiba di akasia.  Menanti keempat sahabatnya dengan harap yang menggelegak.
     Di atas akasia, Vanessa memperhatikan hiruk-pikuk aktivitas santriwati.  Vanessa sontak merindukan menjadi santriwati.  Mencuci pakaian dengan sabun colek berbusa tebal.  Mencicipi ikan kering goreng renyah, menu spesial santriwati.  Membeli kue-kue enak di warung Dg Raisa.
     Setelah seharian menunggu, terdengar azan Magrib.  Hati Vanessa gundah-gulana.  Empat rekannya belum menampakkan batang hidung.  Padahal, berjanji ke Leang Kassi sebelum Zhuhur.
     "Vanessa, sedang apa kau menyendiri di senja ini?"  Suara lembut dari belakang menyapa.  Kiranya Parnassius Apollo, yang leluhurnya berasal dari pegunungan di Eropa.  Sayapnya putih dengan bintik hitam dan merah.  Ia kerap dianggap simbol keindahan alam.
     "Saya menunggu Pieris, Danaus, Papilio serta Nymphalus", jawab Vanessa, suaranya lirih.
     "Ya ampun, mereka sudah mati".
     "Mati?"  Bisik Vanessa, hampir tak terdengar.  Ia ingin menangis, tetapi, tak punya air mata.
     "Ya, mati.  Kita harus bersyukur, Vanessa.  Usia kita rata-rata 40 hari.  Bandingkan dengan lalat capung yang cuma satu hari.  Nyamuk jantan sekitar satu pekan.  Lalat rumah sampai satu bulan".
     "Saya berusaha bersyukur, Apollo.  Saya sudah hidup di dunia ini selama 35 hari.  Saya mengalami getir-gelisah kehidupan.  Saya ingin sisa hidupku yang lima hari ini lebih indah.  Mau menciptakan kenangan manis di mana saja dengan memberi sentuhan makna pada momen apa pun yang terjadi", tutur Vanessa dengan nada sendu bercampur tekad.
     "Kamu betul Vanessa.  Kau bijak.  Kita merajut kenangan dengan mematuhi aturan.  Kau lihat santriwati yang sedang garuk-garuk punggung itu?"
     "Santriwati yang keluar dari asrama Khadijah itu?  Apakah ia sakit?"  Mata Vanessa berkilat ingin tahu.
     "Tidak, ia bandel.  Tadi malam disuruh tidur, justru mengendap-endap bersama komplotannya ke dapur untuk nonton serial Bionic Woman di TV.  Tatkala sejumlah ustaz menggerebek, ia lari bersembunyi di atas pohon.  Malang nian, di situ sudah siaga semut rangrang (gorella) seolah membantu ustaz.  Dengan tubuh merah jingga menyala yang dipadu rahang kuat dan tajam bak silet, ia menggigit santriwati sial itu sampai jatuh berdebam.  Ini membuat gengnya yang tercekam mendadak terpingkal-pingkal.  Soalnya, adegan jatuh tersebut lebih lucu ketimbang fragmen-fragmen di America's Funniest Home Videos.  Tahukah kau Vanessa, sebentar malam ia pasti ke dapur lagi nonton.  Sebab, bukan anak IMMIM kalau tidak sinting sedikit".
     "Mungkin Kiamat telah dekat".
     "Boleh jadi Kiamat sudah dekat lantaran perilaku kian susah diatur.  Perhatikan itu Dg Raisa yang berjalan di samping asrama Maryam.  Ia menggaruk-garuk kepala gara-gara dagangannya rugi lagi.  Artinya, ada santriwati nekat ambil kue tanpa membayar", ungkap Apollo sembari terkekeh, sayapnya bergetar riang.
     "Kalau begitu, saya tak mau jadi manusia", canda Vanessa seraya tertawa kecil.
     "Betul, jadi manusia itu ribet.  Sarat problem.  Mempersulit yang mudah, mempermudah yang sulit.  Siang-malam menggagas aturan, namun, tak mematuhinya kecuali makin meruwetkan kehidupan", sembur Apollo bersemangat.
     Vanessa mengatupkan sayapnya.  Memandang langit senja yang mulai memudar.
     "Saya mau menciptakan kenangan manis di mana saja dengan memberi sentuhan makna pada momen apa pun yang terjadi", tutur Vanessa seiring tubuhnya yang bergetar menjadi kupu-kupu rapuh.  Hidup bukan tentang menunggu, melainkan tentang memberi makna pada tiap kepakan sayap yang tersisa.


Sabtu, 18 Oktober 2025

Misteri Buku Harian Fadeli Luran



Misteri Buku Harian Fadeli Luran
Oleh Abdul Haris Booegies


     Nama Haji Fadeli Luran tidak asing bagiku saat masih SD.  Seorang putrinya menikah dengan keponakan istri paman saya.  Sementara Gedung IMMIM berhadapan dengan rumah kakek-nenek saya.
     Pada Juli 1980, saya pun melihat langsung sosok Fadeli Luran.  Kala itu, saya santri baru.  Perawakannya tinggi menjulang.  Sorot matanya sangat tajam.  Lawan bicara bisa lunglai jika nekat menatap matanya secara langsung, kecuali memakai kacamata hitam.
     Tatkala Fadeli Luran wafat pada 1992, saya ditugaskan oleh rekan alumni Pesantren IMMIM untuk menulis sekilas riwayatnya.  Saya lantas mewawancarai sejumlah tokoh masyarakat Ujung Pandang, termasuk HM Dg Patompo, eks Wali Kota.
     Di suatu malam, saya ke lantai dua Apotek Rahmah.  Di situ bertemu Ahmad Fathanah, putra Fadeli Luran.  Ia memperlihatkan sebuah buku tulis kusam.  Sampulnya tebal khas buku tahun 70-an.  Fathanah berniat menerbitkannya sebagai buku berseri.
     Kitab antik tersebut berisi khazanah pemikiran Fadeli Luran selama mengikuti perjalanan bersama Buya Hamka.  Ia rutin mencatat gejolak ide di bukunya, semacam buku harian.
     Malam itu, saya tak mau memegang buku tersebut.  Pasalnya, saya belum rampung mewawancarai tokoh-tokoh yang terkait Fadeli Luran.  Saya tidak ingin terlibat dalam penerbitan buku itu agar dapat berkonsentrasi di wawancara.
     Pada 2021, saya menghubungi seorang putri Fadeli Luran.  Meminta sebuah konfirmasi tentang data Fadeli Luran.  Dalam obrolan telepon tersebut, saya ungkap perihal buku bersampul tebal pada 1992.  Rupanya ia tak tahu-menahu soal buku itu.
     Buku tersebut ternyata raib.  Entah siapa sekarang menyimpannya.  Saya curhat ke sejumlah rekan mengenai buku itu.  Saya menyesal, mengapa dulu tidak mengambilnya sebagai bentuk antisipasi.
     Di momen 50 tahun Pesantren IMMIM (1975-2025), saya senantiasa berharap "buku harian" Fadeli Luran ditemukan.  Buku tersebut menyimpan aneka pemikiran mengenai keislaman.  Saya saksi atas buku itu, tetapi, sekedar melihatnya saja.  Tiada sedetik pun menyentuhnya.  Kini, setelah 33 tahun (1992-2025) berlalu, adakah keajaiban santri IMMIM untuk menyingkap misteri keberadaan kitab kuno tersebut?


Reuni Para Lansia

 


50 Tahun Pesantren IMMIM
Reuni Para Lansia
Oleh Abdul Haris Booegies


     Tatkala mendengar ada reuni 50 tahun Pesantren IMMIM, saya cemas.  Ini reuni pertama seluruh lansia dari enam angkatan awal.  Ikhwal ini menandaskan bahwa mereka sudah berumur 60-65 tahun.  Inilah yang mencemaskan hati.
     Durasi perjalanan hidup sudah berada di lampu kuning.  Soalnya, di mata ada lensa, di rambut ada perak, di jantung ada cincin, di ginjal ada batu, di lutut ada nyeri, di telinga ada gema, di kantong celana ada kartu BPJS.  Kalau dulu tangguh bersepatu roda, sekarang loyo di atas kursi roda.  Bila dulu tegap berjalan, kini tertatih-tatih dengan tongkat.  Kondisi ini seyogianya menjadi kode bagi panitia reuni untuk menyiapkan ambulance.
     Lansia punya waktu, tetapi, tak punya kesempatan untuk menggunakannya.  Bahkan, mendengar tagihan listrik saja bisa bikin jantung berirama rock.
     Orang-orang dengan tenaga minim inilah yang bakal hadir di reuni 50 tahun Pesantren IMMIM.  Bukan cuma daya yang pupus, kulitnya pun penuh lipatan.  Garis keriput menghias sekujur tubuh.
     Alumni lansia tentu bersemangat datang reuni untuk menapak tilas kenangan.  Ada secuil, atau segenggam, atau separuh hatinya tertancap di almamater.  Ia ingin melihat kamarnya tatkala Duran Duran sedang naik daun.  Ia mau menatap gerbang besi yang dulu dilompati untuk kabur ke bioskop.  Ia masih menyimpan foto koki bahenol yang membuatnya mimpi basah.  Ia mau memandang letak koperasi yang pernah dijarahnya.  Ia tak tahan melihat bekas lapak Dg Raisa, tempatnya berutang atau nekat tak membayar kue.  Ini canda kehidupan dalam kampus IMMIM, canda vulgar yang mengasyikkan dilakoni di masa remaja.  Maklumlah, bukan anak IMMIM kalau tidak sinting sedikit.
     Alumni lansia pasti berusaha maksimal untuk tampil segar di reuni.  Ingin menggemakan berlaksa-laksa hikayat.  Mau melepas rindu yang berton-ton.
     Semua lansia alumni IMMIM menyiapkan diri jauh sebelumnya.  Ada yang saban hari memamerkan foto terbaru di media sosial.  Lengkap dengan destinasi berpanorama eksotis.  Ada yang mengkompilasi foto-fotonya dengan lagu.  Dengan bantuan aplikasi, suara sumbangnya terdengar serak-serak basah bak Vina Panduwinata.  Ada yang melakukan make up via FaceApp.  Foto wajahnya yang renta mendadak tampil belia, persis perawan jelita yang belum disentuh jejaka.  Semua berkat aneka aplikasi gratis yang iklannya menjamur di media sosial.  Ada pula yang menyebar foto masa lampau.  Dengan bantuan AI, foto-foto SMP menjelma hidup.
     Mengapa lansia Pesantren IMMIM memamerkan foto?  Ini bukan tentang kebanggaan memiliki keindahan ragawi, melainkan perlawanan terhadap usia.  Angka-angka yang membentuk umur seseorang ibarat mimpi buruk di tengah malam.  Ini fase liminal antara "saya yang dulu" dengan "saya yang tinggal dalam kenangan orang".
     Alumni 1981-1986 pasti risih disebut lansia.  Padahal, tak ada lagi yang dapat membuatnya tampil laksana remaja.  Reuni sekedar pengusir penat sementara.  Sesudah itu, para lansia kembali ke realitas untuk melakukan perawatan ekstra bagi dirinya agar encok tidak kambuh, supaya batuk di tengah malam tak mengusik tetangga.
     Perawatan khusus menandakan seseorang mulai mendekati zona "selamat tinggal dunia".  Inilah yang mencemaskan hati.  Inilah yang membuat saya dilanda lara tiada terperi.  Dengan usia 60-65 tahun, berarti reuni 50 tahun Pesantren IMMIM bisa menjadi pertemuan terakhir.
     Perpisahan dengan dunia niscaya datang.  Reuni ini semacam transisi menuju ke alam berikut.  Mari memaksimalkan reuni ini supaya menjadi kenangan terindah.  Kenangan yang senantiasa membuat nama kita hidup selamanya di hati sesama alumni Pesantren IMMIM.


Amazing People