Jumat, 04 Maret 2022

TV Pesantren


TV Pesantren
Oleh Abdul Haris Booegies


     Membayangkan pertama kali Pesantren IMMIM pada 1980, rasanya seperti membayangkan peradaban kuno.  Santri terkurung dikelilingi pagar.  Lokasi terpencil tanpa penerangan jalan dari Tallo sampai Daya.  Santri hampir tidak lepas dari sarung.  Kaum sarungan identik dengan kelompok kampungan.  Fakta lain yang menambah riuh.  Tidak jauh dari pesantren ada rumah sakit untuk penderita kusta.
     Segenap data-data yang melekat di memori tersebut, tak mengusik saya untuk masuk pesantren.  Tatkala tercatat sebagai santri, saya merasakan bahwa Pesantren IMMIM bukan ekosistem dengan peradaban primitif.
     Pesantren IMMIM bukan pondok salaf.  Ini kampus mutakhir.  Ada laboratorium, laboratorium bahasa sekaligus perpustakaan.  Di perpustakaan, kadang tersedia Pedoman Rakyat.  Ini koran lokal nomor satu di Sulsel.  Kelak, di surat kabar ini saya sering menulis.  Kegemaran saya ialah polemik.
     Dari seluruh fasilitas modern Pesantren IMMIM, tentu yang paling menyedot perhatian yaitu televisi.  Pada 1980, televisi diletakkan di belakang aula.
     Pukul 22.00, sebagian besar santri nonton Dunia Dalam Berita yang berdurasi 30 menit.  Ini acara menarik karena mewartakan informasi primadona dari luar negeri, termasuk olahraga.
     Usai Dunia Dalam Berita, santri Tsanawiyah diminta ke kamar masing-masing.  Mereka yang bertahan di depan televisi adalah santri kelas V, VI serta piket malam.
     Adakah yang berani mengusir kelas V, VI dan piket malam dari depan televisi?  Ada, namanya hujan.  Semua bubar dengan hati kecut jika hujan deras mengguyur Tamalanrea.
     Kalau hujan ringan, ada sejumlah kecil santri tetap bertahan menonton.  Saya pernah mencoba peruntungan ikut nonton di tengah gerimis.
     "Ini kelas satu?", tanya Amir Machmud yang kelas VI.
     "Iya".
     "Kenapa belum tidur?"
     Saya memelas menatap Amir yang memegang payung.  Bagai kucing yang merayu, saya mendekat ke sisinya.  Berharap Amir mau membagi payungnya.
     Kami nonton serial Man from Atlantis.  Film fiksi ilmiah ini bercerita tentang Mark Harris (Patrick Duffy), pria terakhir dari peradaban Atlantis.  Harris dirawat oleh Dr Elizabeth Merril (Belinda J. Montgomery).
     Amir mengagumi figur Elizabeth yang cantik serta anggun.  Ia beberapa kali menyebut dokter rupawan ini dalam obrolan.

Silet Listrik
     Ketika naik kelas II pada 1981, televisi dipindahkan ke teras masjid.  Di sini kami dapat bersila atau berselonjor sambil nonton.  Bahkan, leluasa berbaring bila penonton sepi.
     Syahdan, sekali peristiwa banyak santri masih nonton bakda Dunia Dalam Berita.  Soalnya, ada pertandingan bulu tangkis.  Tiba-tiba ada imbauan untuk mematikan televisi dari Tongkang, pembina muda.  Santri tidak kalah gertak.  Tetap menonton.  Kami yang badung tak gentar dikenakan taktik hukuman yang keras.  Santri dan pembina sama-sama memiliki sudut pandang sahih perihal televisi.  Akibatnya, Tongkang geram.
     Dari arah ruang pimpinan kampus, Tongkang tergopoh-gopoh menyusuri selasar kelas.  Ia singgah di depan percetakan seraya menarik kabel yang terhubung ke televisi.  Dengan silet di tangan, ia memutus kabel.  Bunga api langsung terpercik.  Sementara Tongkang terjengkang gara-gara tersengat listrik.
     Kami santri bandel yang nekat nonton tidak habis pikir.  Bagaimana mungkin kabel aktif dipotong dengan silet, dengan tangan telanjang.  Tongkang rupanya tak kapok, tidak jera.  Tak ada tobatnya ini bocah.
     Di suatu malam sekitar pukul 23.00, Tongkang kembali mengulang kesalahan fatal.  Kali ini bukan silet, namun, gunting.  Ia menggunting kabel televisi yang sedang menyala.  Tongkang kembali terjungkal kena setrum.
     Ada apa sebenarnya ini?  Kabel dengan aliran listrik digunting, dengan tangan telanjang.  Cari penyakit betul ini anak.  Ia seolah pamer keberingasan, tetapi, terjerembab sendiri disengat listrik.  Sepotong kisah kelam yang mengerikan ini pasti membuat batu terkentut-kentut mendengarnya.

Lucan not Luken
     Setelah Tongkang dipecat dari Pesantren IMMIM, pengekangan untuk nonton televisi mulai renggang.  Santri kelas V, VI serta piket malam makin bebas menonton persembahan TVRI.  Kelas IV malahan ramai duduk manis di depan televisi.
     Dari hari ke hari, pekan ke pekan, santri tidak kalah dengan siswa SMA lain.  Kami merdeka menonton program-program TVRI.  Acara hiburan yang senantiasa ditunggu tayangannya seperti Si Unyil, Gemar Menggambar (Pak Tino Sidin), Kamera Ria, Aneka Ria Safari, Ria Jenaka, Losmen, Rumah Masa Depan, Jendela Rumah Kita, Berpacu Dalam Melodi, Kuis Siapa Dia, Album Minggu Kita, serial ACI, Dari Gelanggang ke Gelanggang maupun Arena dan Juara.
     Pernah seorang sahabat bertutur hikayat langka.  Ustaz Saifullah Mangun Sumito yang keturunan Jawa nonton pagelaran wayang kulit di TVRI.  Ia nonton di pondoknya di Jalan Bugis dekat 20 peturasan.
     "Ini acara bagus.  Ini acara bagus", komentar ustaz Saifullah dengan antusiasme ceria.  Teman yang mendengarnya cuma menggaruk-garuk kepala yang tak gatal.  Ini acara bagus, ini acara bagus.  Brrr...
     Serial Barat TVRI yang membetot minat santri antara lain Chips, Cannon, Charlie's Angels, Little House on the Prairie, Starsky and Hutch, The Muppets Show, Bionic Woman, The Time Tunnel, Star Trek, BJ and the Bear, The Life and Times of Grizzly Adams, Land of the Giant serta Lucan.
     Pengaruh film Lucan yang bergenre drama petualang, merembes ke Lukman Sanusi.  Tokoh Iapim yang juga Datuk 86 ini dipanggil oleh konco sesama Bugis dengan "Luke".  Sejak Lucan diputar di TVRI, nama "Lukman" bertransformasi menjadi "Luken".
     Luken sempat berimajinasi untuk menjelma Lucan yang diperankan Kevin Brophy.  Ia berharap punya insting setajam serigala yang membesarkan Lucan di hutan Minnesota.  Hasilnya gagal total.  Maklum, Lucan hidup di peradaban Amerika yang serba heboh.  Sedangkan Luken di peradaban Tamalanrea yang serba hening.

Silent but Deadly
     Saban malam pada pukul 22.00, serambi depan masjid ath-Thalabah penuh sesak oleh santri yang menyaksikan Dunia Dalam Berita.  Sebagian berdiri di pinggir beranda.  Ada pula yang menengok dari dalam masjid lewat jendela.
    Di tarikh 1983-1985, ada satu santri yang selalu terlambat nonton.  Walau telat, namun, seluruh santri memberinya tempat duduk di bagian depan.  Ia bukan jagoan dengan bela diri sakti mandraguna.  Kawan-kawan menghindarinya karena ia tukang kentut (الأَبْنَةُ).
     Ia jarang mengeluarkan kentut bersuara (الضَّرْطُ).  Kentutnya tanpa bunyi (الفُسَاءُ).  Ini kentut SBD, silent but deadly.  "Minta ampun baunya", bisik Lukman Mubar (7985).
     Flatus yang keluar dari rektum inilah yang memaksa santri mengalah dengan menyodorkan ruang duduk baginya.  Jika tidak, sistem pelepasan gas di balik celananya bakal bereaksi.  Sebab, ia andal memanipulasi algoritma biokimia di otaknya untuk kentut.  Lebih parah kalau ia sudah sarapan dengan teri sembari melahap ikan kering goreng saat santap siang.  Niscaya alamat buruk menimpa di depan televisi.  Oksigen, sulfur, nitrogen, metana dan karbondioksida yang terkumpul di saluran pencernaan keluar perlahan dari anusnya berwujud flatulensi versi silent but deadly.  Kentut di depan televisi bukan sekedar mematikan konsentrasi nonton santri, tetapi, maut bagi peradaban modern Pesantren IMMIM.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Amazing People