Ketawa Gaya Santri (7)
Oleh Abdul Haris Booegies
Episode kelimabelas:
Pimpinan Kampus Sariqun
Pada kurun 1975-1990, santri leluasa tidur pulas saban malam di Pesantren IMMIM. Sebab, ada peronda dari kalangan santri. Mereka merupakan ujung tombak pengaman kampus.
Tiap piket malam yang bertugas hanya berbekal satu termos kopi manis atau teh manis. Tak ada kudapan semacam kacang telur, bolu rampah khas Bugis atau brownies kukus stroberi coklat. Dengan satu termos minuman, santri peronda bersiaga satu menjaga kampus.
Piket malam yang dari dapur mengambil kopi atau teh selalu bangga menenteng termos. Seolah isi termos tersebut harta karun atau jin botol. Teman-teman yang melirik pun tersenyum menggoda. Minta isi termos segera dibagi.
Piket malam efektif bertugas pukul 22.00. Bakda Isya, piket biasanya tidak berkonsentrasi lagi untuk belajar. Mereka cuma bersantai di kamar, tak ke kelas.
Pukul 20.00, piket malam yang terdiri dari lima personel atau lebih, biasa berkumpul. Mereka saling bertukar aneka narasi kontemplatif atau menggagas strategi agar tidak mengantuk sampai subuh.
Syahdan, di suatu malam yang semarak dengan kerlap-kerlip bintang-gemintang pada 1984, ditunjuk lima peronda dari kelas IV. Saat itu, mereka sudah semester II. Kelima piket yaitu Hamid Seltit, Muhammad Zubair, Imam Setiawan, Ikbal Said dan Lukman Sanusi.
Beberapa detik menjelang pukul 00.00, teh mereka habis. Sementara durasi untuk menjaga keselamatan maupun kenyamanan kampus masih panjang.
Tanpa teh yang menemani di tengah malam dingin, pasti hambar. Kaki pun enggan bergerak untuk berpatroli keliling kampus. Di tengah malam begini, dapur telah tutup. Mustahil membangunkan koki. Muskil pula mendobrak pintu. Ada dua pintu dilewati untuk sampai di bilik kompor.
Hamid Seltit, Muhammad Zubair, Imam Setiawan serta Ikbal Said akhirnya berikhtiar. Mereka mencari cara supaya ada minuman hangat. Sedangkan Lukman masuk ke masjid. Sambil menunggu empat peronda tiba, ia mengaji di mihrab.
Tatkala khusyuk bertadarus, mendadak lampu dipadamkan seseorang. Lukman menghentikan bacaannya. Ia mampu memicing dalam suasana remang-remang berkat cahaya lampu merkuri dari lapangan.
"Ini pasti ulah iseng Ikbal", bisik kalbu Lukman.
Tiba-tiba terpampang segurat siluet. Sesosok jasad tertutup sarung mendekati Lukman. Merasa dipermainkan, ia membentak.
"Jangan padamkan lampu, sariqun!"
Istilah sariqun di Pesantren IMMIM kerap diartikan "kurang ajar", "bajingan" atau "bedebah". Padahal, makna asli yakni "pencuri".
Wujud terkatup kain tersebut terus mendekat. Lukman lantas melompat seraya memiting. Ia memepetkan tubuh sembari mengentak sarung makhluk itu. Sementara siluman tersebut sekuat tenaga melepas jepitan Lukman. Akhirnya Lukman berhasil membongkar kedok si penyusup.
Sekonyong-konyong Lukman terpana. Nuraninya bergetar, sukmanya terguncang. Tak percaya dengan yang dilihatnya. Tidak mungkin lari. Kakinya sontak lemas. Lututnya serasa tak kuat menopang berat badan. Jantungnya berdegup kencang. Situasi langsung genting. Posisi Lukman di ujung tanduk di ujung jurang. Ia kalah, dan niscaya remuk.
Orang yang membungkus tubuh mirip pocong itu tidak lain tak bukan adalah Saifullah Mangun Sumito, pimpinan kampus (pimkam).
Apes nian nasib Lukman. Mulutnya baru saja memaki ustaz Saifullah dengan sariqun. Betul-betul santri durhaka!
"Kamu menghina saya! Kamu menghina saya!"
Terdengar pekik ustaz Saifullah dengan nafas kembang-kempis. Sejurus kemudian, ia melayangkan tamparan bolak-balik ke wajah Lukman.
Pimkam lalu menggelandang Lukman yang bak banteng terluka ke penjara khusus santri badung. Di ruang tanpa penerangan tersebut, Lukman meratapi suratan takdirnya. Ia mengelus dada demi menguatkan semangat. Di parasnya, bekas tempeleng kanan-kiri masih terasa pedis.
Dalam sel, Lukman menjadi santapan empuk nyamuk yang haus darah. Ia pasrah dengan meringkuk persis perawan yang tidak mau menikah dengan duda gembrot. Lukman melantunkan perasaan dengan nada ironi. Sesekali ia meraba pipinya yang seperti tebal gara-gara kena tamparan.
Pukul 02.00, ustaz Saifullah menggiring Lukman ke kantor pimkam untuk diinterogasi. Dalam proses verbal, Lukman menyodorkan evidensi. Alibinya sekokoh karang kalau ia sebenarnya piket malam.
Ustaz Saifullah terkesiap. Ia tertegun ketika tahu Lukman peronda malam. Pimkam pun melepas narapidana pesantren itu untuk bertugas kembali sebagai piket.
Lukman kecewa. Merasa dedikasinya sebagai peronda dilecehkan. Kakinya gontai melangkah pulang ke kamar. Ia menjadi pribadi yang tersisih. Lukman merasa dijinakkan dengan cara digasak dengan tempeleng ganda. Ia mengelus pipinya kala menembus malam yang mencucuk tulang-belulang.
Tadi waktu namanya diumumkan di masjid sebagai piket, ia girang seolah berada di taman Eden. Kini, yang diperoleh sebagai piket tiada lain tamparan sekaligus dimasukkan penjara selama dua jam. Rasanya bagai di taman edan.
Rasa malu di hati Lukman sedikit terobati. Empat koleganya sesama tukang ronda tak tahu jika ia dijebloskan ke sel nirpuspa. Meski begitu, Lukman tidak sanggup menghapus bayang suram malam menyesakkan ini. Sebuah tragedi memilukan dalam lembaran hidupnya di Pesantren IMMIM yang sarat rahasia serta kelokan misterius.
Narasumber tunggal: Lukman Sanusi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar