Senin, 21 Maret 2022

Santri Rasta


Santri Rasta
Oleh Abdul Haris Booegies


     Dalam obrolan santai remaja, acap terdengar istilah rasta.  Tautan dalam ingatan sontak tertuju ke rambut gimbal, musik reggae serta ganja (cannabis sativa).  Ganja atau mariyuana yang merupakan psikotropika, dalam bahasa gaul disebut cimeng.
     Rasta sesungguhnya singkatan dari Rastafari, filosofi hidup sebagian penduduk Jamaika.  Rastafari kerap dideskripsikan sebagai pengisap ganja.  Mereka bersenandung reggae dengan orientasi gaya hidup semaunya.  Arah dan tujuan bahtera hidupnya terkesan kabur.
     Rastafari dicomot dari nama Haile Selassie sebelum ditahbiskan sebagai kaisar Ethiopia.  Ia bernama asli Tafari Makonnen.  Di depan namanya ada gelar Ras yang artinya pangeran.  Rastafarian beranggapan bahwa Kaisar Haile Selassie merupakan penjelmaan tuhan.
     Marcus Garvey yang tertoreh sebagai aktivis politik Jamaika, muncul sebagai tokoh Rastafari.  Ia mengampanyekan diksi "kembali ke Afrika".  Garvey menjadi figur utama kebangkitan gerakan nasionalisme kulit hitam.  Hatta, diaspora Jamaika tergoda untuk balik kampung ke benua nenek moyang di Afrika.
     Rastafari oleh pendukungnya dipandang sebagai gerakan spiritual, sosial serta pembebasan warga Afrika di Jamaika.  Pada abad 17, Inggris mengangkut jongos-jongos dari Afrika Barat ke Jamaika.  Belenggu perbudakan dan kolonialisme hendak dipupus dengan Rastafari.  Anehnya, aktivitas Rastafarian lebih banyak bersantai di bawah sinar sang surya atau terang rembulan dengan reggae serta ganja.  Reggae mewakili perlawanan mereka.  Sementara ganja dinilai mampu meningkatkan impuls spiritual.  Secara global, pemeluk Rastafari diperkirakan berjumlah sembilan juta.

Kremlin
     Di sebuah momen di awal tahun, seorang sahabat berbisik.  Ada kelas VI di Pesantren IMMIM menanam ganja di kamarnya.  Isu ini terbatas menyebar di komunitas Aliyah.
     Ganja gampang tumbuh.  Daunnya mengandung zat narkotik aktif, khususnya tetrahidrokanabinol yang enteng memabukkan.  Daun ganja biasa dicampur dengan tembakau sebagai rokok.  Efek yang ditimbulkan berupa kondisi rileks, euforia sekaligus sensasi.
     Ganja tidak memikat perhatianku.  Soalnya, saya tak merokok.  Meski begitu, kabar adanya santri menumbuhkan ganja terasa mencengangkan dalam keheningan.  Santri dan ganja.  Ini ibarat samudera dengan gunung atau rimba dengan gurun.  Tidak berkorelasi dalam wujud apa pun.
     Santri takut mencari kabar lebih jauh perihal ganja yang ditanam.  Maklum, pelakunya kelas VI.  Bisa bonyok kita dikepruk bertubi-tubi.
     Bisik-bisik yang diembuskan silir-semilir bayu menginformasikan bila pemerannya tinggal di bilik mini rayon Panglima Polem.  Kamar di Selatan yang bersebelahan dengan kelas ini dulu toilet.  Tatkala 20 peturasan tuntas pada 1982, seluruh kakus dijadikan bilik kecuali dua WC di asrama Raja Faisal.
     Di kamar mini yang berdekatan dengan sumur kibar (senior) itu, pelaku menanam ganja di pot kecil.  Penghuni bilik barangkali berjumlah lima.  Semua kelas VI.  Aura kamar ini serupa Kremlin, istana pemerintahan Uni Soviet di rezim Leonid Brezhnev.  Kremlin yang punya Menara Spasskaya dicitrakan dingin, pekat serta angker.  Selama enam tahun di pesantren, saya tak pernah masuk ke Kremlin ala Tamalanrea ini.  Tempat ini sarang santri perokok level ekstrem.

Mantri
     Mentari bercahaya terang.  Sebuah pagi nan cerah mengiringi aktivitas santri.  Jarum jam sedang merangkak ke pukul 10.00.  Saya bersama segelintir konco berada di perigi kibar.
     Dari sisi rayon Datuk Ribandang dengan Panglima Polem, mendadak muncul ayahanda tercinta Fadeli Luran.  Diikuti beberapa pembina, termasuk mantri.  Berselang 30 detik, pimpinan kampus (pimkam) turut bergabung.
     Saya bersama teman bergetar, karena berada di sumur saat jam pelajaran.  Kami kongko, larut dalam canda minus makna.
     Fadeli Luran tampak tegang.  Ia tidak sanggup menyembunyikan sebersit sendu di parasnya.  Sorot matanya sayu.
     Fadeli Luran lantas berhenti.  Menunjuk ke pintu Kremlin lokal.  Pembina-pembina mengangguk.  Fadeli Luran lalu menaiki tiga anak tangga untuk mengetuk pintu.
     Santri yang mendiami Kremlin kaget setengah mampus kala pintu terbuka.  Di hadapannya berdiri tegak Fadeli Luran, tuan segala tuan di Pesantren IMMIM.  Segenap awak Kremlin terlihat baru bangun tidur.  Fadeli Luran, pimkam, pembina dan mantri kemudian masuk ke Kremlin.  Sedangkan penghuni keluar dengan tubuh kuyu.  Mereka pasrah menanti nasib buruk.  Terbayang dalam benak jika kesulitan panjang segera mendera.  Di samping tembok asrama, mereka berdiri lemas, bingung serta galau dengan wajah belum dicuci.  Ada pula yang jongkok memakai sarung, persis begundal yang kalah dalam sabung ayam.
     Tiba-tiba mantri berdiri di dekat pintu.  Ia mengangkat tinggi sebuah pot dengan bibit tanaman.  Adegan tersebut seolah memamerkan kepada kami sebuah kesuksesan yang baru saja direguk.  Senyum mantri merekah.  Perlahan dan hati-hati, ia menuruni anak tangga sembari memegang erat pot.
     Mantri seolah turun dari tangga pesawat sambil mengacungkan piala usai sukses menjuarai turnamen.  Ia tak kuasa menyembunyikan raut bahagia di rupa mukanya.  Isu itu betul.  Ada santri menanam ganja.  Kini, ganja di pot-pot mungil tersebut dikeluarkan dari Kremlin.

Glasnost
     Fragmen buruk yang diperagakan oleh santri, terkadang di luar nalar.  Mereka doyan bereksperimen norak.  Bahkan vulgar.  Santri emoh hidup orisinal, apa adanya.  Mereka justru menuntut lebih agar dibuka keran kebebasan.  Ini semacam glasnost (keterbukaan) serta perestroika (restrukturisasi) yang merupakan kebijakan Presiden Uni Soviet Mikhail Gorbachev.  Akibatnya, muncul santri model Kremlin.  Mereka menanam ganja.  Sebuah fenomena radikal yang anti-mainstream di tengah peradaban pesantren.
     Santri memiliki pikiran-pikiran bebas, namun, belum tentu punya sepundi asa.  Apalagi, segudang harapan.  Sebab, selalu ada misteri yang mengaburkan episode kehidupan selanjutnya.  Kendala tidak usah ditangisi sampai air mata habis, sampai kering-kerontang.  Pasalnya, tersedia aneka kanal kreativitas yang sah secara logika di pesantren, tanpa mesti merusak diri.  Banyak pintu buat mengukir ekspresi maupun menyalurkan bakat seperti melukis atau meracik majalah dinding.
     Musikus reggae Bob Marley bertutur:  "Ketika sebuah pintu tertutup, tahukah kamu bahwa ada pintu lain terbuka".


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Amazing People