Sabtu, 12 Maret 2022

Politik Santri


Politik Santri
Oleh Abdul Haris Booegies


     Pemilihan Umum (Pemilu) yang diadakan pada Rabu, 5 Mei 1982, teramat membekas di Pesantren IMMIM.  Ini Pemilu ketiga sejak Soeharto berkuasa.  Kontestan ada tiga yaitu Partai Persatuan Pembangunan (PPP), Golongan Karya (Golkar) dan Partai Demokrasi Indonesia (PDI).
     Di tarikh 1982, penduduk Indonesia berjumlah 146.532.397.  Sedangkan yang terdaftar pemilih mencapai 82.134.195.
     Pemilu 82 yang berbiaya Rp 132 miliar ini dimenangkan Golkar dengan meraup 64,34 persen suara.  PPP di urutan kedua dengan mengantongi 27,78 persen suara.  Sementara PDI cuma menangguk 8,60 persen suara.
     Sebelum ke tempat pencoblosan, Golkar sudah dipastikan sebagai pemenang.  Ormas ini merupakan mesin politik Soeharto.  Mereka menguasai birokrasi di semua lini.  Alhasil, leluasa mengerahkan rakyat dari pusat sampai desa untuk memilih Golkar.
     Di masa tersebut, muncul insan kritis yang menuding Pemilu tidak menggambarkan aspirasi serta kedaulatan rakyat.  Bahkan, terjadi pseudo democracy guna mengelabui rakyat.  Demokrasi semu ini demi mempertahankan kekuasaan Soeharto.
     Ada ketimpangan yang terasa dalam kehidupan menjelang Pemilu 82.  Apalagi, peserta kontestan terpilah dalam jemaah spiritual, golongan karya dan kelompok nasionalis.
     Karakter Pemilu dinilai jauh dari prinsip free and fair.  Struktur serta proses pemilu diintervensi oleh penguasa yang punya instrumen kewenangan di luar batas.
     Ini mengakibatkan letupan-letupan yang berpotensi mengganggu pemilu.  Pada Kamis, 18 Maret 1982, terjadi kerusuhan tatkala Golkar berkampanye akbar di Lapangan Banteng, Jakarta Pusat.
     Ketika terjadi keributan, muncul sejumlah orang berkostum hijau khas PPP.  Mereka menggaungkan yel.  "Hidup Kabah!  Hidup Kabah!"
     Kericuhan ini menjelma huru-hara.  Gemanya menyusup ke seluruh pelosok negeri.

Tragedi Batu
     Pesantren IMMIM menjelang Pemilu 82, ikut mendidih.  Puncaknya saat Rhoma Irama ke Makassar untuk kampanye PPP.
     "Kakakku yang mengawal Rhoma dari bandara ke tempat acara", ungkap Awaluddin Mustafa, Datuk 86.
     Santri girang atas kedatangan Raja Dangdut.  Sekalipun tak ada agenda ke Pesantren IMMIM, namun, santri bahagia mendengar keberadaan Rhoma di Makassar.
     Selepas pukul 22.00, menjalar isu di Pesantren IMMIM.  Ada gerombolan pengacau menyerang kampus.  Mereka diidentifikasi onderbouw Golkar.  Santri yang mayoritas pendukung PPP, langsung beringas.
     Tidak tahan mendengar kalau dapur diberondong batu, sontak santri membalas serangan.  Terjadi kekacauan.  Dari dalam kampus, santri melempar ke luar.  Rumah ketua RT ikut dijadikan sasaran.  Sebab, dituduh motor penggerak Golkar di sekitar pesantren.
     "Suhu politik nasional yang memanas turut memicu dan memacu militansi santri yang merupakan pendukung fanatik PPP", ujar Lukman Sanusi, tokoh gigantik Iapim.
     Kondisi mencekam di pesantren perlahan surut.  Beberapa anggota kavaleri masuk kampus mencari santri penyerang.  Sedangkan santri terbirit-birit ke kamar masing-masing.
     "Tentara mencari santri yang melakukan pelemparan.  Saya waktu itu pura-pura tidur.  Tak sempat melepas sepatu, jaket tebal serta handuk yang melilit kepala sebagai tameng dari hujan batu", tutur Lukman.
     Aksi santri yang membela PPP mendeskripsikan konflik ideologi.  PPP dinilai mencerminkan ideologi Islam.  Sementara Golkar representasi Pancasila.
     Kenangan kelam di malam jahanam kala santri melakukan pelemparan merupakan Tragedi Batu.  Cadas sulit pecah, kendati ditimpuk berkali-kali.  Batu menjadi senjata santri untuk menunjukkan keberpihakannya kepada PPP.  Batu menjadi simbol perlawanan santri.  Batu senantiasa abadi dalam epos global sebagaimana laskar intifadah di Palestina.  Dalam kisah tentang cadas itulah, santri larut dalam insiden pelemparan.

Ikon Antagonis
     Pascakemerdekaan sampai era reformasi, politik Islam tetap lembek.  Politik dalam perspektif Islam tidak pernah garang, tak pernah ereksi.  Padahal, politik yang dalam istilah syariat dinamakan siyasah merupakan bagian integral Islam.  Siyasah ialah mengatur segala urusan kaum Muslim.  Orientasi politik Islam yakni menjunjung kedaulatan Allah dan nilai keadilan, bukan mengejar jabatan.  Tanpa memahami seluk-beluk politik, niscaya umat menjadi komoditas politik pragmatis.
     Keterpurukan politik Islam berawal dari Christiaan Snouck Hurgronje.  Sosok inilah yang merumuskan supaya Islam dipisah dari politik.  Ia menasehati pemerintah Belanda bahwa musuh mereka tiada lain Islam yang berwujud doktrin politik.
     Hurgronje menyodorkan tesis kepada pemerintah kolonial.  Ia berargumen bahwa Islam mewakili tiga aspek.  Islam sebagai ritual, Islam sebagai sosial serta Islam sebagai politik.  Dari tiga elemen ini, kaum Muslim wajib disingkirkan dari Islam sebagai politik.  Jika tidak, maka, Belanda bakal mengalami kerugian besar sebagaimana di Perang Padri (1803-1838) dan Perang Jawa (1825-1830).  Konsep Hurgronje yang menjauhkan kaum Muslim dari politik, tetap diimplementasikan sampai hari ini.
     Berbilang tahun pasca Tragedi Batu ala Pesantren IMMIM, saya terpana.  Enam tahun ditempa di kampus Islami, ternyata alumni yang duduk di pemerintahan tak kuasa mendepak tesis Hurgronje.  Mereka yang masuk ke rezim justru membebek melanggengkan sistem yang merugikan Islam.  Militansi Tragedi Batu sirna seiring godaan hedonisme.  Takhta, harta serta wanita lebih memikat ketimbang menjunjung kedaulatan Allah dan nilai keadilan.
    Benar kata Mahfud MD.  Malaikat yang masuk ke sistem Indonesia pun bisa jadi iblis.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Amazing People