Sentuhan Nabi Khidir
Cerpen Abdul Haris Booegies
"Nabi Khidir merupakan sosok yang masih berjalan-jalan di muka Bumi", tutur cendekiawan muda AJ Muslim saat tampil sebagai penceramah.
Malam ini, saya, Hapip Berru, Ahmad Tirta, Andi Rian bersama sekitar 30 santri ke Gedung IMMIM. Bahkan, ada 20 santriwati IMMIM dari Minasa Te'ne, turut hadir. Kami merayakan Maulid Nabi Muhammad. Gedung IMMIM terasa sempit sekaligus pengap di antara undangan yang berkisar 400.
Ketika acara bubar, saya mendekati AJ Muslim. Intelektual ini memiliki sertifikat interdisipliner dalam studi Islam dari Universitas Yale di New Haven, Amerika Serikat.
"Mengapa Nabi Khidir masih hidup?" Saya meminta konfirmasi.
AJ Muslim tersenyum mendengar pertanyaanku. Tiba-tiba ustaz Sabir menepuk-nepuk bahuku dari belakang.
"Ini Ogi, santri IMMIM. Ia pengasuh majalah dinding Superpower", terang ustaz Sabir sambil berlalu usai melempar senyum ke AJ Muslim.
"Kita tentu masih butuh Nabi Khidir. Eksistensi Nabi Khidir merupakan wujud kasih sayang Allah kepada hambanya. Tidak mustahil Nabi Khidir mendatangi saya atau siapa saja untuk menghindarkan seseorang dari musibah besar. Misalnya, kecelakaan yang berskala mematikan", papar AJ Muslim.
"Hukum alam senantiasa terpaut dengan sebab-akibat. Dalam kehidupan, kita dihadapkan pada perkara riil. Solusi yang kita lakukan selalu visibel, bisa diurai kendati bergumpal-gumpal seperti benang. Sedangkan Nabi Khidir menampilkan hal gaib, sesuatu yang di luar nalar. Tak terbaca akal, tidak tersimak pikiran. Nabi Khidir menawarkan solusi nonfisik, metafisika".
"Contohnya?" Terdengar suara Hapip yang tahu-tahu berdiri di samping kiriku. Saya menoleh ke kanan, melihat Tirta serta Rian yang tengah menyimak deskripsi AJ Muslim.
"Dalam surah al-Kahfi, terceritakan saga Nabi Khidir. Ia melubangi perahu yang ditumpanginya bersama Nabi Musa. Nabi Khidir malahan membunuh seorang pemuda", ungkap AJ Muslim.
"Nabi Khidir membolongi bahtera karena sebentar lagi tiba seorang raja serakah, yang tak menghiraukan nasib rakyat miskin. Diktator picik nan licik ini merampas semua perahu yang tidak rusak. Di lain momen, Nabi Khidir membunuh remaja gara-gara anak itu kelak melukai orangtuanya secara fisik maupun psikis. Ia bakal memaksa ayah-ibunya yang mukmin menjadi kafir sebagaimana dirinya. Jadi, Nabi Khidir memotong mata rantai yang dapat menimbulkan kerugian lebih besar. Ini solusi metafisika yang kini sekali-sekala kita perlukan di tengah dominasi teknologi dan sains".
*****
Rian bersungut-sungut saat saya, Hapip serta Tirta meninggalkan Gedung IMMIM. Santri lain sedari awal pulang ke pondok. Rian menggerutu karena kami harus berjalan kaki lebih 500 meter ke pojok Timur Laut Karebosi. Kami berniat menunggu mikrolet (petepete) di ujung Jalan HOS Cokroaminoto dengan Jalan Jenderal M Yusuf.
"Sekarang pukul 22.35", ujar Tirta tatkala kami menjejakkan kaki di sudut Karebosi.
Tak berselang lama, muncul mikrolet yang menuju ke Daya. Kami pun senang. Akhirnya terangkut ke Pesantren IMMIM di Tamalanrea.
Ketika kami hendak naik ke mobil, seseorang merebut majalah Lektura yang saya kepit. Ia kemudian berlari menjauh. Saya segera mengejarnya dibuntuti Hapip, Tirta dan Rian. Kami memburu lelaki iseng tersebut serupa dikomando oleh panglima dalam pertempuran berdarah-darah melawan kebatilan.
Pencuri itu tampak tua, berjanggut putih panjang, mengenakan serban serta gamis. Ia lantas membuang Lektura ke trotoar. Sementara orang tua tersebut meloncat ke mobil pick up yang kebetulan lewat. Ia sempat melambai dengan wajah tanpa ekspresi.
"Siapa itu?" Desis Hapip saat saya memungut Lektura.
"Entahlah, ia mendadak muncul merebut majalahku laksana datang dari keterasingan malam".
"Sudah uzur, berjanggut nyaris sampai di pusar, memakai serban dan berkemeja Arab, tetapi, kelakuan persis preman pasar. Kau boleh tidak percaya, mungkin hatinya terbuat dari kerikil Neraka", dengus Tirta sembari mendongak menyaksikan malam yang tanpa Bulan.
"Barangkali ODGJ", bisik Rian.
"Kalau ODGJ, kenapa ia rapi. Janggutnya juga terawat, tak acak-acakan mirip janggut kambing", jawabku setelah sibuk serta riuh menjelang tengah malam. Benak terasa keruh, hela napas agak kacau.
*****
Kami kembali ke penjuru Timur Laut Karebosi. Menapak malam dingin yang makin lengang. Kami melanjutkan menanti kendaraan. Mikrolet yang ingin kami tumpangi tadi, sudah pergi.
Rian terlihat mengomel. Ia dongkol lantaran lelah dan mengantuk. Saya, Hapip serta Tirta tidak hirau dengan sikap uring-iringan Rian.
Mikrolet lain akhirnya singgah di depan kami dari arah Jalan Jenderal Sudirman. Kami bergegas naik berbareng.
Tak ada penumpang lain selain kami berempat. Tirta bersandar seraya berselonjor. Sedangkan Rian merebahkan diri. Boleh jadi ia mau kentut demi menenteramkan diri setelah puas menggerundel. Kami berempat memilih diam. Mulut seolah malas berbicara.
Selepas melewati jembatan Sungai Tello, mikrolet melambat.
"Ada kecelakaan", terdengar suara sopir di keheningan.
Kami empat santri IMMIM sontak terpaku, bagai terkenang mimpi yang belum tuntas. Kami berusaha mengintip dari balik kaca depan mobil. Mata kami menyiratkan resah. Tidak ada suara di antara kami, kecuali napas berat. Sekitar 20 meter di depan, tampak puluhan orang sedang menolong korban.
"Ini kecelakaan maut. Pasti ada yang mati", cetus sopir kala jarak kian mendekat ke TKP.
"Mikrolet bertumbukan dengan truk dari arah berlawanan", seseorang berseru di pinggir jalan.
Mikrolet yang kami tumpangi bergerak pelan melewati bangkai mobil yang bertabrakan. Mikrolet remuk, sementara truk peok di bagian depan. Ada genangan darah di aspal. Percik-percik darah terciprat pula di kendaraan nahas itu. Sayup-sayup, berdengung lolongan halus. Korban pasti kesakitan. Rasa sakit tersebut jelas tak kunjung sembuh sampai fajar merona di ufuk Timur.
"Mikrolet itu yang tadi hampir kita tumpangi", celetuk Rian memecah kesunyian di dalam mikrolet.
"Betul, itu mikrolet yang tadi", tegas Hapip ibarat tersentak dari tidur pulas.
"Untung kita tidak menumpang di mikrolet tersebut. Kita nyaris diblender truk", timpal Tirta yang merasa lega terhindar dari maut.
"Andai tak diusik orang tua berjanggut putih, niscaya kita sudah wassalam dari dunia", tandasku.
Begitu ucapanku menggema tentang "orang tua berjanggut putih", kami terkesiap. Sekonyong-konyong, kami saling berpandangan. Melongo oleh sebuah peristiwa yang tadi dialami di pojok Timur Laut Karebosi. Pikiran kami saling terkait pada figur abadi dengan solusi metafisika. Serempak kami bergumam; "Nabi Khidir".