Piket
Oleh Abdul Haris Booegies
Pesantren IMMIM dilengkapi piket selama 15 tahun sejak 1975 sampai 1990. Pada 1980, ada tiga piket. Piket harian, piket malam serta piket rayon. Semua terdiri dari santri.
Menjadi piket bakal menempa santri untuk bertanggung jawab. Kegiatan sukarela ini mampu pula mempererat kebersamaan. Di samping itu, menumbuhkan rasa peduli kepada sesama sahabat.
Pada 1985, ada tambahan piket. Namanya piket pembina. Mereka merupakan santri pilihan dari kelas V. Seluruh awak qismul amni (seksi keamanan) bisa menjadi piket pembina. Saban hari ada dua piket pembina. Fungsi mereka membantu mobilitas pimpinan kampus (pimkam). Kedua piket mengawas di depan kantor pimkam.
Piket pembina cukup istimewa. Mereka makan di kantin sesudah guru-guru usai makan.
Saya tidak pernah ditunjuk sebagai piket pembina. Sebab, dianggap berperilaku abnormal di pesantren.
Orbit Rayon
Beberapa hari setelah tercatat sebagai santri. Saya dapat giliran sebagai piket harian. Sif piket harian hanya dikenakan bagi santri kelas I dan II.
Piket harian bertugas di pos jaga di sisi kiri gerbang dari pagi sampai petang. Tiap hari, ada dua piket. Santri yang bertugas mengenakan selempang hijau dengan tiga garis putih.
Piket harian bertanggung jawab membersihkan kantor direktur pesantren, ruang pimkam serta Majelis Guru. Mereka juga berkewajiban memanggil santri di kamar jika kedatangan tamu.
Pekerjaan ini cukup melelahkan. Sebelum memanggil santri yang dibesuk, maka, piket meminta kepada tamu untuk menulis nama, hubungan keluarga, tujuan, jam dan tanda tangan.
Segenap aktivitas keluar-masuk santri, mesti tertera di buku harian piket. Gardu piket biasanya ramai bergemuruh pada sore Jumat. Maklum, santri yang tiba di kampus sesudah berlibur sehari harus menyerahkan surat izin pulang sekaligus menulis jam kedatangannya.
Saban hari, ada pula satu piket rayon di tiap asrama. Tugasnya menjaga keamanan serta kenyamanan. Siapa yang ke kamar saat jam pelajaran, mutlak menulis nama dan keperluan di kitab rayon.
Seingat saya, tak ada piket rayon di Asrama Imam Bonjol. Ini tempat paling riuh. Bukan cuma dihuni santri bertubuh raksasa, namun, rata-rata bandel level geledek.
Pada 1986, Asrama Imam Bonjol berada di tengah kampus. Di Timur terletak Asrama Pangeran Diponegoro serta Panglima Polem. Di Utara ada Asrama Datuk Ribandang (Fadeli Luran). Di Barat berdiri Asrama Sultan Hasanuddin, Raja Faisal dan Raja Khalik. Di Selatan terpancang Asrama Algazali. Di Barat Daya berdiri teguh Asrama Ibnu Khaldun. Imam Bonjol menjadi pusat orbit segala rayon. Selain itu, Imam Bonjol yang terdekat dari perigi kibar (senior).
Usul Usil
Tatkala kelas II pada 1981, saya ditunjuk piket malam. Tidak semua santri kelas II dipercaya jadi piket malam. Dipilih yang berbadan besar. Saya masuk hitungan. Apalagi, tinggal di bilik 1 Asrama Datuk Ribandang yang rata-rata bongsor.
Bakda Isya, lima nama piket malam diumumkan di masjid. Mereka pun ke dapur mengambil jatah kopi. Tiap piket memperoleh satu termos kopi manis. Saya tak minum kopi. Jadi meminta koki mengganti dengan teh manis.
Tugas piket malam yakni menjaga keselamatan serta keamanan kampus. Lima santri ini bak serdadu yang berkeliling demi menghalau perintang berdimensi radikal. Kalau ada senter, kami menyorot apa saja. Dua pohon nangka di belakang masjid maupun dua pohon mangga di muka aula, acap disenter. Bila beruntung, buahnya bisa diambil dengan cara dilempar. Atap kelas tidak luput disorot dengan cahaya. Sumur pun disenter, yang penting asal ada kerjaan di tengah malam. Daripada bengong dan bego, lebih baik mengamplifikasi sifat liar.
Terkadang ada usul nakal binti binal. Bagaimana jika pergi menyenter koki cantik yang terlelap. Siapa tahu ada yang melorot sarungnya. Hingga, terpampang lekuk-lekak ragawi indahnya. Semua akhirnya bingung. Bagaimana caranya? Ada tiga pintu yang mesti didobrak di dapur sebelum sampai di ruang tidur koki. Ambyar!
Pukul 05.00, piket membunyikan lonceng. Lima laskar internal ini kemudian membangunkan santri. Setelah masuk dari bilik ke bilik untuk membangunkan, piket pun kembali ke kamar masing-masing. Mereka segera tidur berkat tugas sudah tuntas.
Pukul 10.00 kalau santapan tengah disiapkan, terlihat lima piket ini menongkrong di dapur. Mereka menunggu jatah ransum. Hidangan yang disediakan cukup enak seperti tumis ikan serta sup. Tergantung menu makanan guru-guru yang menetap di kampus.
Tim Thomas
Ada serpihan hikayat bahwa piket malam yang merana tanpa kawan di tengah malam kerap membuat kejutan. Misalnya, main bulu tangkis.
Di pesantren, ada dua lapangan badminton. Satu berada di antara Majelis Guru dengan pos piket. Satunya lagi di sudut lapangan tepat di depan bilik 2 Datuk Ribandang. Gelanggang di pojok ini juga sering dijadikan lapangan takraw.
Personel piket malam biasa main bulu tangkis di lapangan depan di sisi Utara aula. Seluruh gerak-gerik di gelanggang badminton ini kentara terpantau dari Jalan Perintis Kemerdekaan.
Tak ada yang aneh bila piket main bulu tangkis. Masalahnya, mereka main badminton kala dini hari.
Ini pemandangan ganjil bagi orang luar yang kebetulan lewat. Penumpang bus malam atau pengendara motor selalu menoleh ke pesantren. Mereka takjub menyaksikan eksperimen kualifikasi yang menggetarkan sanubari. Ada remaja main bulu tangkis pukul 03.00.
Barangkali mereka bertanya-tanya di relung kalbu. Apakah Pesantren IMMIM sedang menyiapkan atlet Pekan Olahraga Nasional (PON) atau menggembleng calon juara di Piala Thomas.
Pengguna jalan yang lalu-lalang menembus pekat malam tidak tahu jika ini bagian dari kegilaan piket malam. Ini lakon kreatif dari spirit santri abnormal. Tak kenal, maka, tidak sayang. Tak paham lantaran tidak pernah jadi santri Pesantren IMMIM.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar